Reformasi Demi Kedaulatan Energi

Senin, 02 Februari 2015 - 10:27 WIB
Reformasi Demi Kedaulatan Energi
Reformasi Demi Kedaulatan Energi
A A A
Sesuai agenda Nawacita, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjanji untuk membawa kebijakan energi ke arah lebih baik. Namun, siapa sangka untuk itu kebijakan sektor energi diubah sedemikian drastis.

Dua kebijakan penting yang diambil adalah memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan melepas mekanisme harga dari kendali pemerintah.

Dari langkah tersebut, kesan positif yang bisa ditangkap adalah pemerintah berupaya memperlebar ruang fiskal yang selama ini tersandera beban subsidi masif, serta membangun fondasi ekonomi yang lebih sehat agar bisa berlari kencang menggenjot pembangunan infrastruktur di berbagai bidang. Tak mudah memang untuk mewujudkan pemangkasan subsidi, khususnya untuk BBM.

Langkah awal berupa kenaikan harga BBM subsidi mendapat tentangan dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Terlebih, alibi pengalihan subsidi untuk dialihkan ke sektor lain yang lebih produktif tak bisa dirasa manfaatnya dalam jangka pendek. Namun, seperti diketahui, pemerintah tak bergeming menempuh pendekatan progresif ini.

Pada 18 November 2014, pemerintah mengerek harga premium menjadi Rp8.500 per liter dari sebelumnya Rp6.500 per liter dan solar menjadi Rp7.500 dari Rp5.500 per liter. Kendati dipuji, kebijakan ini juga dicaci, khususnya ketika dikaitkan dengan tren penurunan harga minyak dunia. Langkah tergesagesa pemerintah tampak tidak dibarengi dengan analisis matang berkaitan dengan penurunan harga minyak dunia.

Tak menunggu lama, di penghujung 2014 harga minyak yang terus merosot di bawah USD70 per barel membuat pemerintah harus merevisi kembali harga BBM dengan kembali menurunkan harga. Pada 1 Januari 2015 harga premium kembali diturunkan menjadi Rp7.600 per liter, diikuti pengumuman penghapusan subsidi premium. Untuk solar, pemerintah menurunkan harga menjadi Rp7.250 dibarengi dengan subsidi tetap. Namun, seperti biasa, harga barang-barang yang ikut naik, enggan beranjak turun.

Di luar BBM, pemerintah juga memangkas subsidi untuk listrik. Hanya golongan rumah tangga 450-900 VA yang masih boleh menikmati subsidi. Tak pelak, dihantam kenaikan harga BBM dan listrik, inflasi hingga akhir tahun terkerek tinggi. Kebijakan pemerintah yang melepas harga premium sesuai mekanisme pasar juga menimbulkan konsekuensi baru. Harga minyak merosot ke kisaran USD45 per barel, harga premium turun menjadi Rp6.600-6.700 per liter dan solar menjadi Rp6.400 per liter.

Kali ini protes muncul dari pengusaha SPBU. Tidak stabilnya harga BBM membuat pengusaha rugi. Kebijakan melepas BBM ke mekanisme pasar pun memunculkan tudingan bahwa pemerintah membuka selebarlebarnya peluang asing menguasai bisnis hilir migas di dalam negeri. Hingga 100 hari pemerintahan berjalan, reaksi atas kebijakankebijakan tersebut tak terlalu besar.

Pemerintah beruntung, harga minyak dunia yang tengah merosot membuat harga BBM maupun listrik sejauh ini masih bisa diterima dengan cukup baik. Namun, entah ceritanya nanti saat harga minyak dunia kembali melambung. Pemerintah dipastikan bakal sulit untuk betul-betul melepas harga energi sesuai kondisi pasar. Terlepas dari itu, niat pemerintah untuk mengalihkan beban subsidi ke kegiatan produktif, khususnya membangun infrastruktur demi mencapai kedaulatan energi nasional, perlu didukung.

Salah satu program yang diinisiasi yakni Refinery Development Master Plan Program (RDMP) dan New Grass Root Program untuk pengembangan kilang baru amat dibutuhkan demi menjamin ketersediaan BBM dan mengurangi impor di masa datang. Kendati realisasinya masih sebatas nota kesepahaman, program ini tetap patut diapresiasi karena terakhir kali kilang BBM dibangun pada 1995.

Demikian pula dengan gebrakan pembangunan infrastruktur listrik melalui program percepatan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW dalam lima tahun ke depan. Listrik adalah persoalan serius. Dalam dua atau tiga tahun lagi diperkirakan krisis listrik akan terjadi pada sistem Jawa-Madura-Bali. Namun, tidak sedikit yang masih meragukan realisasi gebrakangebrakan ini.

Sejumlah kalangan, baik DPR maupun pengamat, merasa pesimistis karena berkaca dari molornya pembangunan program sejenis yang hanya dengan kapasitas 10.000 MW. Namun, melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, pemerintah menegaskan bahwa percepatan pembangkit 35.000 MW bisa dicapai dengan mengurai sumbatan-sumbatan perizinan dan membenahi negosiasi harga jual listrik.

Sudirman mengaku, percepatan pembangkit listrik kali ini berbeda dengan pemerintah sebelumnya. Kegagalan pemerintah sebelumnya karena proses perizinan yang panjang dan berlarut-larut kini telah diantisipasi. Memang tidak realistis berharap akan ada perubahan signifikan dalam 100 hari kerja. Kendati demikian, pemerintah tetap harus memenuhi janjinya.

Perubahan drastis kebijakan di sektor energi pasti menuai pro dan kontra. Selagi semuanya dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara, reformasi di sektor energi tak boleh terhenti.

Nanang wijayanto
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3336 seconds (0.1#10.140)