Waspadai Euforia Saham Farmasi Dampak dari Uji Klinis Vaksin Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Uji klinis vaksin Covid-19 langsung menggenjot harga saham-saham emiten farmasi , terutama PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Indofarma (INAF) yang naik hampir 100% dalam waktu kurang dari sebulan. Euforia ini harus diwaspadai pelaku pasar dari aksi ambil untung (profit taking).
Proses dan protokol fase uji klinis vaksin Covid-19 produksi Sinovac Biotech, Ltd asal China yang telah tiba di Indonesia akan mendapatkan pendampingan ketat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Nantinya vaksin tersebut akan diujicobakan pada sejumlah sampel di Tanah Air. Apabila dinyatakan lolos, BPOM akan mempercepat pemberian izin edarnya.
Jika uji klinis tahap ketiga ini berhasil, produksinya akan dilakukan oleh PT Bio Farma (Persero) yang ditargetkan terealisasi pada awal tahun depan. Berdasarkan laporan perseroan, Bio Farma akan memproduksi vaksin ini dengan kapasitas 100 juta dosis per tahun, bahkan bisa ditingkatkan jadi 250 juta dosis. (Baca: Pandemi Bikin Industri Farmasi dan Alkes Masuk Making 4.0)
Kabar ini tentu saja mengerek harga saham dua anak usaha Bio Farma, yaitu PT Kimia Farma (KAEF) dan PT Indofarma (INAF). Seperti diketahui, kepemilikan Bio Farma pada saham KAEF sebesar 90,03% dan sisanya 9,97% dimiliki publik. Adapun kepemilikan Bio Farma pada saham INAF adalah sebesar 80,68%, 13,91% Asabri, dan sisanya 5,4% milik publik.
Jika kita menelisik, pergerakan harga saham KAEF dan INAF melonjak hampir 100% dalam tempo kurang dari sebulan. Pada 1 Juli nilai harga saham Indofarma diperdagangkan pada kisaran Rp985 per saham, tetapi kemarin emiten dengan kode saham INAF tersebut tembus hingga Rp1.880 per saham. Begitu pula dengan saham KAEF yang melesat dari Rp1.100 pada awal Juli menjadi Rp2.140 per saham.
Tidak saja terjadi pada Indofarma dan Kimia Farma, saham-saham emiten farmasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) lainnya pun mendadak kejatuhan cuan karena mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Hal tersebut diungkapkan Head of Research MNC Sekuritas Edwin Sebayang.
Menurut Edwin, kenaikan saham farmasi lebih disebabkan adanya momentum. Ditambah lagi ada sentimen positif karena vaksin dikabarkan siap diproduksi massal. “Jadi ini lebih pada momentum dan lebih pada sentimen,” ujarnya di Jakarta kemarin. (Baca juga: 3 Pegawai Positif Covid-19, Kantor Pusat RRI Lockdown)
Dirasa wajar jika saham farmasi naik begitu cepat ketika vaksin sedang diuji coba. Pasalnya Indonesia menjadi pasar yang cukup besar jika nantinya vaksin ini dijualbelikan. “Hanya karena vaksin dan Indonesia kan sebagai pangsa pasar yang besar sehingga dengan adanya uji coba tersebut dan memang market kita besar, nanti bisa mendorong kenaikan kinerja dari emiten tersebut,” jelasnya.
Saham-saham farmasi ini bisa menjadi alternatif pilihan bagi investor pasar modal. Apalagi saham-saham ini mendadak mengalami kenaikan setelah pengumuman uji klinis vaksin korona. Meski demikian, bagi investor yang hendak membeli saham farmasi, disarankan secara short term atau harian. Pasalnya saham-saham farmasi mengalami kenaikan cukup tinggi. “Trading bisa melakukan buying, tapi short term atau day trade karena kan naiknya gila-gilaan. 20%, 24% auto-reject,” kata Edwin.
Alasan mengapa transaksi dilakukan secara harian, karena euforia saham ini diprediksi hanya hingga pekan depan. Sebab valuasinya sudah terlalu cepat dan sudah sangat tinggi. Ditambah lagi vaksin ini baru di tahap uji coba dan belum diketahui tingkat keberhasilannya. Produksinya juga baru akan dilakukan pada tahun depan dan bukan tahun ini. (Baca juga: Ini Fakta Menarik Vaksin Buatan Oxford yang Menunjukan Hasil Menjanjikan)
Para pelaku pasar harus benar-benar memperhatikan batas keuntungan yang ingin didapatkan. Jangan sampai niat untuk investasi mendapatkan cuan justru berakhir merugi karena saham perusahaan tersebut turun kembali karena aksi ambil untung (profit taking).
Edwin pun memberikan sedikit tips, yaitu kita harus memperhatikan berapa batas keuntungan yang ingin didapat melalui investasi saham farmasi. Idealnya jika keuntungan sudah berada di angka 10% atau lebih hendaknya dijual.
Setelahnya investor bisa kembali membeli saham farmasi tersebut. Namun harus diperhatikan, aksi beli saham dilakukan ketika posisi saham berada di angka yang rendah. “Kalau berapa persen keuntungan tergantung investor berapa persen targetnya. Tapi sekarang sih kalau sudah di atas 10% keuntungan sebaiknya melakukan transaksi jual minimal 10%,” ujarnya. (Lihat videonya: Viral di Media Sosial, Bocah di Bali Terjepit Kepalanya di Tiang Listrik)
Senada dengan Edwin, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan, tren kenaikan ini akan terus berlanjut selama tidak ada berita-berita sumbang lain yang bisa membuat saham farmasi ini turun.
“Pasar men-price-in berita baik ini. Selama tidak ada berita lain, tren kenaikan ini akan berlanjut diselingi juga profit taking dan isu-isu lain,” sebutnya. (Fahreza Rizky/Giri Hartomo)
Proses dan protokol fase uji klinis vaksin Covid-19 produksi Sinovac Biotech, Ltd asal China yang telah tiba di Indonesia akan mendapatkan pendampingan ketat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Nantinya vaksin tersebut akan diujicobakan pada sejumlah sampel di Tanah Air. Apabila dinyatakan lolos, BPOM akan mempercepat pemberian izin edarnya.
Jika uji klinis tahap ketiga ini berhasil, produksinya akan dilakukan oleh PT Bio Farma (Persero) yang ditargetkan terealisasi pada awal tahun depan. Berdasarkan laporan perseroan, Bio Farma akan memproduksi vaksin ini dengan kapasitas 100 juta dosis per tahun, bahkan bisa ditingkatkan jadi 250 juta dosis. (Baca: Pandemi Bikin Industri Farmasi dan Alkes Masuk Making 4.0)
Kabar ini tentu saja mengerek harga saham dua anak usaha Bio Farma, yaitu PT Kimia Farma (KAEF) dan PT Indofarma (INAF). Seperti diketahui, kepemilikan Bio Farma pada saham KAEF sebesar 90,03% dan sisanya 9,97% dimiliki publik. Adapun kepemilikan Bio Farma pada saham INAF adalah sebesar 80,68%, 13,91% Asabri, dan sisanya 5,4% milik publik.
Jika kita menelisik, pergerakan harga saham KAEF dan INAF melonjak hampir 100% dalam tempo kurang dari sebulan. Pada 1 Juli nilai harga saham Indofarma diperdagangkan pada kisaran Rp985 per saham, tetapi kemarin emiten dengan kode saham INAF tersebut tembus hingga Rp1.880 per saham. Begitu pula dengan saham KAEF yang melesat dari Rp1.100 pada awal Juli menjadi Rp2.140 per saham.
Tidak saja terjadi pada Indofarma dan Kimia Farma, saham-saham emiten farmasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) lainnya pun mendadak kejatuhan cuan karena mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Hal tersebut diungkapkan Head of Research MNC Sekuritas Edwin Sebayang.
Menurut Edwin, kenaikan saham farmasi lebih disebabkan adanya momentum. Ditambah lagi ada sentimen positif karena vaksin dikabarkan siap diproduksi massal. “Jadi ini lebih pada momentum dan lebih pada sentimen,” ujarnya di Jakarta kemarin. (Baca juga: 3 Pegawai Positif Covid-19, Kantor Pusat RRI Lockdown)
Dirasa wajar jika saham farmasi naik begitu cepat ketika vaksin sedang diuji coba. Pasalnya Indonesia menjadi pasar yang cukup besar jika nantinya vaksin ini dijualbelikan. “Hanya karena vaksin dan Indonesia kan sebagai pangsa pasar yang besar sehingga dengan adanya uji coba tersebut dan memang market kita besar, nanti bisa mendorong kenaikan kinerja dari emiten tersebut,” jelasnya.
Saham-saham farmasi ini bisa menjadi alternatif pilihan bagi investor pasar modal. Apalagi saham-saham ini mendadak mengalami kenaikan setelah pengumuman uji klinis vaksin korona. Meski demikian, bagi investor yang hendak membeli saham farmasi, disarankan secara short term atau harian. Pasalnya saham-saham farmasi mengalami kenaikan cukup tinggi. “Trading bisa melakukan buying, tapi short term atau day trade karena kan naiknya gila-gilaan. 20%, 24% auto-reject,” kata Edwin.
Alasan mengapa transaksi dilakukan secara harian, karena euforia saham ini diprediksi hanya hingga pekan depan. Sebab valuasinya sudah terlalu cepat dan sudah sangat tinggi. Ditambah lagi vaksin ini baru di tahap uji coba dan belum diketahui tingkat keberhasilannya. Produksinya juga baru akan dilakukan pada tahun depan dan bukan tahun ini. (Baca juga: Ini Fakta Menarik Vaksin Buatan Oxford yang Menunjukan Hasil Menjanjikan)
Para pelaku pasar harus benar-benar memperhatikan batas keuntungan yang ingin didapatkan. Jangan sampai niat untuk investasi mendapatkan cuan justru berakhir merugi karena saham perusahaan tersebut turun kembali karena aksi ambil untung (profit taking).
Edwin pun memberikan sedikit tips, yaitu kita harus memperhatikan berapa batas keuntungan yang ingin didapat melalui investasi saham farmasi. Idealnya jika keuntungan sudah berada di angka 10% atau lebih hendaknya dijual.
Setelahnya investor bisa kembali membeli saham farmasi tersebut. Namun harus diperhatikan, aksi beli saham dilakukan ketika posisi saham berada di angka yang rendah. “Kalau berapa persen keuntungan tergantung investor berapa persen targetnya. Tapi sekarang sih kalau sudah di atas 10% keuntungan sebaiknya melakukan transaksi jual minimal 10%,” ujarnya. (Lihat videonya: Viral di Media Sosial, Bocah di Bali Terjepit Kepalanya di Tiang Listrik)
Senada dengan Edwin, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan, tren kenaikan ini akan terus berlanjut selama tidak ada berita-berita sumbang lain yang bisa membuat saham farmasi ini turun.
“Pasar men-price-in berita baik ini. Selama tidak ada berita lain, tren kenaikan ini akan berlanjut diselingi juga profit taking dan isu-isu lain,” sebutnya. (Fahreza Rizky/Giri Hartomo)
(ysw)