BI Dorong Swasta Lakukan Lindung Nilai

Senin, 02 Maret 2015 - 10:02 WIB
BI Dorong Swasta Lakukan Lindung Nilai
BI Dorong Swasta Lakukan Lindung Nilai
A A A
BANDUNG - Bank Indonesia (BI) menyiapkan surat teguran kepada perusahaan swasta yang lambat melakukan lindung nilai (hedging) atas utang valasnya. Langkah ini menyusul terbitnya aturan rasio pengelolaan utang luar negeri (ULN) korporasi swasta nonbank.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, saat ini baru 30% perusahaan swasta yang bersedia melakukan lindung nilai. Kondisi mengkhawatirkan ini akibat keterbatasan otoritas BI pada korporasi swasta. Karena itu, salah satu cara yang akan ditempuh ialah menyurati perusahaan yang masih menolak.

“Kami akan dorong swasta lakukan hedging supaya tidak rugi kurs. Nanti akan dikirim surat teguran keras untuk semua yang menolak. Ini ditembuskan pada pemerintah dan kreditornya di luar negeri,” ujar Tirta di Bandung akhir pekan. Dia mengatakan, surat tembusan itu dapat membuat kreditor asing berpikir ulang mengenai debitornya.

Jika tidak diindahkan, hal itu diyakini akan mempersulit restrukturisasi utang perusahaan. Bahkan, kreditor dapat meminta pelunasan secepatnya. “Ini sangat keras karena kreditor di luar negeri akan berpikir ulang saat restrukturisasi utang atau malah meminta bayar penuh. Mereka akan ragu apakah perusahaan bakal yang bermasalah dengan regulasi bisa penuhi utangnya,” ujarnya.

Langkah ini dinilai penting dalam mengamankan posisi utang luar negeri di tengah pertumbuhan ekonomi yang semakin terkontraksi. Tirta menambahkan, ini merupakan aturan baru sehingga BI akan terus melakukan evaluasi.

Ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede menilai, kondisi utang luar negeri swasta saat ini seperti saat krisis ekonomi tahun 1998 dulu. Untuk itu, langkah hedging harus terus didorong oleh otoritas. Ini sangat mendesak mengingat di akhir semester pertama akan terjadi kekeringan dolar akibat korporasi yang harus membayar utangnya.

“Pembayaran utang dan pembagian dividen oleh swasta akan membuat rupiah semakin goyah. Kondisi krisis ekonomi seperti dulu bisa saja terjadi lagi,” ujar Joshua saat dihubungi kemarin. Dia memaparkan, terdapat beberapa sektor yang mendominasi utang luar negeri swasta, seperti multifinance, transportasi, pertambangan, dan komunikasi.

Setidaknya, hingga akhir tahun lalu tercatat senilai USD47 juta dari sektor multifinance, dari total USD102 juta utang luar negeri nasional. Ini menyebabkan rasio utang luar negeri terhadap PDB mencapai 32,9%. Sedangkan, rasio DSR yang mencerminkan kemampuan sebuah negara untuk menyelesaikan kewajibannya membayar utang mencapai 46,2% di akhir tahun lalu.

“Sebaiknya BI juga menjalin kerja sama dengan otoritas keuangan di kawasan ASEAN untuk memperketat pinjaman korporasi yang tidak kooperatif,” ujarnya. Sebelumnya BI telah mengeluarkan peraturan tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan ULN Korporasi Nonbank.

Aturan tersebut mengatur tentang kewajiban rasio lindung nilai dan rasio likuiditas. Rasio hedging menentukan persentase keharusan korporasi melakukan hedging dari total nilai utang valasnya. Adapun, rasio likuiditas mengukur ketersediaan aset valas untuk memenuhi kewajiban valas dalam kurun waktu tiga bulan ke depan.

Penerapannya dibagi dalam dua tahap, yakni per 1 Januari 2015 dan per 1 Januari 2016. Perusahaan diwajibkan untuk melaporkan posisi keuangannya pada BI per triwulan dan membuat laporan akhir tahun secara komprehensif.

Sementara, Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Solikin M Juhro menuturkan bahwa perekonomian Indonesia masih tergantung dengan dana investor asing, utamanya dari penanaman modal asing (PMA).

Karena itu, sangat penting untuk menjaga stabilitas makro ekonomi. “Kalau kita stabil, terjaga, iklim usaha bagus, investor asing yang keluar hanya yang kecil. Sementara, yang long-term atau jangka panjang masih bertahan,” tutur Solikin.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur menjadi arah utama dari penggunaan pinjaman luar negeri. Sofyan juga menilai Indonesia tidak perlu terlalu khawatir dengan utang negara, sebab persentasenya masih terbilang cukup aman, di kisaran 30% PDB.

“Asalkan pendanaan bisa ditarik ke infrastruktur, maka ini akan jadi aset karena dengan mengandalkan APBN 2015 tentu tidak akan cukup,” ujarnya.

Hafid Fuad/Rabia Edra
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0885 seconds (0.1#10.140)