Pengusaha Keluhkan Bahan Baku

Selasa, 05 Mei 2015 - 10:12 WIB
Pengusaha Keluhkan Bahan Baku
Pengusaha Keluhkan Bahan Baku
A A A
JAKARTA - Kalangan pengusaha sektor perikanan dan kelautan mengeluhkan minimnya pasokan bahan baku untuk memasok industri hilir. Hal ini jelas-jelas mengganggu industri pengolahan di tengah upaya pemerintah meningkatkan nilai tambah produk lokal.

Padahal, di sisi lain bahan baku yang ada justru banyak diekspor ke luar negeri. Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Rumput Laut Sasmoyo S Boesari mengatakan, saat ini industri rumput laut kalah bersaing karena minimnya pasokan bahan baku. Menurutnya, rumput laut Indonesia banyak diserap oleh pasar China, yaitu sekitar 70-80%. ”China pengimpor terbesar tapi (pengusahanya) dapat stimulus dari pemerintah.

Sementara industri domestik kita harus berjuang untuk mendapatkan bahan baku, dan kita kalah di harga. Ini salah satu masalah yang kita hadapi sehingga industri refinery rumput laut tidak berkembang di Indonesia,” tuturnya di sela-sela diskusi di Gedung Mina Bahari Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta, kemarin. Dia menambahkan, pemerintah Negeri Panda memberikan insentif kepada para importir rumput laut di negaranya 15- 35%.

Hal ini menyebabkan industri rumput laut di Indonesia kalah bersaing karena harus membeli 15-35% lebih mahal. Menurutnya, saat ini banyak calon investor industri rumput laut yang akan masuk Indonesia terutama seiring berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Hal ini diakuinya membuat industri dalam negeri ketar-ketir karena mendapat pesaing berat. Kekhawatiranjugadisampaikan pelaku industri peng-olahan ikan.

Ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Hendri Sutandinata mengatakan, saat ini industri pengolahan ikan di Indonesia umumnya kekurangan bahan baku. Untuk industri pengalengan ikan misalnya, rata-rata yang terpakai hanya maksimum 30-50%. ”Saya yakin kondisi serupa terjadi di industri pengolahan ikan lainnya. Untuk itu kami harapkan pemerintah tidak terlalu gampang mengundang investor asing di bidang pengolahan ikan,” ujarnya kepada KORAN SINDO.

Hendri meminta, pemerintah mempertimbangkan utilitas pabrik domestik yang kekurangan bahan baku. Setelah terpenuhi, baru dibuka untuk investor asing. ”Kalau enggak, kondisinya akan makin parah. Bisa-bisa ikan-ikan yang tersedia beralih menghidupi pengusaha asing yang baru masuk, sementara industri domestik yang sudah puluhan tahun mati. Pasalnya, banyak investor asing yang sudah punya jaringan kuat di luar negeri,” paparnya.

Hendri menyadari, tidak mungkin pemerintah menutup diri dari investor asing. Namun, ia meminta pemerintah lebih selektif memberikan izin jenis pengolahan ikan apa dan untuk wilayah mana. Pasalnya, kata dia, di beberapa wilayah jumlah pemainnya sudah berlebihan sehingga terjadi kekurangan bahan baku. ”Kami minta pemerintah membantu pemikiran cara mengatasi kekurangan bahan baku.

Misalnya pengalengan ikan sarden, kita tahunya hanya di Selat Bali. Harus dilakukan studi mencari sumber lain ikan lemuru sebagai bahan baku. Sehingga, membantu pemenuhankapasitasterpasangkita,” ucapnya. Henri juga mengusulkan adanya sinergi, di mana pengusaha pengolahan dalam negeri bertindak sebagai pengolah atau pemroses untuk kemudian diekspor ke pembeli yang memiliki jaringan pemasaran di luar negeri.

Adapun izin penangkapan ikan oleh perusahaan penangkapan asing menurutnya memungkinkan dengan catatan harus selektif. ”Harus ada pengawasan khusus yang dapat meyakinkan bahwa mereka tidak akan membawa hasil tangkapan ke luar melainkan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri,” ujar dia. Presiden Direktur PT Cendana Indopearls Joseph Taylor mengatakan, meskipun Indonesia merupakan produsen terbesar dari Mutiara Laut Selatan, kebanyakan mutiara tersebut diekspor untuk bahan baku, sementara nilai tambah di Indonesia hampir tidak ada.

”Bangkok salah satu pusat di Asia untuk perhiasan mutiara, mutiara Indonesia banyak diolah di sana,” ucapnya. Joseph mengungkapkan, hal lain yang menyulitkan perkembangan industri perhiasan mutiara adalah adanya pajak berlapis. Dia menyebutkan untuk perhiasan mutiara yang diproduksi dan dijual dalam negeri dikenai PPN 10% dan PPNBM 75%.

”Artinya, untuk pasar dalam negeri pajaknya sampai 85%. Di negara lain tidak ada, di Bangkok hanya PPN 7% saja. Seharusnya itu dihapuskan saja,” ucapnya. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, akan memfasilitasi dan membuat kebijakan yang berpihak kepada pengusaha domestik. Ini dilakukan seiring meningkatnya minat investor asing di sektor kelautan dan perikanan.

Susi juga mengatakan, pemerintah tidak bisa mengunci izin di sektor hilir perikanan dan kelautan. Menurutnya, sinergi dengan investor asing di bidang pengolahan sangat memungkinkan. Kendatidemikian, ia berjanji membuat kebijakan yang membuat pengusaha domestiklebihberdaya. ”Kamiakan mencoba memfasilitasi dan meregulasi supaya pengusaha Indonesia lebih punya posisi lebih dan bisa menjadi pemain dominan di era MEA,” katanya.

Susi juga berjanji menyelesaikan berbagai persoalan fiskal yang memberatkan perusahaan. Ia mencontohkan pajak untuk perhiasan mutiara yang dinilai memberatkan. ”Saya suruh dirjen dan stakeholder asosiasi ke Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan untuk minta mengurangi beban-beban yang tidak perlu. Misalnya PPN yang ketinggian, mutiara yang kena pajak barang mewah yang tinggi, dan sebagainya,” tuturnya.

Inda susanti
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6391 seconds (0.1#10.140)