Cerdas Berkartu Kredit

Minggu, 08 Maret 2015 - 10:08 WIB
Cerdas Berkartu Kredit
Cerdas Berkartu Kredit
A A A
Nilai transaksi kartu kredit sepanjang tahun lalu melonjak tinggi. Meski volume transaksi hanya tumbuh 7,9%, nilai transaksi tumbuh dua kali lipatnya yaitu 16% dari Rp219 triliun menjadi Rp255 triliun.

Seperti biasa, pada Desember tercatat sebagai bulan belanja terbesar menggunakan kartu plastik yaitu Rp25,5 triliun dan Februari yang terendah dengan Rp17,6 triliun. Pertumbuhan 16% setahun ini yang tertinggi dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya naik 12,3% pada 2011 dan meningkat hanya 10,8% per tahun pada 2012 dan 2013.

Kartu kredit di Indonesia pertama kali diluncurkan Bank Duta pada akhir 1980-an dan hingga 1990 penggunanya masih 300 ribuan. Tahun lalu jumlah kartu kredit yang diterbitkan sekitar 20 bank di Indonesia bertumbuh 6,3%, rata-rata 79.000 kartu baru setiap bulan atau 2,6 ribu per hari. Alhasil, jumlah kartu meningkat dari 15,091 juta kartu awal 2014 menjadi 16,043 juta akhir tahun.

Potensi Laba Puluhan Triliun

Nilai transaksi sebesar Rp255 triliun setahun atau Rp21,25 triliun per bulan dengan kartu kredit sungguh menggiurkan. Dengan asumsi 70% nasabah hanya membayar tagihan minimum 10% dan berutang 90% dari total tagihan dengan bunga 3% per bulan, ratusan miliar rupiah setiap bulannya diraup bank-bank penerbit untuk bunga kartu kredit ini.

Angka tepatnya adalah Rp401,6 miliar yaitu 3% x 90% x 70% x Rp21,25 triliun dengan asumsi pemegang kartu berutang hanya satu bulan. Jika periode berutang rata-rata empat bulan, pendapatan bunga pun menjadi sekitar empat kalinya, menembus lebih dari Rp1,6 triliun per bulan atau Rp19,2 triliun. Belum lagi jika memperhitungkan merchantmerchants fee yang sekitar 2% dari nilai transaksi atau setara dengan pendapatan Rp5,1 triliun per tahun (2% x Rp255 triliun).

Selain itu, masih ada biaya tahunan yang ratusan ribu rupiah per kartu. Jika diasumsikan Rp200.000 per kartu, bank dapat meraup Rp3,2 triliun setiap tahun dari iuran ini. Dengan potensi laba kotor Rp27,5 triliun (Rp19,2 triliun + Rp5,1 triliun + Rp3,2 triliun) dari bisnis kartu kredit, wajar saja jika bank penerbit gencar berpromosi meningkatkan jumlah pengguna kartu kreditnya sekaligus nilai transaksinya.

Argo Mundur dan Nilai Tukar

Masih ada dua sumber lain keuntungan bank dari bisnis ini. Pertama, penghitungan bunga sejak tanggal transaksi jika nasabah tidak melunasi seluruh tagihan saat jatuh tempo. Seorang pemegang kartu pernah mengeluhkan soal ini di surat pembaca. Walau telah melunasi total tagihan sebesar Rp10 juta, dia dikenakan bunga Rp236.000 di tagihan berikutnya hanya karena lupa menambahkan bea materai yang Rp6.000. Saya juga sempat mengalaminya.

Hanya kurang bayar tiga ratus ribuan dari sekitar Rp5,6 juta, karena tidak teliti, saya harus rugi ratusan ribu rupiah juga. Perhitungan bunga dengan argo mundur seperti ini sungguh menjerat pengguna kartu kredit. Jebakan lain adalah kurs valuta asing yang digunakan. Saya pernah menggunakan kartu kredit sebuah bank BUMN beberapa tahun lalu. Walau kurs dolar Singapura sejak penggesekan kartu hingga tagihan datang tidak pernah lebih dari Rp7.000, kurs di tagihan saya adalah Rp7.361.

Sudah kena biaya tahunan Rp1 juta untuk kartu platinumnya, saya kembali dirugikan untuk praktik curang bank ini. Sejak saat itu saya tidak bersedia lagi untuk menggesek kartu kredit ketika berada di luar negeri. Tak berapa lama setelah kejadian ini, saya pun berhenti menggunakan kartu kredit bank ini. Kebetulan sebuah bank BUMN lain menawarkan saya dan keluarga kartu kredit platinum bebas biaya tahunan seumur hidup. Anehnya, ada seorang perencana keuangan menulis artikel tentang manfaat kartu kredit di luar negeri.

Dia menyarankan kliennya untuk mengandalkannya ketika berada di luar negeri untuk alasan pengendalian diri yang lebih baik daripada membawa valuta asing tunai (bank notes). Sangat mungkin perencana keuangan ini jarang bepergian ke luar negeri atau tidak pernah mengalami rugi kurs seperti saya. Berbeda dengan pengguna kartu kredit lain yang sering memohon dan bangga dengan batas kredit yang besar, saya justru meminta batas kredit minimum.

Buat apa limit Rp151 juta jika saya hanya menggunakan rata-rata Rp3 juta rupiah per bulan. Pelayanan kartu kredit platinum sebuah bank asing terkemuka juga sama. Meski saya sudah tegaskan ketika dikonfirmasi via telepon bahwa dua transaksi online dalam USD yang ditagihkan adalah satu transaksi yang sama, saya tetap didebit dua kali. Bank meminta saya untuk melunasi tagihan terlebih dahulu dan akan mengkreditkan pada bulan berikutnya.

Saya pun menuruti. Namun, bank menggunakan kurs jual untuk mendebit dan kurs beli untuk mengkredit. Karena dua kurs ini berbeda Rp500, saya pun harus merugi Rp300.000 akibat kesalahan yang tidak saya lakukan. Bank pesta untung, nasabah terus buntung.

Lima Pertanyaan Sebelum Menggesek

Tips dari saya, lunasi seluruh tagihan kartu kredit Anda saat jatuh tempo dan punya dua kartu kredit itu sudah lebih dari cukup. Itulah sebabnya Bank Indonesia membatasi maksimal dua kartu untuk mereka yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan sejak awal tahun ini.

Untuk setiap kali datangnya keinginan untuk menggesek kartu, jawablah dulu pertanyaan berikut, “Apakah saya akan membelinya jika tidak mempunyai kartu kredit?” Mereka yang lebih bijak akan menggenapi pertanyaan itu dengan empat pertanyaan lain yaitu, “Apakah saya membutuhkan barang itu?”, “Jika membutuhkannya, apakah harus saat ini?”, dan “Apakah harganya mesti setinggi itu?”

Jika jawabannya masih saja “Ya”, inilah pertanyaan pamungkas yang juga Anda harus pikirkan, “Apakah saya mempunyai dana untuk melunasi saat tagihannya nanti datang?” Inilah lima pertanyaan yang mesti dipertimbangkan para penggila belanja.

Budi Frensidy
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan, www.fund-and-fun.com @BudiFrensidy
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0678 seconds (0.1#10.140)