Industri Minta Harga Gas Diturunkan

Rabu, 01 April 2015 - 08:53 WIB
Industri Minta Harga Gas Diturunkan
Industri Minta Harga Gas Diturunkan
A A A
JAKARTA - Industri dalam negeri meminta harga gas domestik diturunkan. Penurunan harga gas sangat dibutuhkan demi meningkatkan daya saing, terlebih saat nilai tukar rupiah terhadap dolar tengah melemah.

Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) menyatakan, harga gas di dalam negeri saat ini masih lebih mahal ketimbang di luar negeri. Padahal, untuk mendukung pembangunan industri nasional, selain ketersediaan bahan baku, hal utama lain yang dibutuhkan adalah ketersediaan energi.

“Hal ini kerap menjadi pertanyaan para pelaku industri dan calon investor. Dua parameter ini juga menunjukkan bagaimana industri bisa mempunyai daya saing yang kuat,” ujar Ketua FIPGB Achmad Safiun di Jakarta kemarin.

Sebagai perbandingan, Achmad mengatakan bahwa harga jual gas bumi di Malaysia berada di kisaran USD3,69 per juta British thermal unit (MMBTU) dan Singapura di kisaran USD3,94 per MMBTU. Sementara, untuk pasar domestik, harga gas berada di kisaran USD10,2 per MMBTU.

Karena itu, dia mengusulkan agar harga gas pipa di dalam negeri diturunkan menjadi USD5 per MMBTU. Kemudian, harga gas alam cair (LNG) di Jakarta dan Arun yang kini sebesar USD17- 18 per MMBTU bisa diturunkan menjadi USD7-8 per MMBTU.

“Kemudian, semua harga dan pembayaran di dalam negeri harus dalam bentuk mata uang rupiah. Dengan begitu, sektor industri pengolahan tetap dinamis. Hanya dengan industri pengolahan, Indonesia dapat terhindar dari middle income trap ,” tuturnya.

Menanggapi permintaan industri, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (kemenperin) Harjanto mengatakan, usulan para pelaku industri agar harga gas bumi diturunkan menjadi USD5 per MMBTU perlu memperhatikan biaya di sektor hulu serta keuntungan dari penurunan harga tersebut.

“Proposal yang kita bangun harus benar-benar ada dasar pemikirannya, bukan hanya meminta harga gas turun tapi tidak ada dasar pemikirannya. Minggu ini harus bisa disampaikan mengenai hitung-hitungan kita,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Dukungan Sektor Energi Gas untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional” kemarin.

Harjanto menegaskan, dalam mengusulkan kebijakan baru, Kemenperin harus betulbetul memperhitungkan dampaknya. Karena itu, kata dia, proposal mengenai harga gas harus berangkat dari sebuah kajian akademis.

Dia menambahkan, selain penentuan harga gas bumi, Kemenperin juga masih menunggu usulan mengenai tarif listrik sehingga industri bisa mempunyai daya saing yang cukup. “Harga listrik di Indonesia ditentukan berdasarkan cost of production dan siapa yang memakai, sehingga ini juga menjadi pemikiran kami bagaimana bisa memberikan insentif dalam bentuk pengurangan (tarif),” ujarnya.

Peningkatan daya saing industri nasional melalui pengurangan harga energi menjadi perhatian, mengingat saat ini sebagian besar bahan baku penolong untuk kebutuhan industri pengolahan juga masih berasal dari impor. Seiring melemahnya nilai tukar rupiah, harga bahan baku penolong pun ikut naik.

Akibatnya, industri terpaksa memangkas produksi. Industri logam, petrokimia, keramik, dan kaca tercatat mengalami penurunan produksi berkisar 30-50%. Bahkan, sebagian industri baja dilaporkan telah melakukan pengurangan tenaga kerja dalam jumlah ribuan.

Kontribusi bahan baku/bahan penolong tercatat berkisar 40-80% dari struktur biaya produksi industri pengolahan. Seiring naiknya harga bahan baku penolong, harga produk yang dihasilkan industri pengolahan pun naik 18,7-37,4%.

Akibatnya, produk industri pengolahan kehilangan daya saing dan ekspornya pun menurun. Jika terus dibiarkan, hal ini diyakini mengancam neraca berjalan dan bakal menekan nilai tukar rupiah lebih dalam lagi.

Oktiani endarwati
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4844 seconds (0.1#10.140)