Implikasi Pelonggaran Likuiditas

Rabu, 06 Mei 2015 - 09:36 WIB
Implikasi Pelonggaran...
Implikasi Pelonggaran Likuiditas
A A A
Bank Indonesia (BI) segera menerbitkan aturan baru untuk mendorong ekspansi kredit dengan memperluas definisi simpanan di bank nasional dan melonggarkan batas atas loan to deposit ratio (LDR) 92%.

Tegasnya, kelak simpanan tidak hanya terdiri dari dana pihak ketiga (DPK). Tetapi, simpanan akan meliputi pula komponen lain misalnya surat utang, medium term loan (MTN) dan Kontak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA). Selain itu, BI juga akan memberikan insentif berupa pelonggaran batas atas LDR terkait dengan penyaluran kredit ke usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 15/15/PBI/ 2013, tanggal 31 Desember 2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, BI menetapkan batas bawah LDR 78% dan batas atas LDR 92%. Mengingat pertumbuhan kredit masih di bawah perkiraan, maka BI mendorong ekspansi kredit dengan melonggarkan batas atas LDR dari 92% menjadi 94%.

Insentif itu berlaku bagi bank nasional yang telah memenuhi kewajiban pengucuran kredit ke UMKM minimal 5% pada akhir 2015 dengan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan /NPL) di bawah 5%. Tengok pula PBI No 14/22/ PBI/2012 pada 21 Desember 2012 yang mewajibkan bank nasional menyalurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi) secara bertahap mulai 2013 hingga 2018.

Pertanyaannya, apa implikasinya bagi bank nasional? Pertama, bank nasional tidak begitu sesak napas. Dalam kondisi likuiditas ketat saat ini, mengingat suku bunga acuan BI Rate yang bertengger tinggi 7,5%, bank nasional terutama papan bawah akan terengah-engah dalam menghimpun dana. Dengan kantong cekak, bank nasional kecil itu terpaksa menawarkan suku bunga deposito lebih tinggi untuk menarik deposan. Itu berarti, biaya dana (cost of fund) akan naik.

Karena modal tipis, tentu saja bank nasional kelas terbang akan kalah bersaing dengan bank nasional kelas berat dalam menawarkan suku bunga deposito. Nah, ketika DPK diperluas meliputi surat utang, medium term loan (MTN) dan KIK-EBA, maka likuiditas bank nasional lebih longgar. Namun, sebagian besar bank nasional berskala kecil jarang memiliki sumber dana seperti itu kecuali dana dari DPK dan modal dari pemegang saham pengendali.

Dengan bahasa bening, aturan itu kurang nendang bagi bank kecil. Kedua, meningkatkan pengucuran kredit. Bank nasional papan menengah ke atas tentu merasa lebih lega dengan aturan itu. Mengapa? Lantaran, bank nasional itu akan lebih likuid sehingga dapat mengucurkan kredit lebih banyak. Kian tinggi kucuran kredit, kian tinggi pula pendapatan dari bunga (interest income ).

Tetapi jangan melalaikan manajemen risiko kredit mengingat biasanya NPL berpotensi naik ketika kondisi likuiditas ketat. Hal itu bisa terjadi tatkala arus kas nasabah kurang lancar sehingga kewajiban untuk membayar angsuran kredit pun menjadi kurang lancar. Gejala itu tampak pada Statistik Perbankan Indonesia (SPI) pada 18 Maret 2015 yang menunjukkan NPL bank umum menebal dari Rp65,08 triliun (1,99%) per Januari 2014 menjadi Rp86,12 triliun (2,37%) per Januari 2015.

Hendaknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memperhatikan laju pertumbuhan kredit konsumsi. SPI mencatat kredit konsumsitumbuhsubur10,98% dari Rp912,51 triliun per Januari 2014menjadiRp1.012,74triliun per Januari 2015. Hal itu telah melampaui pertumbuhan kredit modal kerja 10,73% dari Rp1.546,83 triliun menjadi Rp1.712,82 triliun.

Pertumbuhan kredit konsumsi itu tidak sejalan dengan jiwa pelonggaran likuiditas yang bertujuan untuk mengerek pertumbuhan kredit modal kerja dan investasi. Maka, OJK perlu membatasi porsi kredit konsumsi misalnya maksimal 20% dari total kredit. Pembatasan ini akan ”memaksa” bank nasional untuk lebih banyak menyalurkan kredit modal kerjadan investasi. Ketiga, pemerintah wajib menggenjot penyerapan anggaran pemerintah.

Pemerintah harus melakukan optimalisasi penyerapan anggaran pada kementerian atau lembaga. Bagaimana kiatnya? Mempersingkat jalur birokrasi tanpa mengabaikan unsur efisiensi dan efektivitas yang justru harus dijunjung tinggi. Ingat, laju kredit sesungguhnya tergantung pada kecepatan larinya penyerapan anggaran pemerintah untuk membiayai proyek.

Kelancaran proyek itu juga bergantung pada keberhasilan pembebasan tanah. Makin lancar pembebasan tanah, makin mini kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan (undisbursed loan) yang mencapai Rp1.175,23 triliun per Januari 2015. Alhasil, upaya memperlonggar likuiditas perbankan nasional bukan hanya menjadi mesin pendorong peningkatan pengucuran kredit tetapi juga pertumbuhan ekonomi nasional. Sungguh!

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan,
Mantan Asisten Vice President BNI & Alumnus MM-UGM
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7764 seconds (0.1#10.140)