SVLK Jamin Hutan Lestari dan Akses Pasar
A
A
A
JAKARTA - Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang dijalankan dengan melibatkan multipihak adalah bagian penting pencegahan pembalakan dan perdagangan kayu ilegal.
Sistem yang telah diakui oleh negaranegara konsumen tersebut juga memberi kepastian akses pasar bagi produk kayu Indonesia. Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menyatakan, SVLK mengatur para pelaku industri kehutanan agar menerapkan konsep pengelolaan hutan berkelanjutan.
“SVLK adalah soft approach untuk menanggulangi pembalakan dan perdagangan kayu ilegal, sekaligus memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia,” ungkap dia di sela pameran International Furniture & Craft Fair Indonesia (IFFINA) 2015 di Jakarta, Sabtu (14/3).
Bambang menambahkan, SVLK bersifat wajib dan merupakan komitmen nasional untuk menjadi sistem yang kredibel. SVLK sekaligus menjawab internasional yang mewajibkan eksportir kayu dan produk kayu memiliki bukti legalitas kayu. Permintaan di antaranya “Amendment Lacey Act” di Amerika Serikat, “EU Timber Regulation” di Uni Eropa, “Illegal Logging Prohibition Act” di Australia, dan Jepang dengan “Green Konyuho”.
“Artinya, dengan besertifikasi SVLK, para eksportir kayu dan produk kayu dapat memperluas akses pasar dengan membuktikan bahwa ekspornya tidak berasal dari pembalakan liar,” kata Bambang. Bukti kredibilitas SVLK adalah lancarnya negosiasi kemitraan sukarela dengan Uni Eropa untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT-VPA). SVLK juga diakui oleh Pemerintah Australia lewat Country Specific Guideline for Indonesia.
“Dengan pengakuan ini, diharapkan produk kayu Indonesia yang masuk ke Uni Eropa dan Australia akan bebas due diligence sehingga memberikan insentif dan keuntungan komparatif,” kata Bambang. Terbukti sejak Indonesia menandatangani VPA dengan Uni Eropa pada 2013, nilai ekspor Indonesia telah meningkat 3,5 %. Sejak 2013, 1.494 unit usaha telah memiliki sertifikasi SVLK. Untuk mendukung implementasi SVLK, Bambang menyatakan pemerintah memberi sejumlah kemudahan terutama bagi usaha kehutanan skala kecil dan menengah seperti hutan rakyat dan industri mebel dan kerajinan.
Sebelumnya Ketua umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Taufik Gani menyatakan manfaat SVLK sungguh dirasakan. Misalnya dengan berkurangnya tekanan dari LSM lingkungan dan mampu menyumbat aliran kayu ilegal ke negara pesaing.
Sudarsono
Sistem yang telah diakui oleh negaranegara konsumen tersebut juga memberi kepastian akses pasar bagi produk kayu Indonesia. Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menyatakan, SVLK mengatur para pelaku industri kehutanan agar menerapkan konsep pengelolaan hutan berkelanjutan.
“SVLK adalah soft approach untuk menanggulangi pembalakan dan perdagangan kayu ilegal, sekaligus memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia,” ungkap dia di sela pameran International Furniture & Craft Fair Indonesia (IFFINA) 2015 di Jakarta, Sabtu (14/3).
Bambang menambahkan, SVLK bersifat wajib dan merupakan komitmen nasional untuk menjadi sistem yang kredibel. SVLK sekaligus menjawab internasional yang mewajibkan eksportir kayu dan produk kayu memiliki bukti legalitas kayu. Permintaan di antaranya “Amendment Lacey Act” di Amerika Serikat, “EU Timber Regulation” di Uni Eropa, “Illegal Logging Prohibition Act” di Australia, dan Jepang dengan “Green Konyuho”.
“Artinya, dengan besertifikasi SVLK, para eksportir kayu dan produk kayu dapat memperluas akses pasar dengan membuktikan bahwa ekspornya tidak berasal dari pembalakan liar,” kata Bambang. Bukti kredibilitas SVLK adalah lancarnya negosiasi kemitraan sukarela dengan Uni Eropa untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT-VPA). SVLK juga diakui oleh Pemerintah Australia lewat Country Specific Guideline for Indonesia.
“Dengan pengakuan ini, diharapkan produk kayu Indonesia yang masuk ke Uni Eropa dan Australia akan bebas due diligence sehingga memberikan insentif dan keuntungan komparatif,” kata Bambang. Terbukti sejak Indonesia menandatangani VPA dengan Uni Eropa pada 2013, nilai ekspor Indonesia telah meningkat 3,5 %. Sejak 2013, 1.494 unit usaha telah memiliki sertifikasi SVLK. Untuk mendukung implementasi SVLK, Bambang menyatakan pemerintah memberi sejumlah kemudahan terutama bagi usaha kehutanan skala kecil dan menengah seperti hutan rakyat dan industri mebel dan kerajinan.
Sebelumnya Ketua umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Taufik Gani menyatakan manfaat SVLK sungguh dirasakan. Misalnya dengan berkurangnya tekanan dari LSM lingkungan dan mampu menyumbat aliran kayu ilegal ke negara pesaing.
Sudarsono
(ars)