Hati-hati DPR! Skema Power Wheeling dalam RUU EBT Bisa Bebani PLN dan Keuangan Negara
Rabu, 22 November 2023 - 18:48 WIB
JAKARTA - Skema power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan listrik) dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dinilai tidak memiliki urgensi dan bahkan merupakan bentuk pemaksaan kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Skema power wheeling hanya sekedar sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT .
"Padahal kondisinya sangat tidak urgen berkaca pada kondisi eksisting sektor ketenagalistrikan saat ini,” kata Abra Talattov, Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development (CFESD) Indef, dikutip Rabu (22/11/2023).
Pemerintah sebenarnya telah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPTL disebutkan jika target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW dengan porsi swasta mencapai 56,3% atau setara 11,8 GW.
“Artinya, apabila green RUPTL bisa dijalankan secara konsisten saja maka secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga 2030 akan mencapai 51,6%,”jelas Abra.
Selain itu menurutnya, ide penerapan skema power wheeling menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi pasokan berlebih listrik yang terus melonjak. Kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara pasokan dan permintaan listrik yang ditunjukkan oversupply listrik terus meningkat tiap tahunnya dan oversupply pada 2022 telah menyentuh 7 GW.
Kondisi berlebih listrik tersebut berpotensi terus membengkak, karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 gigawatt (GW). Beban tersebut berpotensi menjadi bom waktu bagi PLN karena akan ada lonjakan kewajiban capacity payment dan denda yang harus dikeluarkan PLN akibat penjualan listrik di bawah capacity factor.
Konsekuensinya, untuk mengurangi beban operasional PLN tentu akan mengurangi produksi listrik dari pembangkitnya sendiri demi dapat menyerap produksi listrik dari IPP. Buktinya, produksi listrik dari pembangkit milik PLN pada 2022 hanya tumbuh 1,13%, sedangkan pertumbuhan pembelian listrik dari IPP mencapai 16,6%.
Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa kondisi besarnya pasokan berlebih tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan permintaan listrik. RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan permintaan rata-rata 6,4% per tahun, namun realisasinya selama 2015-2021 rata-rata hanya 3,5% per tahun. Dengan masuknya skema power wheeling maka akan berpotensi menggerus penjualan listrik (demand organic) PLN lebih banyak lagi hingga 10-30%.
"Padahal kondisinya sangat tidak urgen berkaca pada kondisi eksisting sektor ketenagalistrikan saat ini,” kata Abra Talattov, Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development (CFESD) Indef, dikutip Rabu (22/11/2023).
Pemerintah sebenarnya telah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPTL disebutkan jika target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW dengan porsi swasta mencapai 56,3% atau setara 11,8 GW.
“Artinya, apabila green RUPTL bisa dijalankan secara konsisten saja maka secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga 2030 akan mencapai 51,6%,”jelas Abra.
Selain itu menurutnya, ide penerapan skema power wheeling menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi pasokan berlebih listrik yang terus melonjak. Kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara pasokan dan permintaan listrik yang ditunjukkan oversupply listrik terus meningkat tiap tahunnya dan oversupply pada 2022 telah menyentuh 7 GW.
Kondisi berlebih listrik tersebut berpotensi terus membengkak, karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 gigawatt (GW). Beban tersebut berpotensi menjadi bom waktu bagi PLN karena akan ada lonjakan kewajiban capacity payment dan denda yang harus dikeluarkan PLN akibat penjualan listrik di bawah capacity factor.
Konsekuensinya, untuk mengurangi beban operasional PLN tentu akan mengurangi produksi listrik dari pembangkitnya sendiri demi dapat menyerap produksi listrik dari IPP. Buktinya, produksi listrik dari pembangkit milik PLN pada 2022 hanya tumbuh 1,13%, sedangkan pertumbuhan pembelian listrik dari IPP mencapai 16,6%.
Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa kondisi besarnya pasokan berlebih tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan permintaan listrik. RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan permintaan rata-rata 6,4% per tahun, namun realisasinya selama 2015-2021 rata-rata hanya 3,5% per tahun. Dengan masuknya skema power wheeling maka akan berpotensi menggerus penjualan listrik (demand organic) PLN lebih banyak lagi hingga 10-30%.
tulis komentar anda