PP 109/2012 Dinilai Masih Relevan Kendalikan Konsumsi Tembakau
Jum'at, 29 Juli 2022 - 19:15 WIB
JAKARTA - Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana berpendapat rencana perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang menuai kontroversi dari berbagai pihak sejauh ini tidak ada urgensinya. Pasalnya, kebijakan ini masih relevan digunakan dalam rangka pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia.
Menurut Hikmahanto, PP tersebut sudah baik mengatur secara seimbang antara konsen kesehatan, industri hasil tembakau (IHT), perekonomian nasional, dan terbukanya lapangan kerja, sehingga tidak perlu untuk direvisi. Tetapi, karena Indonesia dianggap kurang kompeten dan kurang merespons apa yang terjadi di luar negeri, sehingga pemerintah didorong untuk meratifikasi sebuah perjanjian, yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Namun setelah mengutip arahan dari Presiden Jokowi bahwa kita tidak mau hanya sekedar ikut-ikutan tren, kita harus betul-betul melihat kepentingan nasional," ujar dia dalam pernyataannya, di Jakarta, Jumat (29/7/2022).
Hikmahanto menjelaskan, saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja. Menurutnya soal rencana revisi PP 109/2012, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti perburuhan, tenaga kerja, petani tembakau, kelangsungan usaha industri hasil tembakau, hingga penerimaan negara.
Lebih lanjut Hikmahanto menegaskan, isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan.
Hikmahanto beranggapan PP 109/2012 tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan, namun merupakan titik temu berbagai kepentingan. Maka itu, kementerian/lembaga terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif. "Selain itu, naskah akademis sebagai dasar revisi harus dibuka ke publik untuk mendapatkan masukan," imbuhnya.
Polemik berkepanjangan revisi PP 109/2012 yang menguras energi pemerintah semestinya tidak perlu terjadi. Untuk itu sebagai bangsa yang berdaulat penting untuk kita mampu mengambil sikap dan tidak tunduk kepada desakan lembaga asing yang memiliki kepentingan atas revisi PP 109/2012 ini.
Hikmahanto mengemukakan, IHT Indonesia melibatkan lebih dari 6 juta pekerja dan mata rantainya hulu ke hilir. Setiap negara yang berdaulat pasti memiliki pertimbangan terkait kebijakan yang diterapkannya dan tidak semata-mata mengikuti tekanan dari luar.
Menurut Hikmahanto, PP tersebut sudah baik mengatur secara seimbang antara konsen kesehatan, industri hasil tembakau (IHT), perekonomian nasional, dan terbukanya lapangan kerja, sehingga tidak perlu untuk direvisi. Tetapi, karena Indonesia dianggap kurang kompeten dan kurang merespons apa yang terjadi di luar negeri, sehingga pemerintah didorong untuk meratifikasi sebuah perjanjian, yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Namun setelah mengutip arahan dari Presiden Jokowi bahwa kita tidak mau hanya sekedar ikut-ikutan tren, kita harus betul-betul melihat kepentingan nasional," ujar dia dalam pernyataannya, di Jakarta, Jumat (29/7/2022).
Hikmahanto menjelaskan, saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja. Menurutnya soal rencana revisi PP 109/2012, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti perburuhan, tenaga kerja, petani tembakau, kelangsungan usaha industri hasil tembakau, hingga penerimaan negara.
Lebih lanjut Hikmahanto menegaskan, isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan.
Hikmahanto beranggapan PP 109/2012 tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan, namun merupakan titik temu berbagai kepentingan. Maka itu, kementerian/lembaga terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif. "Selain itu, naskah akademis sebagai dasar revisi harus dibuka ke publik untuk mendapatkan masukan," imbuhnya.
Polemik berkepanjangan revisi PP 109/2012 yang menguras energi pemerintah semestinya tidak perlu terjadi. Untuk itu sebagai bangsa yang berdaulat penting untuk kita mampu mengambil sikap dan tidak tunduk kepada desakan lembaga asing yang memiliki kepentingan atas revisi PP 109/2012 ini.
Hikmahanto mengemukakan, IHT Indonesia melibatkan lebih dari 6 juta pekerja dan mata rantainya hulu ke hilir. Setiap negara yang berdaulat pasti memiliki pertimbangan terkait kebijakan yang diterapkannya dan tidak semata-mata mengikuti tekanan dari luar.
tulis komentar anda