Aktuaris, Profesi Langka tapi Sangat Dibutuhkan

Kamis, 26 Maret 2015 - 09:57 WIB
Aktuaris, Profesi Langka tapi Sangat Dibutuhkan
Aktuaris, Profesi Langka tapi Sangat Dibutuhkan
A A A
”Indonesia darurat aktuaris!” ucap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani di sela-sela acara pemberian beasiswa dari PT AIA Financial untuk 12 mahasiswa di lima kampus di Indonesia, baru-baru ini.

Menurut dia, kondisinya memang mengkhawatirkan. Industri asuransi sangat membutuhkan banyak SDM aktuaris, namun pasokan yang diberikan perguruan tinggi di Tanah Air sangat minim. ”Padahal, bagi industri asuransi, profesi aktuaris itu sangat penting. Sebab, merekalah yang bisa menciptakan produk asuransi yang bagus. Mereka bisa menghitung aspek risiko yang mungkin terjadi,” katanya.

Firdaus mengibaratkan aktuaris seperti juru masak andal di sebuah restoran. Juru masak itu bisa menghasilkan masakan yang sangat lezat bagi pelanggannya. Aktuaris juga mirip seperti pemain gelandang di pertandingan sepak bola. Ia menyuplai bola kepada penyerang di depan.

Di luar negeri, kata Firdaus, penghasilan seorang aktuaris bisa menyamai presiden direktur di perusahaan itu. Persoalannya, sedikit sekali mahasiswa di Indonesia yang tertarik. Kebanyakan aktuaris itu berasal dari ilmu matematika dan statistik. Padahal, ilmu lainnya seperti teknik dan ekonomi bisa menjadi aktuaris, asal mereka menguasai matematika dasar.

”Sedihnya, dari 20 mahasiswa matematika atau statistik, hanya dua yang tertarik menjadi aktuaris, selebihnya kebanyakan berminat bekerja di bidang finansial, termasuk di bank,” tuturnya. Dua tahun lalu OJK meluncurkan kampanye 1.000 aktuaris selama lima tahun. Saat kampanye itu diluncurkan, jumlah aktuaris di Indonesia baru sekitar 178 orang. Setelah dua tahun berselang, jumlahnya baru 380 orang.

Firdaus malah terlihat pesimistis jumlah 1.000 aktuaris bisa tercapai dalam tiga tahun mendatang. ”Saya tidak menyebut angka harus 1.000 orang, maksud angka itu adalah bahwa kita butuh banyak aktuaris. Sama seperti Kepulauan Seribu, jumlah pulaunya tidak seribu, tetapi banyak pulau, makanya disebut Kepulauan Seribu,” ucapnya.

Menurut dia, dengan kondisi jumlah perusahaan asuransi jiwa sebanyak 40 perusahaan dan 90 perusahaan asuransi umum, setidaknya Indonesia butuh 500-700 aktuaris. Firdaus tidak menyalahkan rendahnya minat civitas akademika terjun menjadi aktuaris. ”Saya tidak menyalahkan kampus atau mahasiswa, tetapi salahkan diri kita sendiri, industri asuransi yang tidak gencar berkampanye bahwa aktuaris itu memiliki masa depan yang baik sekali,” tuturnya.

Ketua Persatuan Aktuaris Indonesia Rianto A Djojosugito menyampaikan, pihaknya terus memacu program untuk meningkatkan jumlah SDM aktuaris. Salah satu langkah yang ditempuh adalah menggandeng sejumlah perguruan tinggi untuk penyetaraan kurikulum. Langkah yang sudah dilakukan sejak tujuh tahun lalu itu membuahkan hasil.

Bahkan, beberapa kampus, di antaranya ITB dan UGM, telah menghasilkan doktor sains aktuaria. Beasiswa untuk jurusan aktuaria juga mulai bergulir sejak 2010, hasil kerja sama PAI dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Diakui, sejak PAI bergabung di bawah naungan Asosiasi Aktuaris Internasional (IAA) pada 2006 lalu, seluruh aktuaris di Indonesia harus memiliki sertifikat standar IAA.

Kurikulum pelatihan untuk mendapatkan sertifikat itu diakui sangat sulit, karena mengacu pada ketentuan IAA. ”Karena kita sudah di bawah IAA, tentu semua kurikulum sesuai standar IAA. Inilah yang membuat kesulitan merekrut aktuaris. Untuk mendapatkan sertifikat itu, harus menjalani 11 mata ujian. Setidaknya, perlu waktu enam hingga tujuh tahun pelatihan untuk menjadi aktuaris penuh,” tuturnya.

Karena itulah, untuk memangkas lamanya dan sulitnya merekrut aktuaris, pihaknya memasukkan kurikulum standar IAA itu ke kampus. Sehingga, ada penyetaraan. Mahasiswa S-1 yang mengambil mata kuliah setara kurikulum itu dengan nilai baik, setidaknya sudah melewati beberapa tahapan standar PAI. ”Ketatnya kurikulum ini untuk menciptakan peningkatan kapasitas aktuaria di Indonesia. Pada akhirnya, kompetensi ke arah yang lebih baik,” paparnya.

Menurut Rianto, profesi aktuaris sebetulnya tidak hanya untuk industri asuransi, tetapi juga perusahaanperusahaan umum lainnya. Sebab, setiap ada tutup buku, perusahaan perlu menghitung skim dana pensiun, kesehatan karyawan, dan sebagainya. Untuk menghitungnya, diperlukan aktuaris.

Sejumlah mahasiswa aktuaria mengaku, profesi aktuaris memang belum dikenal luas oleh masyarakat. Padahal, kebutuhan industri asuransi sangat tinggi, sehingga peluang kerjanya sangat besar.

Hal itu dikatakan Dwi Ani Hastiningrum, mahasiswa semester dua Jurusan Matematika Prodi Statistik FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM). Dwi mengaku, awalnya tidak mengenal apa itu profesi aktuaris. Dia baru tahu setelah kuliah dan mengambil jurusan matematika, lalu diperkuat saat mengikuti sebuah seminar yang digelar OJK.

Dosen bidang aktuaria dari Program Magister Aktuaria ITB Dumaria Tampubolon menjelaskan, sangat jarang perguruan tinggi memiliki jurusan aktuaria. Saat ini baru ITB yang khusus memiliki program khusus magister sains aktuaria. Dia mengungkapkan, seseorang yang ingin memilih suatu profesi, ia harus memiliki bakat, setelah itu mempunyai keinginan.

”Profesi manapun, tidak ada yang bisa dikarbit. Tidak bisa dipaksa untuk cepat. Begitu juga dengan aktuaris. Prosesnya memang panjang,” ujar Dumaria.

Hatim Varabi
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3853 seconds (0.1#10.140)