IBF
A
A
A
Pada 20 Mei nanti di Balai Kartini, Jakarta, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, saya akan menggelar konferensi besar dua tahunan Indonesia Brand Forum (IBF) 2015 .
Tagline yang selalu saya usung di acara tersebut adalah ”Kebangkitan Nasional Kedua, Kebangkitan Merek Indonesia”. Ya , karena melalui event tersebut, saya ingin membangunkan bangsa ini betapa pentingnya brand untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa.
Melalui tagline itu, saya ingin mengingatkan bangsa ini bahwa 20 Mei tidak hanya kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tetapi juga hari kebangkitan brand nasional untuk bersaing dengan brand -brand global di pasar Indonesia maupun dunia.
Kita jangan cuma menjadi ”bangsa komoditi” yang bisanya cuma mengekspor minyak mentah, batu bara, karet mentah, biji kopi, atau tenaga kerja Indonesia (TKI). Kita harus menjadi ”bangsa brand ” yang mampu menghasilkan brand kopi (contohnya Kapal Api), brand gula (contohnya Gulaku), brand kacang (contohnya Kacang Garuda), brand warung padang (contohnya RM Sederhana), atau brand batik (contohnya Batik Keris).
Dengan brand, bangsa ini akan menjadi bangsa besar. Ingat, salah satu ciri negara besar di dunia adalah mereka memiliki brand -brand hebat. Amerika punya Apple, Coca-Cola, atau McDonald. Jepang punya Toyota, Sony, atau Canon. Jerman punya BMW, Mercedes Benz, atau VW.
Perkasa di Pentas Dunia
Tahun ini tema yang saya ambil untuk IBF 2015 adalah ”Global Chaser: Merek Indonesia Perkasa di Pentas Dunia”. Intinya, konferensi ini menampilkan perusahaan-perusahaan lokal karya anak bangsa yang mampu membangun brand di pasar global. Setidaknya ada sekitar 25 brand lokal yang akan sharing mengenai bagaimana mereka membangun strategi untuk masuk, menciptakan daya saing, dan membangun brand di pasar global.
Jangan dikira masuk ke pasar global itu gampang. Pertama , kondisi dan karakteristik pasar luar negeri itu tidak banyak kita ketahui. Kalau pasar Indonesia dari Sabang sampai Merauke mah gampang karena kita tahu karakteristik, perilaku, dan budaya konsumennya. Coba kalau pasar China, Amerika, atau Nigeria, pengetahuan kita nol besar. Butuh jam terbang dan pengalaman panjang untuk memahaminya.
Kedua , pemerintah di negara yang kita target cenderung protektif dan menghalangi setiap pemain asing yang masuk. China misalnya, dikenal getol melindungi industri dalam negeri dengan menggunakan segala cara. Namun di tengah tantangan yang maha berat, masih ada segelintir brand yang begitu membanggakan, menjadi ”duta bangsa” di pasar global.
Sebut saja Biofarma yang memasarkan produk vaksinnya di 120 negara. Ada Inaco yang produk nata de coconya menguasai 60% pasar Jepang. Ada Polygon asal Sidoarjo yang produk sepedanya merambah pasar Eropa dan Amerika, ketat bersaing dengan brand -brand kelas satu dunia. Ada MAK, produsen ranjang rumah sakit canggih asal Kalasan, Yogyakarta, yang masuk 10 besar dunia. Ada juga ABN, produsen alat tensi jantung asal Padalarang, Bandung yang produknya merambah lima benua.
Pembelajaran
Di samping untuk membangkitkan kesadaran anak negeri mengenai pentingnya membangun brand berkelas dunia, IBF juga menjadi ajang pembelajaran bagi brand - brand lokal yang berniat menembus pasar global. Selama setahun terakhir, saya melakukan riset untuk mengidentifikasi brand -brand lokal yang punya prestasi luar biasa di pentas dunia. Saya menyebut mereka: ”global chaser ”. Dari ”perburuan” selama setahun tersebut, saya menemukan sekitar 30 global chasers yang patut di-banggakan.
Sebagian besar brand -brand hebat tersebut akan ”dipentaskan” di IBF 2015. Salah satu brand yang menjadi favorit saya adalah ABN. Saya berani pastikan, Anda pasti tak pernah mendengar nama ABN karena memang tak pernah muncul di koran, billboard, atau iklan TV. Padahal, brand alat tensi jantung (sphygmomanometer ) hebat ini begitu perkasa menjelajah pasar di lima benua.
Dua minggu lalu saya ketemu Pak Ade Tarya Hidayat, sang perintis, di kantor pusat sekaligus pabriknya di Desa Cipeundeuy, Padalarang, Bandung. Cerita Pak Ade menembus pasar global begitu mengharu biru, penuh onak berduri. Perjuangan Pak Ade selama 25 tahun menembus pasar patut mendapatkan apresiasi. Pak Ade memulai bisnisnya sebagai distributor alat kesehatan yang sebagian besar diimpor. Bisnis Pak Ade babak belur dihantam devaluasi rupiah tahun 1983 dan 1986.
Di tengah bisnis yang hancur lebur, Pak Ade berpikir mengubah haluan bisnisnya dengan balik mengekspor. ”Jadi, bisnis ekspor saya ini karena kepepet ,” ujarnya. Maka dipilihlah alat tensi jantung karena bahan dasar utamanya, yaitu karet, begitu berlimpah tersedia di Tanah Air. Ekspansi ABN ke pasar global dimulai dengan memproduksi dan memasarkan produk tanpa merek alias OEM (original equipment manufacturing ).
”Merek-merek alat tensi jantung nomor satu di dunia seperti Riester dan Baum itu bikinan saya,” ujarnya bangga. Tak puas menjadi OEM, ABN pun kemudian membuat sendiri brand - nya dan kini telah menjelajah pasar-pasar uta-ma dunia di Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. ”Kini saya sedang serius menggarap pasar Brasil dan India yang sangat prospektif,” ujarnya. Jerih payah Pak Ade Tarya merintis dan membangun brand global haruslah diketahui para entrepreneur kita.
Dengan demikian, pelajaran-pelajaran berharga yang ada di dalamnya bisa menginspirasi mereka untuk melakukan hal yang sama. Dengan begitu, akan lahir ”Ade Tarya-Ade Tarya lain” dalam jumlah massal. Itulah alasan kenapa IBF dibesut. Sampai ketemu di IBF 2015, 20 Mei mendatang, pas Hari Kebangkitan Nasional.
Yuswohady
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
Tagline yang selalu saya usung di acara tersebut adalah ”Kebangkitan Nasional Kedua, Kebangkitan Merek Indonesia”. Ya , karena melalui event tersebut, saya ingin membangunkan bangsa ini betapa pentingnya brand untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa.
Melalui tagline itu, saya ingin mengingatkan bangsa ini bahwa 20 Mei tidak hanya kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tetapi juga hari kebangkitan brand nasional untuk bersaing dengan brand -brand global di pasar Indonesia maupun dunia.
Kita jangan cuma menjadi ”bangsa komoditi” yang bisanya cuma mengekspor minyak mentah, batu bara, karet mentah, biji kopi, atau tenaga kerja Indonesia (TKI). Kita harus menjadi ”bangsa brand ” yang mampu menghasilkan brand kopi (contohnya Kapal Api), brand gula (contohnya Gulaku), brand kacang (contohnya Kacang Garuda), brand warung padang (contohnya RM Sederhana), atau brand batik (contohnya Batik Keris).
Dengan brand, bangsa ini akan menjadi bangsa besar. Ingat, salah satu ciri negara besar di dunia adalah mereka memiliki brand -brand hebat. Amerika punya Apple, Coca-Cola, atau McDonald. Jepang punya Toyota, Sony, atau Canon. Jerman punya BMW, Mercedes Benz, atau VW.
Perkasa di Pentas Dunia
Tahun ini tema yang saya ambil untuk IBF 2015 adalah ”Global Chaser: Merek Indonesia Perkasa di Pentas Dunia”. Intinya, konferensi ini menampilkan perusahaan-perusahaan lokal karya anak bangsa yang mampu membangun brand di pasar global. Setidaknya ada sekitar 25 brand lokal yang akan sharing mengenai bagaimana mereka membangun strategi untuk masuk, menciptakan daya saing, dan membangun brand di pasar global.
Jangan dikira masuk ke pasar global itu gampang. Pertama , kondisi dan karakteristik pasar luar negeri itu tidak banyak kita ketahui. Kalau pasar Indonesia dari Sabang sampai Merauke mah gampang karena kita tahu karakteristik, perilaku, dan budaya konsumennya. Coba kalau pasar China, Amerika, atau Nigeria, pengetahuan kita nol besar. Butuh jam terbang dan pengalaman panjang untuk memahaminya.
Kedua , pemerintah di negara yang kita target cenderung protektif dan menghalangi setiap pemain asing yang masuk. China misalnya, dikenal getol melindungi industri dalam negeri dengan menggunakan segala cara. Namun di tengah tantangan yang maha berat, masih ada segelintir brand yang begitu membanggakan, menjadi ”duta bangsa” di pasar global.
Sebut saja Biofarma yang memasarkan produk vaksinnya di 120 negara. Ada Inaco yang produk nata de coconya menguasai 60% pasar Jepang. Ada Polygon asal Sidoarjo yang produk sepedanya merambah pasar Eropa dan Amerika, ketat bersaing dengan brand -brand kelas satu dunia. Ada MAK, produsen ranjang rumah sakit canggih asal Kalasan, Yogyakarta, yang masuk 10 besar dunia. Ada juga ABN, produsen alat tensi jantung asal Padalarang, Bandung yang produknya merambah lima benua.
Pembelajaran
Di samping untuk membangkitkan kesadaran anak negeri mengenai pentingnya membangun brand berkelas dunia, IBF juga menjadi ajang pembelajaran bagi brand - brand lokal yang berniat menembus pasar global. Selama setahun terakhir, saya melakukan riset untuk mengidentifikasi brand -brand lokal yang punya prestasi luar biasa di pentas dunia. Saya menyebut mereka: ”global chaser ”. Dari ”perburuan” selama setahun tersebut, saya menemukan sekitar 30 global chasers yang patut di-banggakan.
Sebagian besar brand -brand hebat tersebut akan ”dipentaskan” di IBF 2015. Salah satu brand yang menjadi favorit saya adalah ABN. Saya berani pastikan, Anda pasti tak pernah mendengar nama ABN karena memang tak pernah muncul di koran, billboard, atau iklan TV. Padahal, brand alat tensi jantung (sphygmomanometer ) hebat ini begitu perkasa menjelajah pasar di lima benua.
Dua minggu lalu saya ketemu Pak Ade Tarya Hidayat, sang perintis, di kantor pusat sekaligus pabriknya di Desa Cipeundeuy, Padalarang, Bandung. Cerita Pak Ade menembus pasar global begitu mengharu biru, penuh onak berduri. Perjuangan Pak Ade selama 25 tahun menembus pasar patut mendapatkan apresiasi. Pak Ade memulai bisnisnya sebagai distributor alat kesehatan yang sebagian besar diimpor. Bisnis Pak Ade babak belur dihantam devaluasi rupiah tahun 1983 dan 1986.
Di tengah bisnis yang hancur lebur, Pak Ade berpikir mengubah haluan bisnisnya dengan balik mengekspor. ”Jadi, bisnis ekspor saya ini karena kepepet ,” ujarnya. Maka dipilihlah alat tensi jantung karena bahan dasar utamanya, yaitu karet, begitu berlimpah tersedia di Tanah Air. Ekspansi ABN ke pasar global dimulai dengan memproduksi dan memasarkan produk tanpa merek alias OEM (original equipment manufacturing ).
”Merek-merek alat tensi jantung nomor satu di dunia seperti Riester dan Baum itu bikinan saya,” ujarnya bangga. Tak puas menjadi OEM, ABN pun kemudian membuat sendiri brand - nya dan kini telah menjelajah pasar-pasar uta-ma dunia di Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. ”Kini saya sedang serius menggarap pasar Brasil dan India yang sangat prospektif,” ujarnya. Jerih payah Pak Ade Tarya merintis dan membangun brand global haruslah diketahui para entrepreneur kita.
Dengan demikian, pelajaran-pelajaran berharga yang ada di dalamnya bisa menginspirasi mereka untuk melakukan hal yang sama. Dengan begitu, akan lahir ”Ade Tarya-Ade Tarya lain” dalam jumlah massal. Itulah alasan kenapa IBF dibesut. Sampai ketemu di IBF 2015, 20 Mei mendatang, pas Hari Kebangkitan Nasional.
Yuswohady
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(ars)