Komisaris BUMN Harus Orang Profesional!

Senin, 09 Maret 2015 - 18:36 WIB
Komisaris BUMN Harus Orang Profesional!
Komisaris BUMN Harus Orang Profesional!
A A A
JAKARTA - Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu menyatakan, orang-orang yang menjabat sebagai komisaris di perusahaan pelat merah harus berasal dari kalangan profesional. Jika orang yang diplot di kursi BUMN itu berasal dari kalangan politisi atau partai, diharuskan mundur dari organisasi yang menaunginya.

"Intinya profesional dan tidak boleh ada sama sekali dari partai. Kalau dari partai, maka dia harus mundur," ujarnya kepada Sindonews di Jakarta, Senin (9/3/2015).

Menanggapi kabar pembagian jabatan untuk tim sukses/relawan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai komisaris BUMN, menurut Said, sejatinya tidak ada aturan yang melanggar relawan dilarang menduduki posisi penting di perusahaan milik negara.

"Kalau aturan tidak ada yang melanggar sama sekali. Tapi ini kan antara aturan dan etika. Selama dia profesional, tidak ada aturan yang melanggar," imbuhnya.

Kendati demikian, Said mengkritisi, selama ini dalam pemilihan komisaris atau direksi BUMN belum ada mekanisme baku. Seleksi seperti fit and proper test atau assessment (penilaian) yang melibatkan KPK atau PPATK seharusnya diterapkan.

"Saya belum tahu mekanisme seleksinya. Kelihatannya belum ada. Harusnya itu (mekanimse seleksi) ada," tegasnya.

Dikutip dari Koran Sindo, sebelumnya pengamat politik Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan, pengangkatan para relawan menduduki posisi penting di pemerintahan semakin mencerminkan politik akomodatif yang diterapkan Presiden Jokowi. Hal ini terlihat saat Jokowi menyusun komposisi kabinet hingga penempatan komisaris BUMN dan staf di kementerian.

“Belakangan tecermin ketika relawan mendapatkan jatah di jajaran komisaris. Ini semua jelas cermin dari politik akomodatif Jokowi,” ujarnya.

Terlepas dari kompetensi dan integritas orang-orang yang ditunjuk menempati jabatan tertentu, kata Asep, politik akomodatif yang diterapkan merupakan bentuk pengingkaran dari semangat membangun pemerintahan yang tidak transaksional, serta semangat perampingan jabatan demi efektivitas pemerintahan.

"Yang patut disesalkan adalah, sampai kapan Jokowi mengakomodasi orang-orang yang sudah membantunya. Terkesan hanya bentuk bagi-bagi kekuasaan,” jelasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6934 seconds (0.1#10.140)