Mandatori Biodiesel 15% Mulai April

Selasa, 17 Maret 2015 - 12:22 WIB
Mandatori Biodiesel...
Mandatori Biodiesel 15% Mulai April
A A A
JAKARTA - Pemerintah akan meningkatkan mandatori pencampuran bahan bakar nabati (BBN) ke bahan bakar minyak (BBM) jenis solar sebesar 15% (biodiesel15/B15) bulan depan guna menekan impor BBM.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, campuran kandungan BBN dalam solar saat ini baru sebesar 10%. Pemerintah berencana meningkatkan mandatori hingga 20% tahun depan.

“Rencananya bulan depan 15%, kemudian bagaimana meningkatkan porsi biofuel bertahap dari 10% menjadi 20%,” ungkap dia di Jakarta kemarin. Menurut dia, peningkatan mandatori B15 akan mengurangi impor BBM mencapai 15% lantaran konsumsi BBM ke depan akan digantikan dengan biodiesel. Dalam rangka menyukseskan program pengurangan impor BBM ini, pemerintah akan mengeluarkan regulasi revisi peraturan pemerintah guna mempermudah implementasi.

Di samping itu, pemerintah juga akan melakukan dialog secara intensif dengan pihak-pihak terkait seperti pengusaha kelapa sawit dan biofuel. “Kami akan segera berdialog dengan pelaku usaha bidang biofuel untuk mereka melakukan persiapan. Selebihnya, dalam satu dua hari akan keluar peraturan menteri,” katanya.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Ridha Mulyana mengatakan, revisi aturan terkait tidak ada kepastian subsidi. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 tidak lagi disubsidi. “Dengan alasan itu, kemudian harga jual jadi naik kalau akan dicampur ke biodiesel,” sebut dia. Maka itu, lanjut dia, pemerintah segera memberikan kelonggaran agar tidak menjadi beban. Salah satunya memberikan insentif, harganya diregulasi, dan menjamin bahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) cukup di dalam negeri.

“Meski kita tahu produksi CPO sekarang 31 juta ton dan (untuk konsumsi) di dalam negeri 9 juta ton, sedangkan untuk biodiesel sendiri 4 juta ton CPO, jadi enggak bakal kurang. Tapi, apa pun kan harus tetap dijamin,” ucap dia. Dia mengaku tidak ada kendala terkait peningkatan mandatori ini. Ditinjau dari volumenya cukup, sedangkan produsennya tidak ada masalah.

“Tinggal sekarang mekanisme harga akan disubsidi atau tidak. Tapi kalau proses cepat tidak perlu proses di DPR, pakai insentif fiskal, pajak, termasuk bea keluar,” kata dia. Menurut dia, konsep penerimaan bea keluar digunakan untuk menutupi selisih harga biodiesel. Selama ini bea keluar ditetapkan 7,5% jika harga CPO di atas USD750 per ton. “Karena begini, harga biodiesel ditentukan oleh harga CPO-nya. Biodiesel mahal karena harga CPOnya mahal.

Tidak disubsidi, tapi dikasih insentif sehingga harga CPO-nya ditekan, artinya pajaknya dikurangi,” ungkap dia. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, pelaksanaan kebijakan mandatori biofuel perlu disempurnakan oleh pemerintah. Tantangan secara teknis ialah penyediaan tangki, kapal pengangkut, dan sebagainya.

“Ini yang harus diperbaiki,” ujar dia. Harga sudah sesuai keinginannya sebab harga indeks tidak lagi mengacu pada harga BBM jenis solar. “Yang perlu diperbaiki adalah pelaksanaannya yang harus disempurnakan,” sebutnya. Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, berapa pun permintaan minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) untuk kebutuhan biofuel akan dipenuhi. “Kami mampu memenuhi target pemerintah sampai 20% (B20). Bahkan 8 juta ton CPO kami siap, barangnya sudah ada,” katanya.

Dia mengatakan, kendala utama penerapan mandatori biofuel selama ini justru pada keseriusan pemerintah dalam mengimplementasi kebijakan. Selain itu, mandatori ini juga terkendala saat harga CPO tinggi karena produsen biofuel enggan membeli CPO. “Harusnya tidak seperti itu, tidak didasarkan saat harga kelapa sawit murah karena terkait mengurangi penggunaan BBM dan meningkatkan energi terbarukan,” ungkapnya.

Nanang wijayanto
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6377 seconds (0.1#10.140)