Bahlil Tegaskan Perdagangan Karbon di Indonesia Terbuka tapi Wajib Daftar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan, kebijakan perdagangan karbon di Indonesia bersifat terbuka namun harus teregistrasi. Hal ini sudah diputuskan dalam rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) .
“Sudah diputuskan bahwa karbon di Indonesia sifatnya itu terbuka tapi harus teregistrasi,” ungkao Bahlil dalam keterangannya, dilansir dari laman Sekretariat Kabinet, Sabtu (6/5/2023).
Menurut dia, mekanisme tata kelola perdagangan karbon di Indonesia berada di dalam bursa karbon yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan untuk registrasi akan dilakukan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Registrasinya cuma sekali doang. Sebelum masuk ke bursa karbon diregistrasi dulu oleh LHK, setelah itu baru bisa melakukan perdagangan di bursa karbon. Setelah melakukan perdagangan bursa karbon, dia bisa melakukan trading seperti trading saham biasa,” urainya.
Selain itu, kata Bahlil, pemerintah juga memutuskan untuk melakukan penataan perizinan di wilayah-wilayah konsesi seperti hutan lindung dan hutan konservasi. Diabilang, saat ini konsesi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah.
“Nanti semuanya dikendalikan, akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah supaya karbon yang pergi ke luar negeri, bisa dijual, kalau tidak tata kelola dibuat sertifikasi, kita tidak akan pernah tahu berapa yang pergi. Kemudian ini juga menjadi sumber pendapatan negara kita,” bebernya,
Lebih lanjut Bahlil mengungkapkan, dalam rapat bersama dengan Presiden Jokowi, pemerintah juga menyepakati bahwa harga karbon di Indonesia tidak boleh dijual di pasar karbon yang lain di luar negeri.
Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) itu juga menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin potensi penangkapan karbondioksida di Indonesia yang sangat besar justru dikapitalisasi oleh negara tetangga.
“Jangan negara tetangga yang tidak mempunyai penghasil karbon, tidak punya tempat CO2, tapi dia membuka bursa karbon itu, kita tidak ingin. Barang, aset milik negara harus dikelola maksimal oleh negara dan harus pendapatan untuk negara,” tegasnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa perdagangan karbon akan menggunakan sistem berbasis elektronik yang memudahkan dalam melakukan penelusuran.
“Perdagangannya kan menggunakan elektronik, electronic trading system, dan berbasis kepada teknologi yang tentunya bisa melakukan traceability terhadap situasi karbon itu berasal dari hutan yang mana, ataupun industri yang mana, ataupun energi yang mana. Sehingga walaupun diperdagangkan berkali-kali, itu asal-usul dan traceability-nya itu tetap ada,” jelas dia.
Sebagai informasi, Pemerintah Indonesia menetapkan target nationally determined contribution (NDC) sebesar 29-41% pada tahun 2030 serta net zero emmision (NZE) atau nol emisi pada 2060.
Dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri, dan sebesar 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030. “Indonesia kan punya NDC, target NDC. Nah, perdagangan karbon ini tentu juga untuk mengukur kepatuhan Indonesia terhadap NDC,” ucap Airlangga.
“Sudah diputuskan bahwa karbon di Indonesia sifatnya itu terbuka tapi harus teregistrasi,” ungkao Bahlil dalam keterangannya, dilansir dari laman Sekretariat Kabinet, Sabtu (6/5/2023).
Menurut dia, mekanisme tata kelola perdagangan karbon di Indonesia berada di dalam bursa karbon yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan untuk registrasi akan dilakukan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Registrasinya cuma sekali doang. Sebelum masuk ke bursa karbon diregistrasi dulu oleh LHK, setelah itu baru bisa melakukan perdagangan di bursa karbon. Setelah melakukan perdagangan bursa karbon, dia bisa melakukan trading seperti trading saham biasa,” urainya.
Selain itu, kata Bahlil, pemerintah juga memutuskan untuk melakukan penataan perizinan di wilayah-wilayah konsesi seperti hutan lindung dan hutan konservasi. Diabilang, saat ini konsesi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah.
“Nanti semuanya dikendalikan, akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah supaya karbon yang pergi ke luar negeri, bisa dijual, kalau tidak tata kelola dibuat sertifikasi, kita tidak akan pernah tahu berapa yang pergi. Kemudian ini juga menjadi sumber pendapatan negara kita,” bebernya,
Lebih lanjut Bahlil mengungkapkan, dalam rapat bersama dengan Presiden Jokowi, pemerintah juga menyepakati bahwa harga karbon di Indonesia tidak boleh dijual di pasar karbon yang lain di luar negeri.
Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) itu juga menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin potensi penangkapan karbondioksida di Indonesia yang sangat besar justru dikapitalisasi oleh negara tetangga.
“Jangan negara tetangga yang tidak mempunyai penghasil karbon, tidak punya tempat CO2, tapi dia membuka bursa karbon itu, kita tidak ingin. Barang, aset milik negara harus dikelola maksimal oleh negara dan harus pendapatan untuk negara,” tegasnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa perdagangan karbon akan menggunakan sistem berbasis elektronik yang memudahkan dalam melakukan penelusuran.
“Perdagangannya kan menggunakan elektronik, electronic trading system, dan berbasis kepada teknologi yang tentunya bisa melakukan traceability terhadap situasi karbon itu berasal dari hutan yang mana, ataupun industri yang mana, ataupun energi yang mana. Sehingga walaupun diperdagangkan berkali-kali, itu asal-usul dan traceability-nya itu tetap ada,” jelas dia.
Sebagai informasi, Pemerintah Indonesia menetapkan target nationally determined contribution (NDC) sebesar 29-41% pada tahun 2030 serta net zero emmision (NZE) atau nol emisi pada 2060.
Dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri, dan sebesar 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030. “Indonesia kan punya NDC, target NDC. Nah, perdagangan karbon ini tentu juga untuk mengukur kepatuhan Indonesia terhadap NDC,” ucap Airlangga.
(ind)