Komposisi Belanja Pengaruhi Pembangunan Infrastruktur
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, selain masalah kepemilikan asing yang masih besar untuk infrastruktur Indonesia, komposisi belanja juga menjadi penting untuk dipikirkan. Ini menyangkut subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang memengaruhi ruang fiskal.
Bambang mengatakan, percuma negara bisa kumpulkan pembiayaan besar, penerimaan pajak besar jika alokasinya tidak pas untuk infrastruktur.
"Kita harus fokus based infrastruktur dibiayai budget. Nah ini supaya sukses juga dibutuhkan disiplin dari kementerian sendiri," ujarnya di Jakarta, Senin (30/3/2015).
Terkadang, lanjut dia, kementerian masih ingin proyek infrastruktur besar yang sebenarnya bisa dikerjasamakan dengan swasta atau BUMN, itu dikerjakan oleh K/L itu sendiri.
"Karena, kalau kita sudah jadi pemilik proyek, kita sendiri yang kita biayai, kita jadi tuan, itu yang kadang-kadang menggoda para K/L untuk menarik proyek yang sebenarnya bisa diswastakan, malah ditarik ke APBN dengan berbagai macam alasan, ini harus disiplin," tegasnya.
Bambang menuturkan, pada zaman kabinet sebelumnya, pemerintah mencoba disiplin dengan membentuk komite ditingkat pemerintah pusat. Komite yang tegas membaginya, jika ada proyek, mereka akan membagi, klasifikasinya ke BUMN, swasta atau APBN atau KPS dan harus jelas kategorinya.
"Proyek infrastruktur yang pure komersial, dengan nilai komersialnya tinggi, ini bisa diserahkan ke private sektor atau BUMN yang bertindak sebagai private sektor. Contohnya Bandara Soetta, Pelabuhan Tanjung Priok, jalan tol di sekitar Jabodetabek, itu proyek infrastruktur yang jelas komersial. Lainnya kalau power plan, lebih baik kita serahkan pada swasta daripada kita habiskan budget pemerintah yang untuk basic infrastructur," pungkasnya.
(Baca: Indonesia Butuh Rp5.000 Triliun untuk Infrastruktur)
Bambang mengatakan, percuma negara bisa kumpulkan pembiayaan besar, penerimaan pajak besar jika alokasinya tidak pas untuk infrastruktur.
"Kita harus fokus based infrastruktur dibiayai budget. Nah ini supaya sukses juga dibutuhkan disiplin dari kementerian sendiri," ujarnya di Jakarta, Senin (30/3/2015).
Terkadang, lanjut dia, kementerian masih ingin proyek infrastruktur besar yang sebenarnya bisa dikerjasamakan dengan swasta atau BUMN, itu dikerjakan oleh K/L itu sendiri.
"Karena, kalau kita sudah jadi pemilik proyek, kita sendiri yang kita biayai, kita jadi tuan, itu yang kadang-kadang menggoda para K/L untuk menarik proyek yang sebenarnya bisa diswastakan, malah ditarik ke APBN dengan berbagai macam alasan, ini harus disiplin," tegasnya.
Bambang menuturkan, pada zaman kabinet sebelumnya, pemerintah mencoba disiplin dengan membentuk komite ditingkat pemerintah pusat. Komite yang tegas membaginya, jika ada proyek, mereka akan membagi, klasifikasinya ke BUMN, swasta atau APBN atau KPS dan harus jelas kategorinya.
"Proyek infrastruktur yang pure komersial, dengan nilai komersialnya tinggi, ini bisa diserahkan ke private sektor atau BUMN yang bertindak sebagai private sektor. Contohnya Bandara Soetta, Pelabuhan Tanjung Priok, jalan tol di sekitar Jabodetabek, itu proyek infrastruktur yang jelas komersial. Lainnya kalau power plan, lebih baik kita serahkan pada swasta daripada kita habiskan budget pemerintah yang untuk basic infrastructur," pungkasnya.
(Baca: Indonesia Butuh Rp5.000 Triliun untuk Infrastruktur)
(izz)