Pengusaha Bauksit Minta Kelonggaran
A
A
A
JAKARTA - Pengusaha tambang bauksit nasional menilai perlu ada kelonggaran dalam penerapan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Dalam Negeri.
Tanpa kelonggaran, pengusaha kesulitan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang diwajibkan. “Permen tersebut menegaskan bahwa komoditas seperti bauksit olahan tidak bisa diekspor. Padahal, masih diperlukan kelonggaran dalam kurun waktu tertentu, sejalan dengan tenggat waktu pembangunan smelter-nya,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan dalam keterangan tertulis yang diterima KORAN SINDO kemarin.
Dia menuturkan, akibat penerapan aturan itu, potensi pendapatan negara yang hilang dari mineral bauksit mencapai Rp18 triliun per tahun. Di luar itu, sudah banyak perusahaan tambang mineral yang terancam bangkrut dan ribuan karyawannya terpaksa diberhentikan. Tapi, sudah ada perusahaan bauksit yang tetap berusaha membangun smelter meskipun dalam keadaan yang sulit.
Padahal, ungkap dia, pembangunan smelter tidak mendapatkan dukungan sarana infrastruktur. Pemenuhan energi yang merupakan kebutuhan vital dalam pembangunan smelter punbelum terlihat upayanya. Hingga saat ini pembangunan smelter masih belum banyak mengalami perkembangan yang signifikan.
Sampai Oktober tahun lalu realisasi investasinya baru mencapai USD5 miliar atau 28,5% dari total rencana investasi pembangunan smelter sebesar USD17,5 miliar. Salah satu yang paling bagus tingkat kemajuannya adalah pembangunan smelter milik Grup Harita.
Perusahaan itu tengah membangun smelter alumina dengan total kapasitas produksi sebesar 4 juta ton alumina per tahun di bawah naungan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery yang berlokasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, termasuk membangun pembangkit listrik beserta pelabuhannya. Saat ini kemajuan pembangunan smelter itu telah mencapai 42,63%.
Erry yang juga Direktur Utama PT Harita Prima Abadi Mineral mengatakan, untuk membangun smelter sebesar itu, perusahaan menghabiskan biaya hingga USD2,28 miliar. Karena itu Erry mengatakan, apabila pemerintah tidak bisa menyediakan infrastruktur yang memadai, setidaknya pemerintah bersedia memberikan insentif fiskal maupun nonfiskal kepada pengusaha yang serius membangun.
“Seyogianya pemerintah memenuhi janji dengan memberi kesempatan ekspor seperti halnya kepada pemegang kontrak karya. Dengan demikian, perusahaan masih bisa mendapatkan cash flow guna mendukung tahapan pembangunan smelter itu,” kata Erry.
Dalam beberapa kesempatan kalangan DPR juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil. Perusahaan tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara misalnya, masih diperkenankan mengekspor konsentrat, sementara perusahaan nasional bahkan BUMN seperti Antam tidak diperkenankan.
M faizal
Tanpa kelonggaran, pengusaha kesulitan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang diwajibkan. “Permen tersebut menegaskan bahwa komoditas seperti bauksit olahan tidak bisa diekspor. Padahal, masih diperlukan kelonggaran dalam kurun waktu tertentu, sejalan dengan tenggat waktu pembangunan smelter-nya,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan dalam keterangan tertulis yang diterima KORAN SINDO kemarin.
Dia menuturkan, akibat penerapan aturan itu, potensi pendapatan negara yang hilang dari mineral bauksit mencapai Rp18 triliun per tahun. Di luar itu, sudah banyak perusahaan tambang mineral yang terancam bangkrut dan ribuan karyawannya terpaksa diberhentikan. Tapi, sudah ada perusahaan bauksit yang tetap berusaha membangun smelter meskipun dalam keadaan yang sulit.
Padahal, ungkap dia, pembangunan smelter tidak mendapatkan dukungan sarana infrastruktur. Pemenuhan energi yang merupakan kebutuhan vital dalam pembangunan smelter punbelum terlihat upayanya. Hingga saat ini pembangunan smelter masih belum banyak mengalami perkembangan yang signifikan.
Sampai Oktober tahun lalu realisasi investasinya baru mencapai USD5 miliar atau 28,5% dari total rencana investasi pembangunan smelter sebesar USD17,5 miliar. Salah satu yang paling bagus tingkat kemajuannya adalah pembangunan smelter milik Grup Harita.
Perusahaan itu tengah membangun smelter alumina dengan total kapasitas produksi sebesar 4 juta ton alumina per tahun di bawah naungan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery yang berlokasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, termasuk membangun pembangkit listrik beserta pelabuhannya. Saat ini kemajuan pembangunan smelter itu telah mencapai 42,63%.
Erry yang juga Direktur Utama PT Harita Prima Abadi Mineral mengatakan, untuk membangun smelter sebesar itu, perusahaan menghabiskan biaya hingga USD2,28 miliar. Karena itu Erry mengatakan, apabila pemerintah tidak bisa menyediakan infrastruktur yang memadai, setidaknya pemerintah bersedia memberikan insentif fiskal maupun nonfiskal kepada pengusaha yang serius membangun.
“Seyogianya pemerintah memenuhi janji dengan memberi kesempatan ekspor seperti halnya kepada pemegang kontrak karya. Dengan demikian, perusahaan masih bisa mendapatkan cash flow guna mendukung tahapan pembangunan smelter itu,” kata Erry.
Dalam beberapa kesempatan kalangan DPR juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil. Perusahaan tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara misalnya, masih diperkenankan mengekspor konsentrat, sementara perusahaan nasional bahkan BUMN seperti Antam tidak diperkenankan.
M faizal
(bhr)