Mantan Wakil Ketua MK Usulkan Badan Otoritas Pengelolaan Hulu Migas
Sabtu, 01 Mei 2021 - 22:41 WIB
JAKARTA - Demi keberlangsungan industri hulu migas di Indonesia, dinilai perlu dibentuk sebuah lembaga independen, namun tetap berada di bawah eksekutif berupa badan otorita.
Hal tersebut disampaikan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dalam putusan pembubaran BP Migas tahun 2012 lalu, Harjono, dalam Forum Group Discussion (FGD) di Universitas Negeri Sebelas Maret, Sabtu, (1/5/2021).
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut sejumlah akademisi fakultas hukum diantaranya Dekan Fakultas Hukum UNS Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi H., SH, MM, praktisi migas Ir. Benny Lubiantara, SE, MM. dan ahli hukum energi Dr. Lego Karjoko, SH, MH.
Menurut Harjono, Sudah banyak bentuk otorita di negara ini yang dberikan kewenangan sebagai eksekutif untuk mengelola, seperti Badan Otorita Batam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lainnya.
"Melalui lembaga otoritas maka pengelolaan hulu migas akan selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan memberikan keleluasaan dalam mengelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ujar Harjono dalam siaran pers yang diterima SINDOnews.
Dia menjelaskan, negara berkontrak dengan swasta itu tidak mendegradasi posisi negara. Dia mencontohkan ketika negara membeli alutsista, dimana kontraknya berupa business to government (B to G) dan bukan business to business (B to B).
Sementara itu, Dekan FH UNS Prof Gusti Ayu menegaskan, keputusan MK setara dengan undang-undang yang harus dipatuhi. Gusti Ayu menilai pemerintah harus taat pada undang-undang sehingga harus menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Negara harus segera melaksanakan putusan MK guna menjamin ketahanan energi sebagai tanggung jawab negara kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan," tegasnya.
Dia menambahkan, implementasi putusan MK harus dilakukan dengan membuat naskah akademik untuk RUU Migas yang baru harus segera disiapkan agar meningkatkan kepercayaan baik dari dalam maupun luar negeri.
Hal tersebut disampaikan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dalam putusan pembubaran BP Migas tahun 2012 lalu, Harjono, dalam Forum Group Discussion (FGD) di Universitas Negeri Sebelas Maret, Sabtu, (1/5/2021).
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut sejumlah akademisi fakultas hukum diantaranya Dekan Fakultas Hukum UNS Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi H., SH, MM, praktisi migas Ir. Benny Lubiantara, SE, MM. dan ahli hukum energi Dr. Lego Karjoko, SH, MH.
Menurut Harjono, Sudah banyak bentuk otorita di negara ini yang dberikan kewenangan sebagai eksekutif untuk mengelola, seperti Badan Otorita Batam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lainnya.
"Melalui lembaga otoritas maka pengelolaan hulu migas akan selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan memberikan keleluasaan dalam mengelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ujar Harjono dalam siaran pers yang diterima SINDOnews.
Dia menjelaskan, negara berkontrak dengan swasta itu tidak mendegradasi posisi negara. Dia mencontohkan ketika negara membeli alutsista, dimana kontraknya berupa business to government (B to G) dan bukan business to business (B to B).
Sementara itu, Dekan FH UNS Prof Gusti Ayu menegaskan, keputusan MK setara dengan undang-undang yang harus dipatuhi. Gusti Ayu menilai pemerintah harus taat pada undang-undang sehingga harus menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Negara harus segera melaksanakan putusan MK guna menjamin ketahanan energi sebagai tanggung jawab negara kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan," tegasnya.
Dia menambahkan, implementasi putusan MK harus dilakukan dengan membuat naskah akademik untuk RUU Migas yang baru harus segera disiapkan agar meningkatkan kepercayaan baik dari dalam maupun luar negeri.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda