BPH Migas: Pembatasan BBM Subsidi Masih Tunggu Perpres
Jum'at, 02 September 2022 - 00:03 WIB
JAKARTA - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan penyaluran subsidi BBM seperti Pertalite dan Solar subsidi dengan sistem terbuka seperti saat ini membuka celah penyimpangan sehingga tepat sasaran.
"Subsidi BBM terbuka seperti saat ini belum menyasar orang-orang yang berhak, ini jadi bahan pemikiran di Kementerian ESDM, BPH Migas dan Kemenkeu. Saya kira bagaimana cara kita agar subsidi BBM ini tepat sasaran," kata Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman dalam Diskusi bertajuk Subsidi Energi BBM untuk Siapa, Kamis (1/9/2022).
Dia mengatakan pendataan yang dilakukan Pertamina melalui MyPertamina salah satu opsi agar penyaluran BBM subsidi tepat sasaran. "MyPertamina lebih siap untuk meminimalisir ketidaktepatan subsidi yang diberikan kepada masyarakat," terangnya.
Dia mengakui sistem pendaftaran MyPertamina masih belum maksimal, baru sekitar 1 juta orang yang mendaftar. "Memang karena Perpres belum keluar, kalau sudah ada ketentuannya mana yang dibatasi, nanti promosi atau pendaftaran tentu akan dilakukan lebih masif," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Hery Susanto mengatakan aplikasi MyPertamina merupakan salah satu terobosan digitalisasi. Namun, pelaksanaan di lapangan masih belum tepat sasaran. Hal ini didapatkan dari proses asesmen yang dilakukan oleh Ombudsman. Di sisi lain, pelaksanaan MyPertamina ini masih terbatas di sebagian kecil SPBU di daerah-daerah besar.
"Dalam catatan Ombudsman sebarannya memang sudah 10 provinsi, dan belum semua kabupaten kota, dan jauh dari basis perekonomian rakyat di level bawah," kata dia.
Menurut dia, masalah yang ditemukan Ombudsman ternyata keterbatasan pengetahuan dari kelompok kecil untuk mendaftar melalui MyPertamina. Hal ini menjadi alasan bahwa sosialisasi harus dilakukan lebih masif.
Sementara itu, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan, ada tiga pijakan dasar untuk pengaturan masalah subsidi BBM secara keseluruhan. Pertama, UU APBN. Saat ini pemerintah bersama DPR sedang membahas RAPBN 2023.
Menurut dia, di UU APBN itu hanya mengatur level yang terlalu makro, tidak spesifik. Misalnya indikator pada siapa yang berhak subsidi, yaitu masyarakat miskin, maka harus disasasr langsung. Di negara lain seperti di Malaysia 40% penduduk kelas bawah. Sekitar 110 juta penduduk Indonesia berhak menerima subsidi.
Kedua, Peraturan Presiden No. 191 tahun 2014. Perpres itu harus detail tidak boleh mengambang baik indikator dan siapa yang berhak menerima subsidi. "Jika melihat Perpres ini sulit sekali menerjemahkan dan mengawasi kendaraan yang lalu lalang, maka itu perpres itu harus lebih detail. Ketiga, institusi pengawasnya," kata dia.
"Subsidi BBM terbuka seperti saat ini belum menyasar orang-orang yang berhak, ini jadi bahan pemikiran di Kementerian ESDM, BPH Migas dan Kemenkeu. Saya kira bagaimana cara kita agar subsidi BBM ini tepat sasaran," kata Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman dalam Diskusi bertajuk Subsidi Energi BBM untuk Siapa, Kamis (1/9/2022).
Dia mengatakan pendataan yang dilakukan Pertamina melalui MyPertamina salah satu opsi agar penyaluran BBM subsidi tepat sasaran. "MyPertamina lebih siap untuk meminimalisir ketidaktepatan subsidi yang diberikan kepada masyarakat," terangnya.
Dia mengakui sistem pendaftaran MyPertamina masih belum maksimal, baru sekitar 1 juta orang yang mendaftar. "Memang karena Perpres belum keluar, kalau sudah ada ketentuannya mana yang dibatasi, nanti promosi atau pendaftaran tentu akan dilakukan lebih masif," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Hery Susanto mengatakan aplikasi MyPertamina merupakan salah satu terobosan digitalisasi. Namun, pelaksanaan di lapangan masih belum tepat sasaran. Hal ini didapatkan dari proses asesmen yang dilakukan oleh Ombudsman. Di sisi lain, pelaksanaan MyPertamina ini masih terbatas di sebagian kecil SPBU di daerah-daerah besar.
"Dalam catatan Ombudsman sebarannya memang sudah 10 provinsi, dan belum semua kabupaten kota, dan jauh dari basis perekonomian rakyat di level bawah," kata dia.
Menurut dia, masalah yang ditemukan Ombudsman ternyata keterbatasan pengetahuan dari kelompok kecil untuk mendaftar melalui MyPertamina. Hal ini menjadi alasan bahwa sosialisasi harus dilakukan lebih masif.
Sementara itu, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan, ada tiga pijakan dasar untuk pengaturan masalah subsidi BBM secara keseluruhan. Pertama, UU APBN. Saat ini pemerintah bersama DPR sedang membahas RAPBN 2023.
Menurut dia, di UU APBN itu hanya mengatur level yang terlalu makro, tidak spesifik. Misalnya indikator pada siapa yang berhak subsidi, yaitu masyarakat miskin, maka harus disasasr langsung. Di negara lain seperti di Malaysia 40% penduduk kelas bawah. Sekitar 110 juta penduduk Indonesia berhak menerima subsidi.
Kedua, Peraturan Presiden No. 191 tahun 2014. Perpres itu harus detail tidak boleh mengambang baik indikator dan siapa yang berhak menerima subsidi. "Jika melihat Perpres ini sulit sekali menerjemahkan dan mengawasi kendaraan yang lalu lalang, maka itu perpres itu harus lebih detail. Ketiga, institusi pengawasnya," kata dia.
(nng)
Lihat Juga :
tulis komentar anda