Pemerintah Harus Dukung Pengusaha
A
A
A
JAKARTA - Para pengusaha yang tergabung dalam Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) meminta pemerintah memberikan dukungan kebijakan agar produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) bisa bersaing dengan produk asing.
Dukungan kebijakan ini seiring akan diberlakukan pasar tunggal ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun ini. Ketua Umum DPP Iwapi Dyah Anita Prihapsari atau yang akrab disapa Nita Yudi mengatakan, pemberlakuan MEA di tingkat UMKM bisa menjadi peluang besar, di mana produkproduk tersebut bisa dipasarkan dengan network yang lebih luas.
Namun, di lain pihak menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha UMKM di mana akan banyak serbuan produk asing yang dapat menyingkirkan produk anak bangsa. Kondisi tersebut, kata Nita Yudi, akan berbahaya bagi para pelaku UKM jika tidak siap dalam menghadapi MEA. Karena itu, dia meminta pemerintah membuat satu kebijakan yang propengusaha, terutama UMKM.
Misalnya bunga bank harus diturunkan dan tarif dasar listrik jangan dinaikkan. “Namun, UMP (upah minimum provinsi) naik terus tanpa diimbangi produktivitas tenaga kerja yang baik. Ini bahaya,” ujarnya di sela-sela acara HUT Ke-40 Iwapi di Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, kemarin.
Dia menambahkan, kekhawatiran UMKM dalam menghadapi MEA wajar karena fakta yang ada menunjukkan iklim usaha di Indonesia masih kurang kondusif. “Listrik adalah komponen dari satu biaya produksi sehingga akan berpengaruh terhadap harga jualnya. Kalau listriknya naik, berarti harga jualnya naik. Sementara harga produk dari luar lebih murah. Akhirnya orang akan memilih (produk asing) itu. Untuk itu, pemerintah harus membuat suatu kebijakan yang propengusaha,” ungkapnya.
Menurutnya, salah satu yang menjadi momok bagi UMKM adalah pajak. Saat ini pemerintah memberlakukan pajak UKM sebesar 1%, namun pemberlakuan pajak tersebut masih membingungkan karena belum tersosialisasi dengan baik. “Kalau dihitung karena itu pajaknya diambil dari omzet, jadi besar. Namun, kita setuju dengan pajak UMKM karena kita hidup di Indonesia, kita harus bayar pajak,” katanya.
Nita Yudi menambahkan, dalam menghadapi MEA, pengusaha harus optimistis. “Artinya membekali para pengusaha kita untuk membuat suatu produk dengan kualitas yang baik, tetapi harganya efisien atau berdaya saing,” ujarnya. Menurutnya, banyak barang- barang Indonesia yang tidak ada di negara lain. Ini menjadi peluang Indonesia untuk menghadapi MEA.
“Rasanya kain tenun banyak yang tidak punya. Selain itu masih ada handicraft yang mereka tidak punya. Jadi sebenarnya Indonesia mempunya peluang yang sangat besar apabila berkembang dengan baik. Tetapi, pemerintah harus melindungi produk ini dan pengusaha,” tuturnya.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram mengatakan, dalam menghadapi MEA, Kementerian Koperasi dan UKM telah mempunyai beberapa program.
“Sosialisasi MEA mulai dari peluang, tantangan, hambatan, keuntungan, dan kelemahan. Kemudian dari sisi pemerintah juga mempersiapkan peraturan- peraturan yang bisa mendorong peran yang lebih besar dari pelaku usaha sehingga tidak terkena dampak negatif,” paparnya.
Oktiani endarwati/ Larissa huda
Dukungan kebijakan ini seiring akan diberlakukan pasar tunggal ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun ini. Ketua Umum DPP Iwapi Dyah Anita Prihapsari atau yang akrab disapa Nita Yudi mengatakan, pemberlakuan MEA di tingkat UMKM bisa menjadi peluang besar, di mana produkproduk tersebut bisa dipasarkan dengan network yang lebih luas.
Namun, di lain pihak menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha UMKM di mana akan banyak serbuan produk asing yang dapat menyingkirkan produk anak bangsa. Kondisi tersebut, kata Nita Yudi, akan berbahaya bagi para pelaku UKM jika tidak siap dalam menghadapi MEA. Karena itu, dia meminta pemerintah membuat satu kebijakan yang propengusaha, terutama UMKM.
Misalnya bunga bank harus diturunkan dan tarif dasar listrik jangan dinaikkan. “Namun, UMP (upah minimum provinsi) naik terus tanpa diimbangi produktivitas tenaga kerja yang baik. Ini bahaya,” ujarnya di sela-sela acara HUT Ke-40 Iwapi di Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, kemarin.
Dia menambahkan, kekhawatiran UMKM dalam menghadapi MEA wajar karena fakta yang ada menunjukkan iklim usaha di Indonesia masih kurang kondusif. “Listrik adalah komponen dari satu biaya produksi sehingga akan berpengaruh terhadap harga jualnya. Kalau listriknya naik, berarti harga jualnya naik. Sementara harga produk dari luar lebih murah. Akhirnya orang akan memilih (produk asing) itu. Untuk itu, pemerintah harus membuat suatu kebijakan yang propengusaha,” ungkapnya.
Menurutnya, salah satu yang menjadi momok bagi UMKM adalah pajak. Saat ini pemerintah memberlakukan pajak UKM sebesar 1%, namun pemberlakuan pajak tersebut masih membingungkan karena belum tersosialisasi dengan baik. “Kalau dihitung karena itu pajaknya diambil dari omzet, jadi besar. Namun, kita setuju dengan pajak UMKM karena kita hidup di Indonesia, kita harus bayar pajak,” katanya.
Nita Yudi menambahkan, dalam menghadapi MEA, pengusaha harus optimistis. “Artinya membekali para pengusaha kita untuk membuat suatu produk dengan kualitas yang baik, tetapi harganya efisien atau berdaya saing,” ujarnya. Menurutnya, banyak barang- barang Indonesia yang tidak ada di negara lain. Ini menjadi peluang Indonesia untuk menghadapi MEA.
“Rasanya kain tenun banyak yang tidak punya. Selain itu masih ada handicraft yang mereka tidak punya. Jadi sebenarnya Indonesia mempunya peluang yang sangat besar apabila berkembang dengan baik. Tetapi, pemerintah harus melindungi produk ini dan pengusaha,” tuturnya.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram mengatakan, dalam menghadapi MEA, Kementerian Koperasi dan UKM telah mempunyai beberapa program.
“Sosialisasi MEA mulai dari peluang, tantangan, hambatan, keuntungan, dan kelemahan. Kemudian dari sisi pemerintah juga mempersiapkan peraturan- peraturan yang bisa mendorong peran yang lebih besar dari pelaku usaha sehingga tidak terkena dampak negatif,” paparnya.
Oktiani endarwati/ Larissa huda
(ftr)