Pertumbuhan Diprediksi Melambat
A
A
A
JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2015 diproyeksi hanya akan berada di kisaran 4,9-5% atau terendah dalam lima tahun terakhir.
Chief Economist Bank Rakyat Indonesia (BRI) Anggito Abimanyu mengatakan, kondisi tersebut terjadi karena penurunan daya beli masyarakat dan melambatnya aktivitas ekonomi di sejumlah sektor. ”Nyatanya ekonomi pada kuartal I/2015 melambat sehingga proyeksi pertumbuhan ekonomi kami di bawah 5%, terendah dalam lima tahun terakhir,” kata Anggito dalam paparan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I/2015 dan dampaknya pada perekonomian Indonesia di Jakarta Senin (27/4).
Terdapat 16 indikator perkembangan sektor riil sepanjang tiga bulan pertama tahun ini yang mengalami perlambatan. Di antaranya, penurunan penjualan semen, penjualan kendaraan bermotor, kredit industri perbankan, dan impor barang konsumsi. ”Hal ini menggambarkan perlambatan ekonomi dari sisi rumah tangga. Volume konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) juga turun saat harga BBM turun, berarti kebutuhan industri juga turun. Ini menunjukkan ekonomi mengalami perlambatan,” paparnya.
Secara umum perekonomian makro Indonesia mengalami kondisi cukup stabil pada April 2015. Beberapa indikator makronya adalah pergerakan rupiah yang relatif stabil, capital inflow yang surplus, terkendalinya inflasi inti, risiko default utang yang semakin membaik, dan perbaikan kondisi neraca perdagangan. Dia menambahkan, hal positif lainnya adalah sektor pengeluaran pemerintah yang meningkat serta membaiknya neraca perdagangan.
Kondisi tersebut diprediksi bakal membantu perbaikan di kuartal II/2015, seiring dengan ekspektasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hanya, ujar Anggito, sejumlah faktor positif tersebut masih akan dipengaruhi ketidakstabilan mikro dan global. Terlebih, kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/ The Fed) yang belum pasti.
Anggito menambahkan, melambatnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2015 diperkirakan ikut menekan likuiditas perbankan. Dia memandang, dampak perlambatan pertumbuhan perekonomian pada periode tersebut bisa berdampak serius pada likuiditas. Anggito menyarankan, demi mengatasi perlambatan ekonomi, pemerintah sebaiknya mengajukan revisi APBN-P 2015 ke DPR secara terbatas. Salah satunya terkait kebijakan perpajakan yang rasional, mengingat kondisi perlambatan perekonomian dan ekspansi belanja modal yang lebih terukur.
”Perubahan APBN-P 2015 yang rasional akan mengurangi tekanan pada likuiditas perbankan dan mendorong pertumbuhan aktivitas dunia usaha maupun sektor riil,” imbuhnya. Sementara, Head of Investor Relation BRI Ninis Kesuma Adriani menambahkan, pengetatan likuiditas menyebabkan sejumlah bank berlomba-lomba mencari dana pihak ketiga. Kekhawatiran perang suku bunga deposito antarbank bisa dihindari melalui sumber pendanaan dari obligasi.
Pemerintah Optimistis
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas) Andrinof Chaniago mengakui bahwa perekonomian pada kuartal I/2015 bakal melambat. Dia mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan perlambatan adalah rendahnya realisasi belanja modal yang dikeluarkan pemerintah.
”Itu sementara saja. Eksekusi belanja pemerintah kan baru jalan sedikit,” katanya saat ditemui seusai penutupan Pra-Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Bidakara, Jakarta, kemarin. Dia menilai, pertumbuhan ekonomi kuartal II/2015 akan lebih baik dibanding kuartal I/2015. Optimismenya itu didasari oleh banyaknya belanja modalyangdikeluarkanuntukmembiayai proyek infrastruktur.
Data terbaru Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, realisasi investasi swasta, baik domestik maupun asing, pada kuartal I/2015 mencapai Rp124,6 triliun. ”Kalau dilihat dari pergerakan investasi, yang masuk makin bagus. Trennya meningkat,” ujarnya.
Terpisah, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan perlambatan ekonomi pada kuartal I/2015, di antaranya tingkat konsumsi dan investasi yang rendah. Komponen ekspor juga tidak bisa diharapkan karena rendahnya harga komoditas di pasar internasional.
Heru febrianto/ rahmat fiansyah
Chief Economist Bank Rakyat Indonesia (BRI) Anggito Abimanyu mengatakan, kondisi tersebut terjadi karena penurunan daya beli masyarakat dan melambatnya aktivitas ekonomi di sejumlah sektor. ”Nyatanya ekonomi pada kuartal I/2015 melambat sehingga proyeksi pertumbuhan ekonomi kami di bawah 5%, terendah dalam lima tahun terakhir,” kata Anggito dalam paparan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I/2015 dan dampaknya pada perekonomian Indonesia di Jakarta Senin (27/4).
Terdapat 16 indikator perkembangan sektor riil sepanjang tiga bulan pertama tahun ini yang mengalami perlambatan. Di antaranya, penurunan penjualan semen, penjualan kendaraan bermotor, kredit industri perbankan, dan impor barang konsumsi. ”Hal ini menggambarkan perlambatan ekonomi dari sisi rumah tangga. Volume konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) juga turun saat harga BBM turun, berarti kebutuhan industri juga turun. Ini menunjukkan ekonomi mengalami perlambatan,” paparnya.
Secara umum perekonomian makro Indonesia mengalami kondisi cukup stabil pada April 2015. Beberapa indikator makronya adalah pergerakan rupiah yang relatif stabil, capital inflow yang surplus, terkendalinya inflasi inti, risiko default utang yang semakin membaik, dan perbaikan kondisi neraca perdagangan. Dia menambahkan, hal positif lainnya adalah sektor pengeluaran pemerintah yang meningkat serta membaiknya neraca perdagangan.
Kondisi tersebut diprediksi bakal membantu perbaikan di kuartal II/2015, seiring dengan ekspektasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hanya, ujar Anggito, sejumlah faktor positif tersebut masih akan dipengaruhi ketidakstabilan mikro dan global. Terlebih, kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/ The Fed) yang belum pasti.
Anggito menambahkan, melambatnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2015 diperkirakan ikut menekan likuiditas perbankan. Dia memandang, dampak perlambatan pertumbuhan perekonomian pada periode tersebut bisa berdampak serius pada likuiditas. Anggito menyarankan, demi mengatasi perlambatan ekonomi, pemerintah sebaiknya mengajukan revisi APBN-P 2015 ke DPR secara terbatas. Salah satunya terkait kebijakan perpajakan yang rasional, mengingat kondisi perlambatan perekonomian dan ekspansi belanja modal yang lebih terukur.
”Perubahan APBN-P 2015 yang rasional akan mengurangi tekanan pada likuiditas perbankan dan mendorong pertumbuhan aktivitas dunia usaha maupun sektor riil,” imbuhnya. Sementara, Head of Investor Relation BRI Ninis Kesuma Adriani menambahkan, pengetatan likuiditas menyebabkan sejumlah bank berlomba-lomba mencari dana pihak ketiga. Kekhawatiran perang suku bunga deposito antarbank bisa dihindari melalui sumber pendanaan dari obligasi.
Pemerintah Optimistis
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas) Andrinof Chaniago mengakui bahwa perekonomian pada kuartal I/2015 bakal melambat. Dia mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan perlambatan adalah rendahnya realisasi belanja modal yang dikeluarkan pemerintah.
”Itu sementara saja. Eksekusi belanja pemerintah kan baru jalan sedikit,” katanya saat ditemui seusai penutupan Pra-Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Bidakara, Jakarta, kemarin. Dia menilai, pertumbuhan ekonomi kuartal II/2015 akan lebih baik dibanding kuartal I/2015. Optimismenya itu didasari oleh banyaknya belanja modalyangdikeluarkanuntukmembiayai proyek infrastruktur.
Data terbaru Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, realisasi investasi swasta, baik domestik maupun asing, pada kuartal I/2015 mencapai Rp124,6 triliun. ”Kalau dilihat dari pergerakan investasi, yang masuk makin bagus. Trennya meningkat,” ujarnya.
Terpisah, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan perlambatan ekonomi pada kuartal I/2015, di antaranya tingkat konsumsi dan investasi yang rendah. Komponen ekspor juga tidak bisa diharapkan karena rendahnya harga komoditas di pasar internasional.
Heru febrianto/ rahmat fiansyah
(ars)