Hingga April, Realisasi Pajak Baru 23,96%

Kamis, 07 Mei 2015 - 09:25 WIB
Hingga April, Realisasi...
Hingga April, Realisasi Pajak Baru 23,96%
A A A
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan pajak hingga 30 April 2015 mencapai Rp310,1 triliun atau 23,96% dari target dalam APBN-P sebesar Rp1.294,2 triliun.

”Tahun lalu Rp314 triliun. Turunnya di PPh Migas. Di situ kita tergerus,” kata Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito di Jakarta kemarin. Realisasi penerimaan pajak hingga 30 April mengalami pertumbuhan sekaligus penurunan di sektor pajak tertentu. Secara umum, penerimaan pajak penghasilan (PPh) nonmigas tumbuh 10,58% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Penerimaan PPh nonmigas mencapai Rp180,1 triliun atau lebih tinggi dari realisasi penerimaan PPh nonmigas per akhir April 2014 sebesar Rp162,9 triliun. Pertumbuhan tertinggi dari PPh nonmigas dicatatkan oleh PPh Pasal 26, yang merupakan pajak yang dibayarkan wajib pajak luar negeri, yakni 30,6% atau Rp11,9 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp9,1 triliun.

Pertumbuhan tinggi selanjutnya berasal dari PPh final yang mencapai 21,23%, dengan realisasi penerimaan Rp30,4 triliun, dibandingkan periode yang sama pada tahun 2014 sebesar Rp25,1 triliun. Pencapaian tersebut diklaim sebagai keberhasilan dari kebijakan pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentumelaluiPeraturanPemerintah (PP) No 46 tahun 2013.

Pertumbuhan tinggi lainnya tercatat dari PPh Pasal 25/29 Badan yakni 10,47%, atau realisasi penerimaannya mencapai Rp74,8 triliun, dibandingkan periode yang sama pada tahun 2014 sebesar Rp 67,7 triliun. Lalu, pertumbuhan PPh Pasal 21 Orang Pribadi tercatat mencapai 9,6% atau dengan realisasi penerimaan mencapai Rp36,1 triliun, dibandingkan periode yang sama pada 2014 sebesar Rp32,9 triliun.

Pertumbuhan lainnya berasal dari PPh Pasal 23 yakni 9,1% atau sebesar Rp8,5 triliun, serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi sebesar 8,52% atau sebesar Rp2,7 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp2,5 triliun. Namun, perlambatan ekonomi pada kuartal I/2015 juga ikut menurunkan pertumbuhan pajak. Tercatat, penurunan tertinggi terjadi pada PPh nonmigas lainnya yakni 25,66% menjadi Rp12,5 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp16,8 triliun.

Penurunan tertinggi lainnya dicatatkan PPh Pasal22Imporyakni12,35% atau dengan realisasi hanya Rp1,7 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1,9triliun. Pada Pasal22terjadi penurunan 6,87% atau menjadi Rp13,8 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp15,7 triliun. Pertumbuhan pajak pertambahan nilai (PPN) impor juga mengalami penurunan 9,09% menjadi Rp43,5 triliun, dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp47,8 triliun.

Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) impor pun ikut turun sebesar 29,8% atau dengan realisasi penerimaan sebesar Rp1,5 triliun, dibandingkan periode yang sama sebesar Rp2,1 triliun. Sementara, penurunan konsumsi dalam negeri berkontribusi pada penurunan pertumbuhan penerimaan PPN Dalam Negeri 1,43% atau realisasinya sebesar Rp63,2 triliun, dibandingkan periode yang sama tahun 2014 sebesar Rp64,1 triliun.

Penurunan pertumbuhan terbesar dicatatkan PPN/ PPnBM lainnya yakni mencapai 42,71% atau realisasinya hanya mencapai Rp37,8 miliar, dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp66,00 miliar. Selain itu, penurunan lifting minyak bumi dan anjloknya harga minyak berkontribusi pada penurunan pertumbuhan PPh migas sebesar 46,18% atau realisasinya hanya Rp16,7 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2014 senilai Rp31,1 triliun.

Penurunan juga dicatatkan dari pajak bumi dan bangunan (PBB) yakni 64,7% atau sebesar Rp308,2 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp873,2 miliar. Terlepas dari itu, Sigit mengatakan, Ditjen Pajak tidak bergantung pada kondisi perekonomian untuk menggenjot penerimaan pajak. Jika bergantung pada laju ekonomi yang melambat pada kuartal I/2015, penerimaan pajak seharusnya tidak tumbuh. ”Reinventing policy untuk menutup itu.

Sanksi denda selama lima tahun terakhir kita hapus. Ini artinya kebijakan yang sebetulnya dimulai Maret ini membuahkan hasil,” tuturnya. Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, peningkatan PPh nonmigas yang signifikan harus dipertahankan.

Dengan demikian, Ditjen Pajak bisa fokus pada pengawasan PPN yang kondisinya negatif. Yustinus pun menyebutkan, di tengah melambatnya ekonomi, Ditjen Pajak bisa mengontrol kebocoran dan melakukan ekstensifikasi pajak, terutama kepada pengusaha kena pajak (PKP). ”Memperbanyak jumlah PKP dan memperluas tax base - nya,” kata dia.

Rahmat fiansyah
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0989 seconds (0.1#10.140)