Melawan Inflasi Tinggi

Rabu, 08 April 2015 - 11:00 WIB
Melawan Inflasi Tinggi
Melawan Inflasi Tinggi
A A A
Presiden Joko Widodo pernah berujar akan melakukan segala upaya untuk melawan inflasi tinggi. Dia bahkan menargetkan inflasi tahun bisa ditekan di bawah 5%.

Sepertinya, hal ini dapat direalisasikan, sebab sepanjang Januari- Maret 2015 inflasi hanya sebesar 0,44% dan membuat inflasi tahunan (YoY) menjadi 6,38%. Turun dari periode yang sama 2014 sebesar 7,32%. Agar pembangunan ekonomi suatu negara berhasil, maka sangat dibutuhkan inflasi yang terkendali dan rendah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa inflasi tinggi akan membuat perekonomian menjadi tidak efisien, costly, dan mengganggu kestabilan ekonomi. Inflasi tinggi juga memengaruhi arah suku bunga dan berdampak pada tingginya suku bunga pinjaman.

Harus diakui bahwa suku pinjaman perbankan di Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan negara tetangga. Bukan itu saja, inflasi yang tinggi paling efektif menggerogoti daya beli dan menjerumuskan orang ke jurang kemiskinan. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami inflasi tinggi. Pertama tahun 1960-an (era orde baru). Saat itu, inflasi menembus level di atas 600% yang membuat tingkat kemiskinan melonjak tinggi.

Saat itu, pemerintah melakukan sejumlah mitigasi dengan mendevaluasi mata uang. Kedua ketika perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter 1997-1998 di era pemerintah orde baru. Saat itu inflasi melompat hingga 77,6%, pertumbuhan terdegradasi hingga -13%, nilai tukar terpuruk, sektor keuangan collaps, dan sektor riil terlunta-lunta. Untuk memitigasi krisis ini, pemerintah harus mengeluarkan dana talangan hingga Rp600 triliun (50% dari PDB), termahal di dunia untuk memulihkan krisis.

Meski pernah mengalami inflasi tinggi, sayangnya pemerintahsampaisaat inibelummampu membuat inflasi bergerak stabil dilevelrendah. Dibandingkannegara tetangga, inflasi Indonesia paling tinggi. Sepanjang tahun 2005-2014 rata-rata inflasi tahunan (YoY) Indonesia mencapai 7,7%. Padahal, rata-rata inflasi tahunan Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand berturut- turut hanya 2,3%, 3,4%, 2,7%, dan2,9%(BI,, 2014diolah). Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo dan seluruh jajarannya diharapkan menemukan kebijakan untuk menekan inflasi tinggi.

Mengingat inflasi merupakan kombinasi sosial dan ekonomi, maka dibutuhkan kerja sama yang solid antara pemerintah pusat, BI, dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Pemerintah harus tegas menerapkan mekanisme stick & carrot agar daerah berpacu untuk menjaga stabilitas inflasi di daerahnya.

Sumber Inflasi Tinggi

Jika dicermati, setidaknya ada dua sumber yang paling signifikan selama ini mendorong lonjakan inflasi. Pertama kenaikan harga bahan makanan dan pangan. Kegagalan pemerintah merealisasikan swasembada pangan telah membuat Indonesia menjadi importir komoditas strategis (beras, jagung, kedelai, gula). Padahal, di pasar dunia, harga komoditas ini cenderung naik.

Harga pun bisa naik berlipat karena adanya intervensi dari spekulan. Sayangnya, pemerintah tidak memiliki mekanisme kebijakan untuk mendeteksi pergerakan harga dan memberikan hukuman yang tegas terhadap para spekulan dan penimbun. Kedua kenaikan harga bahan bakar minyak (BM). Melebarnya jarak antara konsumsi dan produksi BBM, membuat pemerintah harus selalu mengimpor BBM dalam jumlah besar. Impor yang besar ini berdampak langsung pada APBN dan defisit transaksi berjalan (current accout defisit).

Harus diakui, perubahan harga BBM memiliki korelasi yang kuat terhadap tekanan inflasi. Data historis menunjukkan, saat harga BBM naik tahun 2005 (Maret dan Agustus) sebesar 150%, inflasi tahun 2005 melonjak ke level 17,1% dari tahun 2004 sebesar 6,4%. Tahun 2008, saat harga BBM naik 30%, inflasi tahun 2008 naik menjadi 11,06% dari tahun 2007 sebesar 6,5%. Demikian juga saat harga BBM naik Juni 2013 sebesar 20- 40%, inflasi tahun 2013 juga naik menjadi 8,38% dari tahun 2012 sebesar 4,3%.

Subsidi BBM yang besar dari APBN di satu sisi dapat membuat inflasistabildanrendah. Namun, di sisi lain, pemerintah kehilangan kesempatan untuk berinvestasi ke sektor-sektor produktif, seperti infrastruktur yang sangat efektif menghasilkan efek berganda bagi pertumbuhan. Di era pemerintahan Jokowi, subsidi BBM dialihkan untuk mendanai sektor produktif.

arga BBM tidak lagi disubsidi, tetapi dibiarkan bergerak fluktuatif dengan perubahan harga setiap dua minggu, seperti yang terjadi akhir Maret lalu. Meski begitu, hal yang perlu dikritisi ialah terhadap penentuan harga premiumdansolaryangterbilang tidak transparan. Mengingat bahan pangan dan BBM menjadi sumberpendoronginflasiselama ini, maka ada beberapa hal yang harus dijalankan. Pertama menjaga agar pasokan bahan pangan strategis tersedia dengan baik.

Untuk itu, pemerintah harus memperbaiki database terkait pasokan dan kebutuhan. Mengefektifkan peran Bulog dan memiliki unit khusus yang dapat mendeteksi secara cepat perubahan harga yang ada di pasar. Di atas segalanya, swasembada dipastikan harus berjalan dengan baik, khususnya beras. Kedua, meningkatkan kualitas manajemen pasokan, terutama di daerah-daerah yang infrastrukturnya jelek.

Untuk merealisasikan ini, dibutuhkan percepatan pembangunan pelabuhan, rel kereta api, pergu-dangan, dan armada pendu-kungnya. Ketiga, mempercepat diversifikasi BBM ke gas dan paralel dengan pembangunan infrastruktur gas, khususnya SPBG. Demi menjaga keberlanjutan sisi pasokan energi, pemerintah harus memberikan insentif menarik agar investor tertarik berinvestasi di energi baru dan terbarukan, sehingga mengurangi ketergantungan pada BBM.

Ini harus diikuti pembangunan transportasi publik yang terintegrasi. Keempat, mengefektifkan mekanisme jaring pengaman sosial (subsidi) untuk memproteksi masyarakat miskin yang paling merasakan dampak langsung dari inflasi. Pemerintah pun harus memperbaiki pendataan terkait masyarakat miskin agar subsidi tidak salah sasaran dan menimbulkan kekisruhan.

Desmon Silitonga
Pengamat Pasar Modal & Alumnus Pascasarjana FE UI
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4836 seconds (0.1#10.140)