Usaha Pelayaran Dibebani Pajak Empat Kali Lipat

Kamis, 29 Januari 2015 - 20:19 WIB
Usaha Pelayaran Dibebani...
Usaha Pelayaran Dibebani Pajak Empat Kali Lipat
A A A
JAKARTA - Kalangan pelaku usaha pelayaran akan dibebani pajak hingga empat kali lipat dari pungutan yang biasa berlaku. Pajak tersebut akan diterapkan efektif pada Maret 2015 melalui pajak penghasilan (PPh) non final. Sebelumnya, pajak yang berlaku pada usaha pelayaran adalah PPh final 1,2%.

Ketua Umum Indonesian Shipowners Associations (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, penerapan pajak tersebut dinilai sangat membebani usaha pelayaran. Alasannya, selain akan membayar pajak lebih besar, penerapan PPh non final juga akan lebih rumit.

"Perhitungan PPh non final ini juga akan lebih rumit. Sebab, kalangan usaha pelayaran diharuskan menyetor pembukuan. Bagi kami ini sangat memberatkan," ujarnya di Jakarta, Jumat (29/1/2015).

Menurut Carmelita, beban pajak pelayaran selama ini yang ditanggung sudah cukup berat. Padahal, kalangan usaha pelayaran telah mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

"Semua kebijakan kita dukung terus di sektor pelayaran dan maritim. Tapi, tidak harus dengan menambah beban pajak bagi pelayaran," tegasnya.

Dia menjelaskan beban pajak bagi pelayaran yang diberlakukan di Indonesia saat ini mengakibatkan sektor angkutan laut tidak memiliki daya saing yang tinggi terhadap pengusaha dari luar negeri, sehingga banyak potensi ekonomi dan pajak yang justru menguap ke luar negeri. Apalagi, di tengah lesunya perdagangan barang melalui kapal pelayaran.

“Kita mendukung meningkatkan penerimaan pajak, tetapi lihatlah seperti apa seharusnya negara meningkatkan penerimaan pajak tanpa harus menambah beban pajak yang tinggi bagi pelayaran. Misalnya, dengan membantu meningkatkan pelayaran memperbesar angkutan ekspor-impor,” jelasnya.

Berdasarkan kajian INSA, terdapat potensi penerimaan pajak dari sektor angkutan laut yang selama ini menguap ke luar negeri sebesar Rp10 triliun. Sumber pajak tersebut berasal dari uang tambang ekspor yang diperoleh perusahaan pelayaran asing.

Sementara itu, Ketua bidang Pajak INSA, Indra Yuli mengatakan, banyak kebijakan fiskal di Indonesia yang sangat memberatkan industri pelayaran sehingga sektor ini tidak dapat bersaing dengan perusahaan pelayaran di luar negeri, baik pada kegiatan di dalam negeri maupun luar negeri.

“Kebijakan pajak di bidang pelayaran di Indonesia itu banyak yang tidak lazim di dunia internasional. Termasuk pengenaan PPh final 1,2 persen dari penghasilan bruto yang sekarang akan direvisi. Kondisi ini menyebabkan sektor pelayaran tidak kompetitif dibandingkan pelayaran di luar negeri,” ujarnya.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan berencana mengubah Peraturan Menteri Keuangan No 416 tahun 1996 yang mengenakan PPh final sebesar 1,2% menjadi PPh non final. Pemerintah beralasan akan menggenjot penerimaan pajak dari sektor angkutan laut menjadi sebesar Rp1 triliun dari realisasi 2014 sebesar Rp80,19 miliar.

Dia menambahkan, Indonesia sudah mengalami pengalaman yang kurang baik dalam mendukung mengembangkan sektor maritim saat sektor pelayaran dikenakan PPh non-final sebelum adanya PMK No 416 tahun 1996 tersebut.

"Ya itu tadi, kira-kira prosesnya akan lebih panjang dimana setiap usaha pelayaran akan diserahi pembukuan. Dari situ akan dihitung laba dengan hitungan 25% dari laba fiskal," pungkasnya.

Saat ini saja jika ditotal, usaha pelayaran dikenakan berbagai jenis pajak di antaranya PPh badan 1,2% (mau direvisi), PPh pasal 21 (gaji kru kapal), VAT Handiling Cargo 10%, VAT sewa kapal non shipping 15%, serta bunker (bahan bakar kapal) di wilayah Pulau Jawa dikenakan tarif pajak 10%.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0599 seconds (0.1#10.140)