Soal Label BPA, BPOM Disarankan Lebih Cermat Keluarkan Aturan
Kamis, 09 Juni 2022 - 16:45 WIB
JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) disarankan untuk lebih cermat terkait dengan rencana pelabelan Bisfenol-A (BPA) pada air minum kemasan guna ulang .
Direktur Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey mengatakan, apabila hendak mengimplementasikan pelabelan BPA secara mandatori, seharusnya berlaku pada seluruh produk makanan dan minuman (mamin). Pasalnya, risiko migrasi BPA paling tinggi justru ada pada makanan atau minuman kemasan kaleng, bukan pada kemasan air minum guna ulang berbahan polikarbonat.
"Karena galon polikarbonat bisa menahan risiko migrasi itu. Yang paling tinggi risiko migrasi BPA justru ada pada produk konsumsi kemasan kaleng," kata dia, di Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Rencana pelabelan BPA masuk dalamrevisi peraturan BPOM 31/2018 tentang Label Pangan Olahan. Menurut dia revisi peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan juga hanya fokus untuk pelabelan BPA terhadap kemasan galon berbahan Polikarbonat (PC). Sebaliknya, galon sekali pakai berbahan PET dibolehkan menggunakan label bebas BPA.
Faktanya, galon sekali pakai yang diproduksi segelintir produsen AMDK itu menggunakan bahan Polietilena Tereftalat (PET) yang sama-sama berpotensi tercemar bahan kimia asetaldehida dan etilen glikol dan mikroplastik."Seharusnya ada keadilan atau regulasi yang berlaku umum dan tidak menyasar sektor tertentu," jelasnya.
Menix menambahkan, berdasarkan kajian ilmiah, potensi migrasi BPA pada galon berbahan polikarbonat berada pada level 80 derajat celcius, sehingga masih memiliki daya tahan untuk menahan risiko tersebut. Di sisi lain, polikarbonat banyak digunakan sebagai bahan dasar sejumlah perangkat kemasan produk makanan dan minuman kaleng, termasuk botol susu bayi. Bahan ini acap digunakan sebagai pelindung pada bagian dalam kemasan tersebut. "Jadi sangat aneh apabila BPOM hanya mewajibkan pelabelan BPA pada galon air minum," ujarnya.
Sekedar informasi, berdasarkan penelitian The European Food Safety Authority (EFSA) atau Otoritas Keamanan Makanan Eropa, batas aman paparan BPA oleh konsumen adalah 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari.
Ilustrasinya, seseorang dengan berat badan 60 kg masih dalam batas aman jika mengonsumsi BPA 240 mikrogram/hari. Dengan kata lain, sejauh ini risiko paparan BPA pada air minum berkemasan galon sangat rendah.
Menurut Menix, data EFSA tersebut seharusnya bisa dijadikan acuan oleh BPOM dalam menyusun regulasi pelabelan BPA sehingga aturan yang dirilis tidak menimbulkan kesan menyudutkan sektor bisnis tertentu. "Jadi harus bersikap adil untuk semua sektor. Seandainya ada pelabelan BPA, harus diterapkan pada semua produk yang memiliki risiko, tidak hanya air minum galon," jelasnya.
Direktur Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey mengatakan, apabila hendak mengimplementasikan pelabelan BPA secara mandatori, seharusnya berlaku pada seluruh produk makanan dan minuman (mamin). Pasalnya, risiko migrasi BPA paling tinggi justru ada pada makanan atau minuman kemasan kaleng, bukan pada kemasan air minum guna ulang berbahan polikarbonat.
"Karena galon polikarbonat bisa menahan risiko migrasi itu. Yang paling tinggi risiko migrasi BPA justru ada pada produk konsumsi kemasan kaleng," kata dia, di Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Rencana pelabelan BPA masuk dalamrevisi peraturan BPOM 31/2018 tentang Label Pangan Olahan. Menurut dia revisi peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan juga hanya fokus untuk pelabelan BPA terhadap kemasan galon berbahan Polikarbonat (PC). Sebaliknya, galon sekali pakai berbahan PET dibolehkan menggunakan label bebas BPA.
Faktanya, galon sekali pakai yang diproduksi segelintir produsen AMDK itu menggunakan bahan Polietilena Tereftalat (PET) yang sama-sama berpotensi tercemar bahan kimia asetaldehida dan etilen glikol dan mikroplastik."Seharusnya ada keadilan atau regulasi yang berlaku umum dan tidak menyasar sektor tertentu," jelasnya.
Menix menambahkan, berdasarkan kajian ilmiah, potensi migrasi BPA pada galon berbahan polikarbonat berada pada level 80 derajat celcius, sehingga masih memiliki daya tahan untuk menahan risiko tersebut. Di sisi lain, polikarbonat banyak digunakan sebagai bahan dasar sejumlah perangkat kemasan produk makanan dan minuman kaleng, termasuk botol susu bayi. Bahan ini acap digunakan sebagai pelindung pada bagian dalam kemasan tersebut. "Jadi sangat aneh apabila BPOM hanya mewajibkan pelabelan BPA pada galon air minum," ujarnya.
Sekedar informasi, berdasarkan penelitian The European Food Safety Authority (EFSA) atau Otoritas Keamanan Makanan Eropa, batas aman paparan BPA oleh konsumen adalah 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari.
Ilustrasinya, seseorang dengan berat badan 60 kg masih dalam batas aman jika mengonsumsi BPA 240 mikrogram/hari. Dengan kata lain, sejauh ini risiko paparan BPA pada air minum berkemasan galon sangat rendah.
Menurut Menix, data EFSA tersebut seharusnya bisa dijadikan acuan oleh BPOM dalam menyusun regulasi pelabelan BPA sehingga aturan yang dirilis tidak menimbulkan kesan menyudutkan sektor bisnis tertentu. "Jadi harus bersikap adil untuk semua sektor. Seandainya ada pelabelan BPA, harus diterapkan pada semua produk yang memiliki risiko, tidak hanya air minum galon," jelasnya.
(nng)
tulis komentar anda