Minyak Murah Tak Dorong Pertumbuhan
A
A
A
NEW YORK - Harga minyak yang lebih murah akan gagal mendorong pertumbuhan ekonomi global dalam dua tahun mendatang. Badan pemeringkat Moodys mengungkapkan itu kemarin.
Menurutnya, semua dorongan dari harga minyak yang lebih murah akan tertutupi oleh kondisi ekonomi zona euro dan penurunan ekonomi di China, Jepang, dan Rusia. Sebagai hasilnya, Moodys menyatakan, pihaknya tidak akan merevisi proyeksi pertumbuhan untuk negara-negara G-20.
“Untuk negara-negara G-20, kami perkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hanya di bawah 3% setiap tahun pada 2015 dan 2016,” ungkap pernyataan Moodys, dikutip BBC . “Kondisi itu tidak berubah dari 2014 dan dari proyeksi sebelumnya.”
“Harga minyak yang lebih rendah pada prinsipnya memberikan dorongan besar pada pertumbuhan global. Meski demikian, berbagai faktor akan menutupi tambahan pendapatan dari harga energi yang lebih murah,” kata Marie Diron, penulis laporan Moodys.
“Di zona euro, penurunan harga minyak terjadi di iklim ekonomi yang tidak tepat, dengan tingginya pengangguran, inflasi yang rendah atau negatif dan ketidakpastian politik di beberapa negara.” Moodys menyatakan, program quantitative easing (QE) Bank Sentral Eropa (ECB) akan memberi sedikit dorongan pada zona euro dengan melemahnya euro.
Kendati demikian, Moody’s menambahkan, “Permintaan yang lemah di zona euro menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan akan melalui biaya energi yang lebih rendah, membatasi potensi untuk laba lebih tinggi.” Salah satu negara yang harus mendapat dorongan dari harga minyak yang lebih rendah ialah Amerika Serikat (AS). Moody’s menjelaskan, AS akan diuntungkan dari belanja konsumen dan korporat yang lebih tinggi.
Outlook pertumbuhan global Moody’s berdasarkan asumsi bahwa harga minyak Brent akan sebesar rata-rata USD55 per barel pada 2015, naik menjadi rata-rata USD65 per barel pada 2016. Harga minyak diperdagangkan sekitar USD115 per barel pada musim panas lalu. Secara terpisah, PwC merilis laporan tentang berbagai kesulitan yang dihadapi industri minyak dan gas Inggris.
PwC menyatakan, banyak perusahaan gas dan minyak memerlukan perubahan cara mereka beroperasi untuk menghadapi penurunan harga minyak sekarang. “Dengan para ekonom yang memprediksi harga minyak rendah sepanjang 2015, perusahaan- perusahaan minyak dan gas Inggris tidak keluar dari hutan dalam arti apa pun.
Mereka masih berisiko mengalami tiga guncangan ekonomi: saat penurunan harga minyak mengurangi pendapatan, investasi tambahan mungkin tidak lagi ekonomis dengan risiko berkurangnya aktivitas lapangan dan percepatan penonaktifan,” papar Brian Campbell, direktur proyek modal gas dan minyak di PwC dan salah satu penulis laporan tersebut.
“Realitas nyata ialah berbagai perusahaan perlu beroperasi dalam lingkungan di mana rata-rata harga minyak USD50 per barel. Dengan demikian, mereka benar-benar sehat untuk masa depan,” ungkap Campbell. Adapun Tullow Oil menjadi perusahaan minyak terbaru yang mengalami penurunan laba akibat harga minyak mentah yang terus anjlok.
Perusahaan itu melaporkan kerugian sebelum pajak tahunan USD2,05 miliar, pertama dalam 15 tahun, akibat penurunan aset USD2,2 miliar. Pendapatan penjualan turun 16% menjadi USD2,2 miliar. Perusahaan yang fokus pada eksplorasi minyak dan gas di Afrika itu juga memangkas dividennya.
Sebelumnya dilaporkan, Presiden Saudi Aramco Khalid al-Falih menilai harga minyak mentah dunia turun terlalu rendah. Dia menegaskan bahwa kekuatan pasar dan pemangkasan produksi yang tidak tergesagesa, harus mengambil peran dalam menormalkan kembali harga minyak.
“Ini terlalu rendah bagi siapa saja. Saya pikir para konsumen mulai menderita dalam jangka panjang,” ungkap Khalid al-Falih, dikutip kantor berita AFP. Falih juga menjelaskan, produksi shale oil Amerika Serikat (AS) penting bagi masa depan energi jangka panjang dunia. Saudi Aramco juga menambahkan USD7 miliar untuk proyek shale oil milik mereka.
Saudi Aramco merupakan raksasa energi milik Pemerintah Arab Saudi. Mereka menjadi perusahaan minyak terbesar di dunia dalam produksi dan ekspor minyak mentah. Kerajaan Arab Saudi merupakan eksportir minyak utama dunia dan produsen minyak terbesar di Organisasi Negaranegara Pengekspor Minyak (OPEC).
Pada November kartel itu memutuskan mempertahankan puncak output pada 30 juta barel per hari, menambah penurunan harga minyak dunia yang sudah terjadi sejak Juni lalu.
Syarifudin
Menurutnya, semua dorongan dari harga minyak yang lebih murah akan tertutupi oleh kondisi ekonomi zona euro dan penurunan ekonomi di China, Jepang, dan Rusia. Sebagai hasilnya, Moodys menyatakan, pihaknya tidak akan merevisi proyeksi pertumbuhan untuk negara-negara G-20.
“Untuk negara-negara G-20, kami perkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hanya di bawah 3% setiap tahun pada 2015 dan 2016,” ungkap pernyataan Moodys, dikutip BBC . “Kondisi itu tidak berubah dari 2014 dan dari proyeksi sebelumnya.”
“Harga minyak yang lebih rendah pada prinsipnya memberikan dorongan besar pada pertumbuhan global. Meski demikian, berbagai faktor akan menutupi tambahan pendapatan dari harga energi yang lebih murah,” kata Marie Diron, penulis laporan Moodys.
“Di zona euro, penurunan harga minyak terjadi di iklim ekonomi yang tidak tepat, dengan tingginya pengangguran, inflasi yang rendah atau negatif dan ketidakpastian politik di beberapa negara.” Moodys menyatakan, program quantitative easing (QE) Bank Sentral Eropa (ECB) akan memberi sedikit dorongan pada zona euro dengan melemahnya euro.
Kendati demikian, Moody’s menambahkan, “Permintaan yang lemah di zona euro menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan akan melalui biaya energi yang lebih rendah, membatasi potensi untuk laba lebih tinggi.” Salah satu negara yang harus mendapat dorongan dari harga minyak yang lebih rendah ialah Amerika Serikat (AS). Moody’s menjelaskan, AS akan diuntungkan dari belanja konsumen dan korporat yang lebih tinggi.
Outlook pertumbuhan global Moody’s berdasarkan asumsi bahwa harga minyak Brent akan sebesar rata-rata USD55 per barel pada 2015, naik menjadi rata-rata USD65 per barel pada 2016. Harga minyak diperdagangkan sekitar USD115 per barel pada musim panas lalu. Secara terpisah, PwC merilis laporan tentang berbagai kesulitan yang dihadapi industri minyak dan gas Inggris.
PwC menyatakan, banyak perusahaan gas dan minyak memerlukan perubahan cara mereka beroperasi untuk menghadapi penurunan harga minyak sekarang. “Dengan para ekonom yang memprediksi harga minyak rendah sepanjang 2015, perusahaan- perusahaan minyak dan gas Inggris tidak keluar dari hutan dalam arti apa pun.
Mereka masih berisiko mengalami tiga guncangan ekonomi: saat penurunan harga minyak mengurangi pendapatan, investasi tambahan mungkin tidak lagi ekonomis dengan risiko berkurangnya aktivitas lapangan dan percepatan penonaktifan,” papar Brian Campbell, direktur proyek modal gas dan minyak di PwC dan salah satu penulis laporan tersebut.
“Realitas nyata ialah berbagai perusahaan perlu beroperasi dalam lingkungan di mana rata-rata harga minyak USD50 per barel. Dengan demikian, mereka benar-benar sehat untuk masa depan,” ungkap Campbell. Adapun Tullow Oil menjadi perusahaan minyak terbaru yang mengalami penurunan laba akibat harga minyak mentah yang terus anjlok.
Perusahaan itu melaporkan kerugian sebelum pajak tahunan USD2,05 miliar, pertama dalam 15 tahun, akibat penurunan aset USD2,2 miliar. Pendapatan penjualan turun 16% menjadi USD2,2 miliar. Perusahaan yang fokus pada eksplorasi minyak dan gas di Afrika itu juga memangkas dividennya.
Sebelumnya dilaporkan, Presiden Saudi Aramco Khalid al-Falih menilai harga minyak mentah dunia turun terlalu rendah. Dia menegaskan bahwa kekuatan pasar dan pemangkasan produksi yang tidak tergesagesa, harus mengambil peran dalam menormalkan kembali harga minyak.
“Ini terlalu rendah bagi siapa saja. Saya pikir para konsumen mulai menderita dalam jangka panjang,” ungkap Khalid al-Falih, dikutip kantor berita AFP. Falih juga menjelaskan, produksi shale oil Amerika Serikat (AS) penting bagi masa depan energi jangka panjang dunia. Saudi Aramco juga menambahkan USD7 miliar untuk proyek shale oil milik mereka.
Saudi Aramco merupakan raksasa energi milik Pemerintah Arab Saudi. Mereka menjadi perusahaan minyak terbesar di dunia dalam produksi dan ekspor minyak mentah. Kerajaan Arab Saudi merupakan eksportir minyak utama dunia dan produsen minyak terbesar di Organisasi Negaranegara Pengekspor Minyak (OPEC).
Pada November kartel itu memutuskan mempertahankan puncak output pada 30 juta barel per hari, menambah penurunan harga minyak dunia yang sudah terjadi sejak Juni lalu.
Syarifudin
(bbg)