Properti Versus Saham

Minggu, 13 September 2015 - 10:25 WIB
Properti Versus Saham
Properti Versus Saham
A A A
Meskipun memiliki banyak kesamaan, investasi properti dan saham juga sarat dengan sejumlah perbedaan.

Karena perbedaan- perbedaan inilah, investor properti belum tentu mempunyai saham dalam portofolionya dan investor saham mungkin saja tidak nyaman dengan properti atau terkendala untuk menjadi investor properti. Inilah perbedaan lengkap properti dan saham sebagai alternatif investasi.

Minimal Dana

Pertama, investasi properti memerlukan dana minimal ratusan juta rupiah, sedangkan investasi saham dapat dimulai siapa pun yang punya kas belasan hingga puluhan juta rupiah. Beberapa perusahaan sekuritas yang membuka kantor cabangnya di kampus bahkan hanya mempersyaratkan modal Rp5 juta atau lebih kecil untuk mahasiswa yang ingin membuka akun saham. Dengan keperluan dana yang lebih sedikit, mestinya lebih banyak investor saham daripada investor properti. Kenyataannya, masih lebih banyak investor properti daripada saham di negeri ini.

Likuid dan Mudah via Bursa

Kedua, ada bursa harian yang transparan untuk jual-beli saham yang tidak tersedia untuk properti. Pasar sekunder properti juga ada, tetapi sifatnya tidak seterbuka seperti pasar saham. Maksudnya, jual-beli properti tidak dilakukan melalui sebuah pasar yang terorganisasi dan selalu melibatkan seorang notaris.

Sementara saham dapat diperjualbelikan hanya dalam hitungan detik, karena melalui komputer meja atau jinjing kita atau bahkan telepon pintar kita. Ketiga, akibat diperdagangkan di bursa, saham jauh lebih likuid daripada properti terutama untuk saham-saham LQ-45 dan berkapitalisasi besar yang menjadi koleksi investor institusi. Ini karena pembeli dan penjual saham tidak perlu bertemu dan tawarmenawar seperti dalam transaksi properti. Penjual saham tidak mengenal siapa saja investor yang membeli sahamnya. Pembeli saham pun tidak tahu penjual sahamnya.

Biaya Transaksi

Keempat, sehubungan dengan tersedianya bursa yang likuid, biaya transaksi investasi saham menjadi begitu rendahnya yaitu sekitar 0,15% untuk pembeli dan 0,25% untuk penjual. Tambahan 0,1% untuk penjual sejatinya adalah pajak penghasilan yang bersifat final. Bandingkan dengan biaya transaksi beli dan jual untuk properti yang sekitar 2,5% hingga 5% untuk transaksi beli dan jual masing-masingnya sehingga total dapat mencapai 10%.

Biaya-biaya itu adalah bea pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak pertambahan nilai (PPN), biaya notaris, dan pajak penghasilan (PPh). Masih ada pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk transaksi melebih nilai tertentu.

Volatilitas

Kelima, diperdagangkannya saham di bursa juga mempunyai efek negatif yaitu membuat harganya menjadi volatil. IHSG yang mencerminkan harga ratarata tertimbang untuk seluruh saham di BEI pernah merosot 50,6% sepanjang tahun 2008, turun 1% selama tahun 2013 dan -8,7% untuk tahun ini (year to date ) dari 5.227 menjadi 4.770. Tetapi IHSG melesat 87% di tahun 2009 dan naik 46% pada tahun 2010. Harga properti tidak turun-naik sebesar ini, tetapi cenderung mengalami kenaikan belasan hingga dua puluhan persen setiap tahunnya hingga tahun lalu termasuk tahun 2008.

Dominasi Investor Asing

Keenam, investor asing mendominasi kepemilikan saham yang diperdagangkan di bursa kita yaitu sekitar 64%. Sementara hingga pertengahan tahun ini, hak milik untuk properti di Indonesia tertutup untuk orang asing. Baru mulai bulan lalu investor asing diperbolehkan memiliki apartemen berharga minimal Rp5 miliar, untuk meramaikan pasar properti kelas atas. Namun, hingga saat ini masih belum ada peraturan dan ketentuan teknis untuk merealisasikan kepemilikan asing ini.

Dijual Sebagian

Ketujuh, investor yang sudah memiliki properti hampir pasti tidak bisa menjual aset investasinya sepotongsepotong. Maksudnya, sebuah rumah tidak mungkin dipreteli bagian demi bagian menjadi pintu, jendela, teras, kamar tidur, dapur, teras, dan garasi untuk dijual. Ini berbeda dengan saham yang kini dapat dijual dalam satuan seratus saham karena satu lot terdiri atas 100 saham. Jika Anda telah membeli 1.000 lot saham BBRI misalnya, Anda dapat menjualnya 1.000 kali masingmasing satu lot atau sekali langsung 1.000 lot atau menjual beberapa kali dengan jumlah lot yang berbeda-beda masing-masingnya.

Bisa Jual Dulu

Kedelapan, pasar saham memungkinkan seorang investor untuk melakukan short sale, yaitu jual dulu baru beli kemudian. Investor melakukan short sale ketika memprediksi harga sebuah saham akan turun dalam beberapa hari atau minggu ke depan. Short sale hanya mungkin dilakukan untuk saham dan produk-produk investasi lainnya di pasar keuangan karena bersifat fungible atau mudah dipertukarkan.

Ketika seorang investor melakukan short sale , sebenarnya dia meminjam saham milik orang lain. Pada waktunya, utang saham ini mesti dibayar kembali. Saham lama yang dipinjam akan dapat dengan mudah dibayarkan karena tidak ada karakteristik khusus yang melekat padanya. Satu lot saham BBCA yang dibeli dua tahun lalu sama karakteristiknya dengan satu lot BBCA yang dibeli minggu ini.

Tersedianya kesempatan short sale untuk saham membuat harga saham lebih sulit mengalami bubble (ketinggian) dibandingkan harga properti. Setiap kali sebuah harga saham membumbung tinggi, akan datang para arbirager yang akan mengeksploitasinya.

Di pasar properti short sale tidak dapat dilakukan karena properti tidak fungible alias khas atau berbeda satu sama lain. Kesimpulannya, investasi properti dan saham berbeda sedikitnya dalam delapan hal.

Budi Frensidy
Staf Pengajar FEB-UI dan Perencana Keuangan Independen @BudiFrensidy
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5790 seconds (0.1#10.140)