Proyek Kereta Cepat Ditargetkan Dimulai 2019
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah serius menggarap proyek kereta cepat (high-speed railway/HSR) atau yang dikenal di Jepang dengan nama Shinkansen dengan rute Jakarta-Bandung.
Pemerintah berharap, seremoni pencanangan pembangunan (groundbreaking) dapat dilakukan pada 2019. Deputi bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Dedy Supriadi Priatna menyatakan, dalam perhitungan normal studi kelayakan yang dilakukan JICA (Japan International Corporation Agency), pencanangan pembangunan sebelumnya diperkirakan baru dilakukan pada 2021.
Perkiraan itu mengasumsikan rumitnya proses birokrasi dan pembebasan lahan. ”Tapi kalau itu dipercepat semua, 2019 bisa,” kata Dedy saat ditemui di kantornya, Jakarta, akhir pekan lalu. Dia menegaskan, pemerintah berupaya mempercepat proses yang menghambat proyek tersebut. Dedy mengungkap, pemerintah khawatir pembangunan proyek tersebut mangkrak jika dilakukan pada 2019, saat transisi pemerintahan baru.
Dengan waktu pembangunan enam tahun, maka kereta cepat diprediksi akan beroperasi pada 2025. Menurut dia, saat ini ada dua negara yang tertarik untuk membiayai proyek kereta cepat, yaitu Jepang dan China. Kendati demikian, sampai saat ini baru Jepang yang sudah menganggarkan dana senilai USD15 juta untuk melakukan studi kelayakan proyek tersebut, dengan rincian fase pertama kajian awal, fase kedua detail rekayasa, dan fase ketiga operasional dan pengawasan.
Dari total anggaran itu, Jepang sudah menyelesaikan studi kelayakan fase pertama senilai USD6 juta. Sementara, China sama sekali belum memulai studi kelayakan. Pemerintah mematok batas akhir studi kelayakan proyek ini selesai pada Desember 2015. Harapannya, awal tahun 2016 sudah bisa diputuskan siapa yang akan menggarap proyek tersebut.
Dedy menjelaskan, berdasarkan studi tersebut, proyek kereta cepat rute Jakarta-Bandung membutuhkan dana sekira Rp60 triliun. Jepang menawarkan beban pendanaan itu dibagi dengan komposisi 74% dari BUMN, pemerintah 16%, dan swasta 10%. Sementara, China menjanjikan dana proyek tersebut sepenuhnya tidak melibatkan pemerintah, dengan investasi sekira Rp30 triliun.
”Tapi, China berharap mendapatkan revenue guarantee saat proyek beroperasi,” tuturnya. Dedy menilai keberadaan kereta cepat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dia pun membantah anggapan bahwa kereta cepat hanya diperuntukkan bagi negara dengan pendapatan per kapita menengah ke atas. ”Padahal, tidak seperti itu. Dulu Jepang saat punya Shinkansen 30 atau 25 tahun yang lalu, saat penghasilan (penduduknya) masih rendah,” ucap dia.
Studi tersebut juga memperlihatkan, dalam kurun waktu 1975-1999, kereta cepat di Jepang mendorong pertumbuhan populasi 32% di kotakota yang memiliki stasiun kereta cepat atau 12% secara nasional. Secara ekonomi, dalam kurun waktu 1975–1991 jumlah perusahaan di kota-kota yang memiliki stasiun kereta cepat di Jepang juga meningkat 46% atau 21% secara nasional.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menyatakan, pemerintah harus menunggu studi kelayakan yang dilakukan Jepang dan China. Kedua studi ini akan diperbandingkan dari aspek teknologi, biaya investasi, harga, dan aspek lainnya. ”Kita harus mendapatkan yang terbaik,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Rahmat fiansyah
Pemerintah berharap, seremoni pencanangan pembangunan (groundbreaking) dapat dilakukan pada 2019. Deputi bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Dedy Supriadi Priatna menyatakan, dalam perhitungan normal studi kelayakan yang dilakukan JICA (Japan International Corporation Agency), pencanangan pembangunan sebelumnya diperkirakan baru dilakukan pada 2021.
Perkiraan itu mengasumsikan rumitnya proses birokrasi dan pembebasan lahan. ”Tapi kalau itu dipercepat semua, 2019 bisa,” kata Dedy saat ditemui di kantornya, Jakarta, akhir pekan lalu. Dia menegaskan, pemerintah berupaya mempercepat proses yang menghambat proyek tersebut. Dedy mengungkap, pemerintah khawatir pembangunan proyek tersebut mangkrak jika dilakukan pada 2019, saat transisi pemerintahan baru.
Dengan waktu pembangunan enam tahun, maka kereta cepat diprediksi akan beroperasi pada 2025. Menurut dia, saat ini ada dua negara yang tertarik untuk membiayai proyek kereta cepat, yaitu Jepang dan China. Kendati demikian, sampai saat ini baru Jepang yang sudah menganggarkan dana senilai USD15 juta untuk melakukan studi kelayakan proyek tersebut, dengan rincian fase pertama kajian awal, fase kedua detail rekayasa, dan fase ketiga operasional dan pengawasan.
Dari total anggaran itu, Jepang sudah menyelesaikan studi kelayakan fase pertama senilai USD6 juta. Sementara, China sama sekali belum memulai studi kelayakan. Pemerintah mematok batas akhir studi kelayakan proyek ini selesai pada Desember 2015. Harapannya, awal tahun 2016 sudah bisa diputuskan siapa yang akan menggarap proyek tersebut.
Dedy menjelaskan, berdasarkan studi tersebut, proyek kereta cepat rute Jakarta-Bandung membutuhkan dana sekira Rp60 triliun. Jepang menawarkan beban pendanaan itu dibagi dengan komposisi 74% dari BUMN, pemerintah 16%, dan swasta 10%. Sementara, China menjanjikan dana proyek tersebut sepenuhnya tidak melibatkan pemerintah, dengan investasi sekira Rp30 triliun.
”Tapi, China berharap mendapatkan revenue guarantee saat proyek beroperasi,” tuturnya. Dedy menilai keberadaan kereta cepat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dia pun membantah anggapan bahwa kereta cepat hanya diperuntukkan bagi negara dengan pendapatan per kapita menengah ke atas. ”Padahal, tidak seperti itu. Dulu Jepang saat punya Shinkansen 30 atau 25 tahun yang lalu, saat penghasilan (penduduknya) masih rendah,” ucap dia.
Studi tersebut juga memperlihatkan, dalam kurun waktu 1975-1999, kereta cepat di Jepang mendorong pertumbuhan populasi 32% di kotakota yang memiliki stasiun kereta cepat atau 12% secara nasional. Secara ekonomi, dalam kurun waktu 1975–1991 jumlah perusahaan di kota-kota yang memiliki stasiun kereta cepat di Jepang juga meningkat 46% atau 21% secara nasional.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menyatakan, pemerintah harus menunggu studi kelayakan yang dilakukan Jepang dan China. Kedua studi ini akan diperbandingkan dari aspek teknologi, biaya investasi, harga, dan aspek lainnya. ”Kita harus mendapatkan yang terbaik,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Rahmat fiansyah
(ars)