Kinerja Logistik Nasional Masih Buruk
A
A
A
JAKARTA - Survei Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-operation and Development/ OECD) terhadap 11 negara berkembang di dunia menunjukkan, kinerja logistik Indonesia paling tertinggal.
Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria dalam Forum Regional OECD ASEAN 2015 mengatakan, dari survei tersebut Singapura menduduki posisi teratas dengan skor 4,25. Selanjutnya secara berturut-turut adalah Afrika Selatan, Malaysia, Cile, Thailand, Brasil, Meksiko, India, Filipina, Vietnam, dan Indonesia di posisi paling buncit dengan skor 2,5.
Sebelumnya Bank Dunia dalam Indeks Kinerja Logistik (LPI) tahun 2014 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-53 dari 160 negara, jauh dibawah beberapa negara berpendapatan menengah lainnya dalam semua aspek yang dipertimbangkan.
Di kawasan ASEAN, berdasarkan laporan itu, Indonesia hanya menempati peringkat ke-5, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, danVietnam. ”Survei itu menunjukkan bahwa masih terdapat hambatan pertumbuhan di Indonesia, yang utamanya disebabkan kesenjangan infrastruktur di setiap daerah,” kata Gurria di Jakarta kemarin.
Walau sebelumnya telah ada kemajuan yang dicapai, termasuk penerapan satu pintu untuk izin pelabuhan, Gurria menilai bahwa secara komparatif kinerja logistik Indonesia memang masih rendah. Negara dengan 17.504 pulau ini menurutnya memiliki kinerja paling buruk dalam beberapa sektor logistik, seperti layanan angkutan barang dan layanan distribusi.
Karena itu, Gurria menegaskan, anggaran belanja infrastruktur penting untuk ditingkatkan, khususnya yang fokus pada area transportasi dan industri. ”Terkait dengan masalah ini, investasi infrastruktur perlu terus dikejar dan dimaksimalkan,” tandasnya.
Gurria menuturkan, demi mempercepat hal tersebut, Indonesia membutuhkan kebijakan ganda, yakni memanfaatkan sumber daya pemerintah dan membuat regulasi yang baik untuk menarik sektor swasta. Menurut dia, pemerintah harus bisa mengalokasikan sumber daya lebih banyak untuk pembangunan infrastruktur.
Dia menilai, kebijakan penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang diambil pemerintah beberapa waktu lalu sudah tepat, kendati sangat kontroversial. ”Penghapusan subsidi bahan bakar bisa menyehatkan anggaran,” tuturnya.
Rendahnya kinerja logistik, lanjut Gurria, telah menyebabkan berbagai permasalahan yang tidak hanya terkait pada persoalan ekonomi, misalnya pada sektor pendidikan. Begitu pula dengan integrasi terhadap rantai global.
Berkenaan dengan posisi Indonesia pada indeks ini, kata dia, dampaknya adalah pada rendahnya skor perdagangan. Berdasarkan Indeks Restriksi Perdagangan Jasa ( STRI) dari OECD, Indonesia juga memiliki skor di bawah rata-rata dibandingkan negara berkembang lainnya.
Menanggapi hasil survei tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sepakat dengan rekomendasi dari OECD untuk menggenjot infrastruktur dan terus melakukan reformasi kebijakan. Bambang menegaskan, pemerintah telah melakukan upaya-upaya reformasi struktural untuk mengatasi masalah pada sektor riil dan defisit neraca transaksi berjalan.
”Penting bagi Indonesia untuk mengatasi masalah struktural, kami sudah memulainya. Untuk sektor manufaktur, kami siap mendorong kontribusinya dari 22% menjadi 30% dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, kami juga menangani isu reindustrialisasi,” paparnya.
Terkait masalah infrastruktur, Bambang mengatakan, Indonesia akan mempercepat kinerja penyerapan belanja pemerintah yang selama ini masih lambat dan kurang memberikan kontribusi serta mengundang keterlibatan peran swasta. ”Penting untuk merevisi jumlah anggaran untuk menangani kondisi ini secara struktural,” ujarnya.
Lebih lanjut Bambang mengharapkan, pemerintahbisamendapatkan manfaat lebih besar dengan peningkatan kerja sama dengan OECD, terutama dalam kerangka kebijakan publik atau rekomendasi strategi agar pembangunan Indonesia makin tumbuh berkualitas dan berkelanjutan.
Rabia edra
Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria dalam Forum Regional OECD ASEAN 2015 mengatakan, dari survei tersebut Singapura menduduki posisi teratas dengan skor 4,25. Selanjutnya secara berturut-turut adalah Afrika Selatan, Malaysia, Cile, Thailand, Brasil, Meksiko, India, Filipina, Vietnam, dan Indonesia di posisi paling buncit dengan skor 2,5.
Sebelumnya Bank Dunia dalam Indeks Kinerja Logistik (LPI) tahun 2014 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-53 dari 160 negara, jauh dibawah beberapa negara berpendapatan menengah lainnya dalam semua aspek yang dipertimbangkan.
Di kawasan ASEAN, berdasarkan laporan itu, Indonesia hanya menempati peringkat ke-5, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, danVietnam. ”Survei itu menunjukkan bahwa masih terdapat hambatan pertumbuhan di Indonesia, yang utamanya disebabkan kesenjangan infrastruktur di setiap daerah,” kata Gurria di Jakarta kemarin.
Walau sebelumnya telah ada kemajuan yang dicapai, termasuk penerapan satu pintu untuk izin pelabuhan, Gurria menilai bahwa secara komparatif kinerja logistik Indonesia memang masih rendah. Negara dengan 17.504 pulau ini menurutnya memiliki kinerja paling buruk dalam beberapa sektor logistik, seperti layanan angkutan barang dan layanan distribusi.
Karena itu, Gurria menegaskan, anggaran belanja infrastruktur penting untuk ditingkatkan, khususnya yang fokus pada area transportasi dan industri. ”Terkait dengan masalah ini, investasi infrastruktur perlu terus dikejar dan dimaksimalkan,” tandasnya.
Gurria menuturkan, demi mempercepat hal tersebut, Indonesia membutuhkan kebijakan ganda, yakni memanfaatkan sumber daya pemerintah dan membuat regulasi yang baik untuk menarik sektor swasta. Menurut dia, pemerintah harus bisa mengalokasikan sumber daya lebih banyak untuk pembangunan infrastruktur.
Dia menilai, kebijakan penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang diambil pemerintah beberapa waktu lalu sudah tepat, kendati sangat kontroversial. ”Penghapusan subsidi bahan bakar bisa menyehatkan anggaran,” tuturnya.
Rendahnya kinerja logistik, lanjut Gurria, telah menyebabkan berbagai permasalahan yang tidak hanya terkait pada persoalan ekonomi, misalnya pada sektor pendidikan. Begitu pula dengan integrasi terhadap rantai global.
Berkenaan dengan posisi Indonesia pada indeks ini, kata dia, dampaknya adalah pada rendahnya skor perdagangan. Berdasarkan Indeks Restriksi Perdagangan Jasa ( STRI) dari OECD, Indonesia juga memiliki skor di bawah rata-rata dibandingkan negara berkembang lainnya.
Menanggapi hasil survei tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sepakat dengan rekomendasi dari OECD untuk menggenjot infrastruktur dan terus melakukan reformasi kebijakan. Bambang menegaskan, pemerintah telah melakukan upaya-upaya reformasi struktural untuk mengatasi masalah pada sektor riil dan defisit neraca transaksi berjalan.
”Penting bagi Indonesia untuk mengatasi masalah struktural, kami sudah memulainya. Untuk sektor manufaktur, kami siap mendorong kontribusinya dari 22% menjadi 30% dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, kami juga menangani isu reindustrialisasi,” paparnya.
Terkait masalah infrastruktur, Bambang mengatakan, Indonesia akan mempercepat kinerja penyerapan belanja pemerintah yang selama ini masih lambat dan kurang memberikan kontribusi serta mengundang keterlibatan peran swasta. ”Penting untuk merevisi jumlah anggaran untuk menangani kondisi ini secara struktural,” ujarnya.
Lebih lanjut Bambang mengharapkan, pemerintahbisamendapatkan manfaat lebih besar dengan peningkatan kerja sama dengan OECD, terutama dalam kerangka kebijakan publik atau rekomendasi strategi agar pembangunan Indonesia makin tumbuh berkualitas dan berkelanjutan.
Rabia edra
(ftr)