Ekspor Meningkat, Industri Oleokimia Diprediksi Semakin Positif di 2021
Rabu, 23 Desember 2020 - 22:44 WIB
JAKARTA - Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) meyakini bahwa industri oleokimia semakin positif di 2021. Indikator itu terlihat dari meningkatnya ekspor industri tersebut sepanjang 2020.
Berdasarkan data Pusat Statistik Data untuk ekspor produk oleokimia dengan 15 HS Code menunjukkan volume ekpor produk oleokimia dari Januari-November 2020 mencapai 3,5 juta ton dan nilai ekspornya sebesar USD2,4 miliar. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan periode sama 2019 masing-masing volume ekspor 3 juta ton dan nilai ekspornya USD1,9 miliar.
Sementara di pasar domestik, sepanjang tahun 2020 ini berada pada 150 ribu ton per bulan, sehingga volume konsumi produk oleochemical di pasar domestik berkisar 1,8 juta-2 juta ton.
“Hingga akhir tahun 2020, volume ekspor diproyeksikan sebesar 3,87 juta ton. Sementara nilai ekspornya sebesar USD2,6 miliar,” kata Rapolo Hutabarat, Ketua Umum APOLIN, dalam keterangan resminya, Rabu (23/12/2020). ( Baca juga:Kenaikan Cukai Rokok, Tak Cukup Jadi Solusi )
Ia menjelaskan bahwa industri oleochemical Indonesia bisa tumbuh positif sepanjang 2020 karena sejalan dengan kebijakan pemerintah melalui izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI). Dengan adanya IOMKI tersebut maka pasokan bahan baku, proses produksi, logistik dan pengiriman ke pasar ekspor dan pasar di dalam negeri berjalan dengan lancar.
Sementara terkait PMK 191/2020, lanjut Rapolo, merupakan oase bagi semua pemangku kepentingan industri sawit di Indonesia mulai dari sektor hulu (petani, perkebunan dan perkebunan terintegrasi); mid downstream (refinery) dan further downstream (produsen FAME dan produsen Oleochemical) termasuk pemerintah.
PMK 191/2020 memberikan empat benefit bagi industri sawit. Pertama, adanya kepastian penghimpunan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapsa Sawit, yang dapat digunakan untuk berbagai hal di industri sawit seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang perlu ditingkatkan luasnya dari 180 ribu hektar menjadi 500 ribu hektar per tahun mulai tahun 2021; kesinambungan pendanaan riset-riset industri sawit; program bea siswa; pendanaan promosi dan advokasi.
Kedua, pelaku usaha dan pemerintah untuk melanjutkan program mandatori B30 yang bisa dilanjutkan menjadi B40 bahkan B50. Ketiga, program B30 saat ini merupakan tulang punggung utama industri sawit Indonesia karena menyerap 9,6 juta KL FAME (memang ada kontraksi sedikit tahun 2020 ini karena adanya pandemi Covid-19).
Keempat, Momentum paling besar dari terbitnya PMK 191/2020 ini dapat dikatakan sebagai persiapan implementasi program B40 yang sudah barang tentu akan menyerap CPO di dalam negeri kira-kira 12 juta-13 juta ton yang artinya adanya penambahan konsumsi CPO di dalam negeri sebesar kira-kira 2,8 juta-3 juta ton. Potensi peningkatan ini harus ditangkap atau terjemahkan sebagai salah satu strategi jitu industri sawit Indonesia guna menghadapi pasar global yang selalu menyudutkan industri sawit Indonesia. ( Baca juga:Suap Bansos Covid-19, KPK Perpanjang Penahanan Juliari Peter Batubara 40 Hari )
Berdasarkan data Pusat Statistik Data untuk ekspor produk oleokimia dengan 15 HS Code menunjukkan volume ekpor produk oleokimia dari Januari-November 2020 mencapai 3,5 juta ton dan nilai ekspornya sebesar USD2,4 miliar. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan periode sama 2019 masing-masing volume ekspor 3 juta ton dan nilai ekspornya USD1,9 miliar.
Sementara di pasar domestik, sepanjang tahun 2020 ini berada pada 150 ribu ton per bulan, sehingga volume konsumi produk oleochemical di pasar domestik berkisar 1,8 juta-2 juta ton.
“Hingga akhir tahun 2020, volume ekspor diproyeksikan sebesar 3,87 juta ton. Sementara nilai ekspornya sebesar USD2,6 miliar,” kata Rapolo Hutabarat, Ketua Umum APOLIN, dalam keterangan resminya, Rabu (23/12/2020). ( Baca juga:Kenaikan Cukai Rokok, Tak Cukup Jadi Solusi )
Ia menjelaskan bahwa industri oleochemical Indonesia bisa tumbuh positif sepanjang 2020 karena sejalan dengan kebijakan pemerintah melalui izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI). Dengan adanya IOMKI tersebut maka pasokan bahan baku, proses produksi, logistik dan pengiriman ke pasar ekspor dan pasar di dalam negeri berjalan dengan lancar.
Sementara terkait PMK 191/2020, lanjut Rapolo, merupakan oase bagi semua pemangku kepentingan industri sawit di Indonesia mulai dari sektor hulu (petani, perkebunan dan perkebunan terintegrasi); mid downstream (refinery) dan further downstream (produsen FAME dan produsen Oleochemical) termasuk pemerintah.
PMK 191/2020 memberikan empat benefit bagi industri sawit. Pertama, adanya kepastian penghimpunan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapsa Sawit, yang dapat digunakan untuk berbagai hal di industri sawit seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang perlu ditingkatkan luasnya dari 180 ribu hektar menjadi 500 ribu hektar per tahun mulai tahun 2021; kesinambungan pendanaan riset-riset industri sawit; program bea siswa; pendanaan promosi dan advokasi.
Kedua, pelaku usaha dan pemerintah untuk melanjutkan program mandatori B30 yang bisa dilanjutkan menjadi B40 bahkan B50. Ketiga, program B30 saat ini merupakan tulang punggung utama industri sawit Indonesia karena menyerap 9,6 juta KL FAME (memang ada kontraksi sedikit tahun 2020 ini karena adanya pandemi Covid-19).
Keempat, Momentum paling besar dari terbitnya PMK 191/2020 ini dapat dikatakan sebagai persiapan implementasi program B40 yang sudah barang tentu akan menyerap CPO di dalam negeri kira-kira 12 juta-13 juta ton yang artinya adanya penambahan konsumsi CPO di dalam negeri sebesar kira-kira 2,8 juta-3 juta ton. Potensi peningkatan ini harus ditangkap atau terjemahkan sebagai salah satu strategi jitu industri sawit Indonesia guna menghadapi pasar global yang selalu menyudutkan industri sawit Indonesia. ( Baca juga:Suap Bansos Covid-19, KPK Perpanjang Penahanan Juliari Peter Batubara 40 Hari )
tulis komentar anda