Impor Baja Dikenakan Bea Masuk
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menerapkan bea masuk (BM) terhadap importasi baja menyusul lonjakan volume impor produk tersebut sebesar 175%.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12/PMK.010/ 2015 tanggal 19 Januari 2015 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap Impor I dan H Section dari Baja Paduan Lainnya dengan nomor harmonized system (HS) ex. 7228.70.10.00 dan 7228.70.90.00.
PMK tersebut diundangkan pada 21 Januari 2015 di dalam berita negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 82. Adapun rincian BMTP yaitu untuk periode tahun I (21 Januari 2015-20 Januari 2016) tarif BMTP sebesar 26%. Sementara periode tahun II (21 Januari 2016-20 Januari 2017) tarif BMTP sebesar 22%, dan untuk periode tahun III (21 Januari 2017-20 Januari 2018) tarif BMTP sebesar 18%.
Penerbitan PMK ini berdasarkan hasil penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) atas Tindakan Pengamanan Perdagangan (TPP) bahwa terjadi lonjakan volume impor secara absolut selama 2010-2013 dengan tren sebesar 175%. Berdasarkan hasil penyelidikan KPPI, terbukti terjadi lonjakan volume impor secara absolut selama 2010-2013 dengan tren peningkatan impor mencapai 175% dari 20.331 ton pada 2010 menjadi 395.814 ton pada 2013.
”Eksportir utamanya yaitu China (96,62%), Korea Selatan (1,56%), dan Singapura (0,96%),” kata Ketua KPPI Ernawati dalam keterangan tertulisnya di Jakarta kemarin. Menurutnya, lonjakan jumlah impor produk I dan H Section dari baja paduan lainnya berdampak negatif pada pemohon. Ini terlihat dari pangsa pasar pemohon yang menurun, persediaan yang meningkat dan keuntungan yang menurun, hingga mengalami kerugian.
”KPPI membuktikan terdapat hubungan sebab akibat antara lonjakan volume impor dan ancaman kerugian serius yang dialami pemohon,” ungkapnya. Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto mengatakan, industri baja di dalam negeri memang menghadapi tekanan akibat ada kelebihan volume produksi di negara lain.
”Kita sedang berpikir bagaimana menyelamatkan industri baja dalam negeri terhadap serangan baja impor,” kata Harjanto ketika dihubungi KORAN SINDO kemarin. Alternatif lain, kata dia, Kemenperin akan meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. ”Kita akan mengusulkan direviu PP Nomor 10 Tahun 2012 di mana ketentuan antidumping itu tidak berlaku di kawasan FTZ (free trade zone),” sebutnya.
Dia menambahkan, alternatif-alternatif tersebut akan berlaku dari hulu hingga hilir. ”Kita sedang hitung berapa pengaruhnya terhadap tekanan inflasi dan juga sedang dilakukan kajian ke mana mempengaruhi tingkat inflasi karena otomatis barangbarang akan naik,” katanya. Menurutnya, alternatif-alternatif tersebut akan dioptimalkan di samping untuk melindungi juga untuk meningkatkan daya saing industri baja nasional.
Sebelumnya Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Irvan Kamal Hakim minta proteksi kepada pemerintah menyusul ada berbagai tekanan bisnis, mulai dari tingginya biaya produksi (production cost) hingga tergerusnya pasar di dalam negeri oleh baja impor. Tekanan paling berat mulai dirasakan sejak awal 2014 seiring anjloknya harga komoditas dunia seperti harga minyak dunia yang mengalami penurunan yang sangat signifikan.
”Industri baja hari ini masih tertekan, bisa dilihat dari harga minyak dunia yang turun. Minyak salah satu komoditas sama dengan baja. Jadi, harganya juga turun,” kata Irvan Kamal Hakim. Dia mengungkapkan, harga baja pada 2008 sekitar USD1.130 per ton. Sekarang harganya turun lebih dari 50%. ”Laju penurunannya terjadi awal 2014 sampai 2015 ini.
Kita tahu bahwa harga minyak sekarang sudah ada di kisaran USD40-50 per barel. Kalau harga minyak turun, baja yang masuk dalam komoditas termasuk harga logam, tembaga, nikel turun juga,” ucapnya. Menurut dia, industri baja sekarang sedang tidak punya perlindungan pasar yang cukup. ”Tarif (bea masuk) di Indonesia untuk sektor baja paling rendah di kawasan ASEAN,” katanya.
Irvan mengatakan, IISIA minta agar pemerintah terus menggalakkan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Hal tersebut penting untuk mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan produk-produk asing, terutama dalam penggunaan baja nasional.
Menurutnya, permintaan baja di dalam negeri masih tumbuh, baik impor atau produsen lokal. Kebutuhan baja dalam negeri rata-rata setiap tahun sebesar 13 juta ton, sementara produksi baja dari dalam negeri hanya 6 juta ton. ”Berarti, ada sekitar 7 juta ton itu yang diimpor,” ujarnya.
Inda susanti/Oktiani endarwati
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12/PMK.010/ 2015 tanggal 19 Januari 2015 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap Impor I dan H Section dari Baja Paduan Lainnya dengan nomor harmonized system (HS) ex. 7228.70.10.00 dan 7228.70.90.00.
PMK tersebut diundangkan pada 21 Januari 2015 di dalam berita negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 82. Adapun rincian BMTP yaitu untuk periode tahun I (21 Januari 2015-20 Januari 2016) tarif BMTP sebesar 26%. Sementara periode tahun II (21 Januari 2016-20 Januari 2017) tarif BMTP sebesar 22%, dan untuk periode tahun III (21 Januari 2017-20 Januari 2018) tarif BMTP sebesar 18%.
Penerbitan PMK ini berdasarkan hasil penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) atas Tindakan Pengamanan Perdagangan (TPP) bahwa terjadi lonjakan volume impor secara absolut selama 2010-2013 dengan tren sebesar 175%. Berdasarkan hasil penyelidikan KPPI, terbukti terjadi lonjakan volume impor secara absolut selama 2010-2013 dengan tren peningkatan impor mencapai 175% dari 20.331 ton pada 2010 menjadi 395.814 ton pada 2013.
”Eksportir utamanya yaitu China (96,62%), Korea Selatan (1,56%), dan Singapura (0,96%),” kata Ketua KPPI Ernawati dalam keterangan tertulisnya di Jakarta kemarin. Menurutnya, lonjakan jumlah impor produk I dan H Section dari baja paduan lainnya berdampak negatif pada pemohon. Ini terlihat dari pangsa pasar pemohon yang menurun, persediaan yang meningkat dan keuntungan yang menurun, hingga mengalami kerugian.
”KPPI membuktikan terdapat hubungan sebab akibat antara lonjakan volume impor dan ancaman kerugian serius yang dialami pemohon,” ungkapnya. Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto mengatakan, industri baja di dalam negeri memang menghadapi tekanan akibat ada kelebihan volume produksi di negara lain.
”Kita sedang berpikir bagaimana menyelamatkan industri baja dalam negeri terhadap serangan baja impor,” kata Harjanto ketika dihubungi KORAN SINDO kemarin. Alternatif lain, kata dia, Kemenperin akan meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. ”Kita akan mengusulkan direviu PP Nomor 10 Tahun 2012 di mana ketentuan antidumping itu tidak berlaku di kawasan FTZ (free trade zone),” sebutnya.
Dia menambahkan, alternatif-alternatif tersebut akan berlaku dari hulu hingga hilir. ”Kita sedang hitung berapa pengaruhnya terhadap tekanan inflasi dan juga sedang dilakukan kajian ke mana mempengaruhi tingkat inflasi karena otomatis barangbarang akan naik,” katanya. Menurutnya, alternatif-alternatif tersebut akan dioptimalkan di samping untuk melindungi juga untuk meningkatkan daya saing industri baja nasional.
Sebelumnya Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Irvan Kamal Hakim minta proteksi kepada pemerintah menyusul ada berbagai tekanan bisnis, mulai dari tingginya biaya produksi (production cost) hingga tergerusnya pasar di dalam negeri oleh baja impor. Tekanan paling berat mulai dirasakan sejak awal 2014 seiring anjloknya harga komoditas dunia seperti harga minyak dunia yang mengalami penurunan yang sangat signifikan.
”Industri baja hari ini masih tertekan, bisa dilihat dari harga minyak dunia yang turun. Minyak salah satu komoditas sama dengan baja. Jadi, harganya juga turun,” kata Irvan Kamal Hakim. Dia mengungkapkan, harga baja pada 2008 sekitar USD1.130 per ton. Sekarang harganya turun lebih dari 50%. ”Laju penurunannya terjadi awal 2014 sampai 2015 ini.
Kita tahu bahwa harga minyak sekarang sudah ada di kisaran USD40-50 per barel. Kalau harga minyak turun, baja yang masuk dalam komoditas termasuk harga logam, tembaga, nikel turun juga,” ucapnya. Menurut dia, industri baja sekarang sedang tidak punya perlindungan pasar yang cukup. ”Tarif (bea masuk) di Indonesia untuk sektor baja paling rendah di kawasan ASEAN,” katanya.
Irvan mengatakan, IISIA minta agar pemerintah terus menggalakkan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Hal tersebut penting untuk mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan produk-produk asing, terutama dalam penggunaan baja nasional.
Menurutnya, permintaan baja di dalam negeri masih tumbuh, baik impor atau produsen lokal. Kebutuhan baja dalam negeri rata-rata setiap tahun sebesar 13 juta ton, sementara produksi baja dari dalam negeri hanya 6 juta ton. ”Berarti, ada sekitar 7 juta ton itu yang diimpor,” ujarnya.
Inda susanti/Oktiani endarwati
(bbg)