Rupiah Sore Ini Melemah ke Rp16.187 Usai BI Kerek Suku Bunga
Kamis, 25 April 2024 - 15:40 WIB
JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah pada perdagangan hari ini ditutup melemah 32 poin di level Rp16.187 per USD setelah sebelumnya di level Rp16.155 per USD. Penuruan ini terjadi usai Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) atau 0,25 persen pada April 2024 ini.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, indeks dolar AS menguat imbas Greenback tetap mendekati level tertinggi lima bulan yang dicapai minggu lalu, karena para pedagang terus mengabaikan ekspektasi penurunan suku bunga lebih awal oleh Federal Reserve.
"Data ekonomi yang dirilis minggu ini ditetapkan untuk memberikan lebih banyak isyarat mengenai jalur suku bunga. Data produk domestik bruto AS kuartal pertama yang akan dirilis pada hari Kamis diperkirakan akan menunjukkan apakah ekonomi terbesar di dunia ini tetap tangguh pada awal tahun 2024," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (25/4/2024).
Kemudian yang lebih diawasi adalah data indeks harga PCE ukuran inflasi pilihan The Fed yang akan dirilis pada hari Jumat. Data indeks harga PCE yang merupakan ukuran inflasi pilihan Federal Reserve kemungkinan akan memiliki dampak yang lebih besar, mengingat data tersebut terkait langsung dengan prospek bank sentral mengenai suku bunga.
Selain itu, pertemuan BOJ mendatang menjadi fokus utama. Bank sentral diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tidak berubah pada hari Jumat, menyusul kenaikan suku bunga bersejarah pada bulan Maret. Namun pelemahan yen baru-baru ini, ditambah dengan ekspektasi upah dan inflasi yang lebih tinggi membuat para pedagang waspada terhadap sinyal hawkish dari BOJ. BOJ berpotensi menaikkan prospek inflasi dan mengulangi rencana untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut tahun ini.
Dari sentimen domestik, perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan Eropa membuat dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian yang meningkat.
Tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan (high for longer) sejalan pula dengan pernyataan para pejabat Federal Reserve System. Akibatnya, investor global memindahkan portfolionya ke aset yang lebih aman khususnya mata uang dolar AS dan emas, sehingga menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, indeks dolar AS menguat imbas Greenback tetap mendekati level tertinggi lima bulan yang dicapai minggu lalu, karena para pedagang terus mengabaikan ekspektasi penurunan suku bunga lebih awal oleh Federal Reserve.
"Data ekonomi yang dirilis minggu ini ditetapkan untuk memberikan lebih banyak isyarat mengenai jalur suku bunga. Data produk domestik bruto AS kuartal pertama yang akan dirilis pada hari Kamis diperkirakan akan menunjukkan apakah ekonomi terbesar di dunia ini tetap tangguh pada awal tahun 2024," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (25/4/2024).
Kemudian yang lebih diawasi adalah data indeks harga PCE ukuran inflasi pilihan The Fed yang akan dirilis pada hari Jumat. Data indeks harga PCE yang merupakan ukuran inflasi pilihan Federal Reserve kemungkinan akan memiliki dampak yang lebih besar, mengingat data tersebut terkait langsung dengan prospek bank sentral mengenai suku bunga.
Selain itu, pertemuan BOJ mendatang menjadi fokus utama. Bank sentral diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tidak berubah pada hari Jumat, menyusul kenaikan suku bunga bersejarah pada bulan Maret. Namun pelemahan yen baru-baru ini, ditambah dengan ekspektasi upah dan inflasi yang lebih tinggi membuat para pedagang waspada terhadap sinyal hawkish dari BOJ. BOJ berpotensi menaikkan prospek inflasi dan mengulangi rencana untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut tahun ini.
Dari sentimen domestik, perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan Eropa membuat dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian yang meningkat.
Tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan (high for longer) sejalan pula dengan pernyataan para pejabat Federal Reserve System. Akibatnya, investor global memindahkan portfolionya ke aset yang lebih aman khususnya mata uang dolar AS dan emas, sehingga menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar.
(nng)
tulis komentar anda