AMTI Tolak Kenaikan Cukai Rokok
A
A
A
JAKARTA - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyesalkan rencana Pemerintah Indonesia yang akan menaikkan target penerimaan cukai rokok sebesar 27%.
Rencana kenaikan cukai rokok tersebut tertuang dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBNP) 2015. ”Kami melihat target penerimaan cukai rokok hingga 27% sangat tidak realistis. Tahun lalu merupakan tahun yang penuh tantangan bagi seluruh industri tembakau nasional dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kebijakan baru dari pemerintah untuk menaikkan cukai,” kata Ketua AMTI Soedaryanto di Jakarta kemarin.
Soedaryanto menilai, satusatunya pihak yang akan diuntungkan dengan kebijakan ini adalah produsen rokok ilegal karena volume penjualannya akan meningkat. Sedangkan, industri yang legal akan merugi dan kehilangan volume penjualan. ”Hal ini akan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja bagi para petani tembakau, petani cengkeh, penjual atau ritel, pedagang, dan ratusan ribu tenaga kerja yang bekerja di sektor industri hasil tembakau,” papar Soedaryanto.
Soedaryanto menyayangkan munculnya kebijakan ini. Sebab, pemangku kepentingan di sektor industri tembakau nasional tidak dilibatkan untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. ”Kami berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana kenaikan cukai rokok jika memang peduli dengan keberlangsungan industri tembakau yang legal dan memperhatikan nasib ratusan ribu tenaga kerja yang penghasilannya bergantung pada industri ini,” ujarnya.
Sedangkan, Direktur Minuman dan Tembakau Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Faiz Ahmad tidak setuju dengan kenaikan cukai rokok hingga 27% karena memberatkan produsen rokok nasional. ”Kenaikan cukai rokok sangat memukul produsen rokok karena mereka juga terkena pajak daerah serta retribusi daerah maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selama ini banyak kebijakan pemerintah yang merugikan industri rokok nasional,” tuturnya.
Faiz menambahkan, kalau kenaikan cukai dipaksakan, akan terjadi penurunan produksi dan dampaknya akan menurunkan penerimaan cukai, dan sisi lain yang lebih berbahaya rokok-rokok ilegal akan lebih marak. Berdasarkan data Kemenperin, pada tahun lalu produksi rokok nasional mencapai 362 miliar batang dengan pangsa pasar sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 66% dan sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 26%, sisanya sigaret putih mesin (SPM) sebesar 6% dan sebagian kecil jenis cerutu.
Sudarsono
Rencana kenaikan cukai rokok tersebut tertuang dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBNP) 2015. ”Kami melihat target penerimaan cukai rokok hingga 27% sangat tidak realistis. Tahun lalu merupakan tahun yang penuh tantangan bagi seluruh industri tembakau nasional dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kebijakan baru dari pemerintah untuk menaikkan cukai,” kata Ketua AMTI Soedaryanto di Jakarta kemarin.
Soedaryanto menilai, satusatunya pihak yang akan diuntungkan dengan kebijakan ini adalah produsen rokok ilegal karena volume penjualannya akan meningkat. Sedangkan, industri yang legal akan merugi dan kehilangan volume penjualan. ”Hal ini akan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja bagi para petani tembakau, petani cengkeh, penjual atau ritel, pedagang, dan ratusan ribu tenaga kerja yang bekerja di sektor industri hasil tembakau,” papar Soedaryanto.
Soedaryanto menyayangkan munculnya kebijakan ini. Sebab, pemangku kepentingan di sektor industri tembakau nasional tidak dilibatkan untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. ”Kami berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana kenaikan cukai rokok jika memang peduli dengan keberlangsungan industri tembakau yang legal dan memperhatikan nasib ratusan ribu tenaga kerja yang penghasilannya bergantung pada industri ini,” ujarnya.
Sedangkan, Direktur Minuman dan Tembakau Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Faiz Ahmad tidak setuju dengan kenaikan cukai rokok hingga 27% karena memberatkan produsen rokok nasional. ”Kenaikan cukai rokok sangat memukul produsen rokok karena mereka juga terkena pajak daerah serta retribusi daerah maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selama ini banyak kebijakan pemerintah yang merugikan industri rokok nasional,” tuturnya.
Faiz menambahkan, kalau kenaikan cukai dipaksakan, akan terjadi penurunan produksi dan dampaknya akan menurunkan penerimaan cukai, dan sisi lain yang lebih berbahaya rokok-rokok ilegal akan lebih marak. Berdasarkan data Kemenperin, pada tahun lalu produksi rokok nasional mencapai 362 miliar batang dengan pangsa pasar sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 66% dan sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 26%, sisanya sigaret putih mesin (SPM) sebesar 6% dan sebagian kecil jenis cerutu.
Sudarsono
(bbg)