Industri Petrokimia Hilir Terpukul
A
A
A
JAKARTA - Penurunan harga minyak bumi dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berdampak negatif pada industri petrokimia hilir.
Selain masalah kapasitas yang belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, industri petrokimia juga menghadapi masalah mendasar, yaitu ketergantungan bahan baku dari impor. Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan, penurunan harga minyak memukul industri petrokimia terutama industri hilir.
“Di hilir dia membeli dalam dolar Amerika Serikat (AS), sementara dia menjualnya dalam bentuk rupiah. Ini tentu cukup berpengaruh terhadap penjualan,” ujarnya di Jakarta kemarin. Namun, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak memengaruhi industri petrokimia hulu.
Pasalnya, bahan baku serta produknya dibeli dan dijual dengan menggunakan mata uang dolar AS Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun akan membuat kebijakan yang pas untuk menolong industri hilir petrokimia. “Industri petrokimia menjadi tolok ukur tingkat kemajuan industri suatu negara selain industri baja. Maka, keberadaan industri petrokimia sering menjadi backbone dari sebagian besar sektor industri di dunia,” katanya.
Indonesia memiliki peluang sebagai pusat pengembangan industri petrokimia di ASEAN dan Asia. “Kondisi ini didukung jumlah penduduk yang menuju 250 juta jiwa dan sumber daya alam sebagai bahan baku industri petrokimia, baik yang tidak terbarukan maupun terbarukan,” lanjutnya. Berdasarkan data Januari 2014, Indonesia memiliki cadangan total minyak bumi 7,549 miliar barel.
Rinciannya, 3,692 miliar barel (proven) dan 3,857 miliar barel (potential). Sementara, cadangan total gas bumi 152,89 triliun kaki kubik, dengan rincian 104,71 triliun kaki kubik (proven) dan 48,18 triliun kaki kubik (potential). Adapun, cadangan batu bara 21 miliar ton sedangkan potensi cadangan batu bara yang belum tereksplorasi mencapai 104 miliar ton.
Ketua Umum The Indonesian Olefin Aromatic and Plastic Industry Association (Inaplas) Amir Sambodo mengatakan, industri hulu petrokimia masih memerlukan bahan baku impor berupa nafta, sedangkan industri hilir juga memerlukan tambahan bahan baku berupa polimer dari impor terutama polietilena dan polipropilena.
“Industri plastik hilir mendapatkan tantangan yang luar biasa di 2014 yang dipengaruhi kurs rupiah dan membanjirnya produk plastik impor yang terus meningkat dari tahun ke tahun,” imbuhnya. Saat ini kekurangan kebutuhan dapat dipenuhi dari kelebihan pasokan di negara-negara ASEAN yang impornya sudah tidak dikenakan bahan baku.
Untuk beberapa jenis polimer yang tidak bisa dipasok dari ASEAN, pemerintah memberikan insentif berupa BMDTP (bea masuk ditanggung pemerintah) untuk impor dari negara-negara non-Asean (MFN: most favoured nations ). Adapun, impor polimer yang tidak mendapat fasilitas BMDTP dari negara-negara MFN, pemerintah mengenakan bea masuk antara 10-15%. Bea masuk polimer dari negaranegara MFN dimaksudkan untuk mendorong investasi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga impor bisa diminimalkan.
Oktiani endarwati
Selain masalah kapasitas yang belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, industri petrokimia juga menghadapi masalah mendasar, yaitu ketergantungan bahan baku dari impor. Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan, penurunan harga minyak memukul industri petrokimia terutama industri hilir.
“Di hilir dia membeli dalam dolar Amerika Serikat (AS), sementara dia menjualnya dalam bentuk rupiah. Ini tentu cukup berpengaruh terhadap penjualan,” ujarnya di Jakarta kemarin. Namun, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak memengaruhi industri petrokimia hulu.
Pasalnya, bahan baku serta produknya dibeli dan dijual dengan menggunakan mata uang dolar AS Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun akan membuat kebijakan yang pas untuk menolong industri hilir petrokimia. “Industri petrokimia menjadi tolok ukur tingkat kemajuan industri suatu negara selain industri baja. Maka, keberadaan industri petrokimia sering menjadi backbone dari sebagian besar sektor industri di dunia,” katanya.
Indonesia memiliki peluang sebagai pusat pengembangan industri petrokimia di ASEAN dan Asia. “Kondisi ini didukung jumlah penduduk yang menuju 250 juta jiwa dan sumber daya alam sebagai bahan baku industri petrokimia, baik yang tidak terbarukan maupun terbarukan,” lanjutnya. Berdasarkan data Januari 2014, Indonesia memiliki cadangan total minyak bumi 7,549 miliar barel.
Rinciannya, 3,692 miliar barel (proven) dan 3,857 miliar barel (potential). Sementara, cadangan total gas bumi 152,89 triliun kaki kubik, dengan rincian 104,71 triliun kaki kubik (proven) dan 48,18 triliun kaki kubik (potential). Adapun, cadangan batu bara 21 miliar ton sedangkan potensi cadangan batu bara yang belum tereksplorasi mencapai 104 miliar ton.
Ketua Umum The Indonesian Olefin Aromatic and Plastic Industry Association (Inaplas) Amir Sambodo mengatakan, industri hulu petrokimia masih memerlukan bahan baku impor berupa nafta, sedangkan industri hilir juga memerlukan tambahan bahan baku berupa polimer dari impor terutama polietilena dan polipropilena.
“Industri plastik hilir mendapatkan tantangan yang luar biasa di 2014 yang dipengaruhi kurs rupiah dan membanjirnya produk plastik impor yang terus meningkat dari tahun ke tahun,” imbuhnya. Saat ini kekurangan kebutuhan dapat dipenuhi dari kelebihan pasokan di negara-negara ASEAN yang impornya sudah tidak dikenakan bahan baku.
Untuk beberapa jenis polimer yang tidak bisa dipasok dari ASEAN, pemerintah memberikan insentif berupa BMDTP (bea masuk ditanggung pemerintah) untuk impor dari negara-negara non-Asean (MFN: most favoured nations ). Adapun, impor polimer yang tidak mendapat fasilitas BMDTP dari negara-negara MFN, pemerintah mengenakan bea masuk antara 10-15%. Bea masuk polimer dari negaranegara MFN dimaksudkan untuk mendorong investasi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga impor bisa diminimalkan.
Oktiani endarwati
(bbg)