Joko Supriyono Pimpin Gapki
A
A
A
BADUNG - Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk Joko Supriyono terpilih menjadi ketua umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) yang baru untuk periode 2015-2018.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX Gapki yang berlangsung di Seminyak, Badung, Bali, tadi malam, Joko Supriyono mengungguli tujuh calon lainnya yang turut bersaing. Total, Joko memperoleh 842 suara (33%), disusul Mustofa Daulay 549 suara (21%), Erwin Nasution 528 suara (21%), Susanto 263 suara (10%), Tjatur Putro Wibowo 227 suara (9%), Mona Surya 78 suara (3%), Eddy Martono 50 suara (2%), dan Kacuk Sumarto 25 suara (1%).
“Alhamdulillah Munas Gapki selesai dengan lancar dan anggota memberikan amanah untuk saya. Oleh karena itu saya akan mengemban amanah itu dengan baik sebagaimana program kerja yang telah kami sepakati bersama,” ujar Joko kepada KORAN SINDO tadi malam.
Dia menambahkan, setelah dipercaya menjadi ketua umum Gapki, yang akan dilakukan adalah meningkatkan daya saing industri sawit sehingga menjadi industri berkelanjutan. Aspek daya saing, menurut Joko, akan menjadi agenda penting dalam menjalankan organisasi ke depan.
Namun untuk mewujudkannya harus didukung kebijakan pemerintah sehingga ke depan Gapki akan meningkatkan kerja sama yang baik dan erat dengan pemerintah. “Saya yakin pemerintah yang baru ini akan menyambut itu, apalagi tahun ini target pertumbuhan ekonomi pada APBN-P 2015 ditetapkan sebesar 5,7% dan target ekspor naik 300% sampai 2019,” ujar dia.
Joko menambahkan, untuk mencapai target-target tersebut, pemerintah harus meningkatkan peran sektor riil, termasuk industri sawit yang merupakan komoditas unggulan Indonesia. Joko berpendapat, sawit saat ini merupakan industri global karena sudah masuk di pasar dunia. “Kita harus bersyukur karena kita sebagai produsen sawit nomor satu di dunia dengan market share 38%,” ujarnya.
Untuk itu, menurut Joko, produksi sawit harus terus ditingkatkan, tidak boleh berhenti untuk melakukan ekspansi produksi karena akan meningkatkan ekspor. Meski demikian, menurut dia, ke depan para pelaku usaha harus lebih kreatif dalam pengembangan pasar ekspor. Oleh karena itu pemerintah juga harus mendukung dengan melakukan kerja sama perdagangan, terutama dengan negara-negara potensial.
Tolak Rencana Penurunan Batas Bawah BK CPO
Sementara itu, mengenai rencana pemerintah yang akan menurunkan harga batas bawah untuk pengenaan bea keluar (BK) ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO), Gapki menolak dengan tegas. Alasannya, penurunan itu akan sangat memberatkan industri sawit.
Menurut Joko, wacana penurunan ambang batas BK ini hendaknya dilihat dari berbagai aspek. Joko memahami sejak Oktober 2014 lalu pemerintah tidak memperoleh pendapatan dari BK CPO lantaran harga CPO di bawah USD750 per ton. Padahal, pendapatan dari sektor BK ini menjadi salah satu andalan pemerintah. “Bahkan saya lihat itu ditargetkan dalam APBN,” kata Joko.
Joko menyebutkan, pendapatan negara dari industri sawit itu tidak berasal dari BK saja, sebab pendapatan dari sektor pajak itu jauh lebih besar. “Nilai industri ini hitungan kasarnya lebih dari Rp400 triliun,” katanya.
Mantan Ketua Umum Gapki Joefly J Bachroeny berpendapat, harga CPO yang rendah ini sudah memberatkan industri untuk menutupi biaya operasional dan produksi. Untukitu, diaberharap pemerintah memberikan dukungan kepada industri sawit dengan tidak mengeluarkan peraturan yang kontraproduktif dan mengakibatkan daya saing minyak sawit Indonesia berkurang di pasar global.
Saat ini tarif bea keluar progresif untuk CPO ditetapkan 7,5% untuk harga referensi USD750-800 per ton. Di bawah USD750 per ton, bea keluar CPO otomatis hilang. Adapun bea tertinggi adalah 22,5% untuk harga referensi di atas USD1.250 ton. Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengakui Kemenperin sedang mereviu formulasi BK CPO.
Namun pembahasan BK ini, kata dia, semangatnya bukan untuk pendapatan negara. “Tapi concern kami dalam rangka hilirisasi industri sawit,” kata Panggah.
Sudarsono
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX Gapki yang berlangsung di Seminyak, Badung, Bali, tadi malam, Joko Supriyono mengungguli tujuh calon lainnya yang turut bersaing. Total, Joko memperoleh 842 suara (33%), disusul Mustofa Daulay 549 suara (21%), Erwin Nasution 528 suara (21%), Susanto 263 suara (10%), Tjatur Putro Wibowo 227 suara (9%), Mona Surya 78 suara (3%), Eddy Martono 50 suara (2%), dan Kacuk Sumarto 25 suara (1%).
“Alhamdulillah Munas Gapki selesai dengan lancar dan anggota memberikan amanah untuk saya. Oleh karena itu saya akan mengemban amanah itu dengan baik sebagaimana program kerja yang telah kami sepakati bersama,” ujar Joko kepada KORAN SINDO tadi malam.
Dia menambahkan, setelah dipercaya menjadi ketua umum Gapki, yang akan dilakukan adalah meningkatkan daya saing industri sawit sehingga menjadi industri berkelanjutan. Aspek daya saing, menurut Joko, akan menjadi agenda penting dalam menjalankan organisasi ke depan.
Namun untuk mewujudkannya harus didukung kebijakan pemerintah sehingga ke depan Gapki akan meningkatkan kerja sama yang baik dan erat dengan pemerintah. “Saya yakin pemerintah yang baru ini akan menyambut itu, apalagi tahun ini target pertumbuhan ekonomi pada APBN-P 2015 ditetapkan sebesar 5,7% dan target ekspor naik 300% sampai 2019,” ujar dia.
Joko menambahkan, untuk mencapai target-target tersebut, pemerintah harus meningkatkan peran sektor riil, termasuk industri sawit yang merupakan komoditas unggulan Indonesia. Joko berpendapat, sawit saat ini merupakan industri global karena sudah masuk di pasar dunia. “Kita harus bersyukur karena kita sebagai produsen sawit nomor satu di dunia dengan market share 38%,” ujarnya.
Untuk itu, menurut Joko, produksi sawit harus terus ditingkatkan, tidak boleh berhenti untuk melakukan ekspansi produksi karena akan meningkatkan ekspor. Meski demikian, menurut dia, ke depan para pelaku usaha harus lebih kreatif dalam pengembangan pasar ekspor. Oleh karena itu pemerintah juga harus mendukung dengan melakukan kerja sama perdagangan, terutama dengan negara-negara potensial.
Tolak Rencana Penurunan Batas Bawah BK CPO
Sementara itu, mengenai rencana pemerintah yang akan menurunkan harga batas bawah untuk pengenaan bea keluar (BK) ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO), Gapki menolak dengan tegas. Alasannya, penurunan itu akan sangat memberatkan industri sawit.
Menurut Joko, wacana penurunan ambang batas BK ini hendaknya dilihat dari berbagai aspek. Joko memahami sejak Oktober 2014 lalu pemerintah tidak memperoleh pendapatan dari BK CPO lantaran harga CPO di bawah USD750 per ton. Padahal, pendapatan dari sektor BK ini menjadi salah satu andalan pemerintah. “Bahkan saya lihat itu ditargetkan dalam APBN,” kata Joko.
Joko menyebutkan, pendapatan negara dari industri sawit itu tidak berasal dari BK saja, sebab pendapatan dari sektor pajak itu jauh lebih besar. “Nilai industri ini hitungan kasarnya lebih dari Rp400 triliun,” katanya.
Mantan Ketua Umum Gapki Joefly J Bachroeny berpendapat, harga CPO yang rendah ini sudah memberatkan industri untuk menutupi biaya operasional dan produksi. Untukitu, diaberharap pemerintah memberikan dukungan kepada industri sawit dengan tidak mengeluarkan peraturan yang kontraproduktif dan mengakibatkan daya saing minyak sawit Indonesia berkurang di pasar global.
Saat ini tarif bea keluar progresif untuk CPO ditetapkan 7,5% untuk harga referensi USD750-800 per ton. Di bawah USD750 per ton, bea keluar CPO otomatis hilang. Adapun bea tertinggi adalah 22,5% untuk harga referensi di atas USD1.250 ton. Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengakui Kemenperin sedang mereviu formulasi BK CPO.
Namun pembahasan BK ini, kata dia, semangatnya bukan untuk pendapatan negara. “Tapi concern kami dalam rangka hilirisasi industri sawit,” kata Panggah.
Sudarsono
(ftr)