Pamer

Senin, 11 Juli 2016 - 06:06 WIB
Pamer
Pamer
A A A
Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady

TAK seperti kebanyakan pemudik, selama lebih dari 20 tahun menjalankan ritual mudik di setiap hari Lebaran, saya punya dua misi. Pertama, tentu untuk bersilaturahmi dengan seluruh anggota keluarga di kampung. Kedua, yang justru mengasyikkan adalah mengamati orang-orang mudik.

Tahun ini ritual mengamati orang mudik pun saya lakukan dengan khusyuk, mulai dari saat hanyut dalam perjalanan mudik penuh perjuangan di jalur Pantura, saat penuh keharuan bersilaturahmi dengan seluruh anak-kerabat di kampung, hingga kembali terbantai kemacetan selama perjalanan balik ke Jakarta.

The Show Time

Mengamati perilaku para pemudik di kampung, saya sampai pada kesimpulan bahwa tradisi mudik adalah medium yang pas dan efektif untuk pamer ke anggota keluarga, kerabat, dan seluruh tetangga di kampung. Mudik adalah momentum berharga untuk tebar pesona. "It’s the show time.” Kenapa pamer? Karena merantau ke Jakarta telah menjadi simbol kehidupan yang lebih baik: lebih sukses, lebih kaya, lebih sejahtera, lebih terhormat, lebih modern, lebih urban (tidak udik), lebih keren.

Karena itu ketika mereka kembali ke kampung, simbol-simbol dan atribut-atribut kesuksesan itu harus dipertunjukkan. Syukur alhamdulillah, tradisi mudik memfasilitasi mereka untuk bisa memamerkan kesuksesan. Tentu saja tak semua perantau menuai kesuksesan dan kehidupan yang lebih baik di Jakarta. Justru sebaliknya, banyak dari mereka yang justru terpuruk begitu mengadu nasib di Jakarta. Tapi itu tak menjadi masalah.

Citra bahwa mereka lebih sukses di Jakarta haruslah habis-habisan ditegakkan. Demi membangun citra sukses ini, kalau perlu mereka ngutang atau ”menyekolahkan” sepeda motornya ke Pegadaian. Ada tiga jenis pamer yang dilakukan para pemudik selama mereka di kampung. Coba kita lihat satu per satu.

Pamer Kesuksesan


Ukuran kesuksesan di Jakarta biasanya tak jauh dari dua hal, yaitu pekerjaan yang lebih baik-terhormat-elite dan penghasilan yang lebih tinggi. Menjadi buruh pabrik sepatu di Tangerang tentu saja lebih mending ketimbang berkubang mengerjakan sawah di kampung. Karena itu, mereka yang menjadi buruh pabrik bisa memamerkan kehebatan pekerjaan mereka ke kerabat dan tetangga di kampung, walaupun gaji sedikit di atas UMR.

Di kalangan pekerja migran, pamer kesuksesan juga bisa diwujudkan dalam bentuk besarnya uang kiriman ke keluarga di kampung. Kirimannya makin besar, maka tentu saja itu indikasi kita makin sukses. Mereka yang lebih beruntung menjadi pekerja kantoran di Jakarta lebih mudah lagi memamerkan kesuksesannya. Mereka tinggal menyebutkan dirinya bekerja di Perusahaan X, Bank Y, atau Departemen Z yang berkantor di kawasan Segitiga Emas Jakarta, bahkan ketika kerabat dan tetangga di kampung tidak menanyakan.

Namanya orang kampung, mendengar Perusahaan X, Bank Y, atau Departemen Z yang memang terkenal karena sering muncul di TV dan koran, mereka langsung mengira siapa pun yang bekerja di situ pasti orang sukses: kerjanya enak dan gajinya selangit.

Pamer Gaya Hidup

Hidup di Jakarta memang sebuah impian karena kita mendapatkan segala kemewahan hidup yang tidak ada di kampung. Kita bisa merasakan nikmatnya fast food McD atau KFC; belanja supernyaman, supermudah, dan supersejuk di Carrefour; window shopping akhir pekan di mal-mal yang bertabur merek-merek hebat; berlibur ke Dufan, Taman Mini, atau melancong ke Trans Studio di Bandung.

Ini semua menjadi sebuah gaya hidup yang kita impikan. Hidup di Jakarta juga ditandai dengan kehidupan yang selalu sibuk, serba penting, serba terjadwal, serba cepat, serba praktis, serba efisien. Ini berbeda dengan di kampung yang serba lambat dan serba tidak penting. Ini semua, sekali lagi, menjadi gaya hidup Jakarta yang sudah terlanjur dianggap sebagai model gaya hidup ”impian” yang selalu kita dambakan.

Sadar maupun tidak sadar gaya hidup impian ini kita pamerkan kepada kerabat dan tetangga di kampung selama kita mudik. Karena itu, tak mengherankan jika arus orang kampung yang pergi mengadu nasib ke Jakarta kian bertambah dari tahun ke tahun bersamaan dengan kembalinya para pemudik ini ke Jakarta.

Pamer Hedonisme

Jakarta adalah tempat yang ideal bagi tumbuh suburnya hedonisme: berbelanja membabi buta, berbusana yang selalu mengikuti tren, konsumsi yang berlebihan, unjuk kemewahan, dan sebagainya. Celakanya, hedonisme Jakarta ini dengan sangat pas digambarkan oleh adegan-adegan dalam sinetron kita.

Tak usah menunggu bertahun-tahun, dalam waktu satu-dua tahun tinggal di Jakarta, penyakit hedonisme Jakarta ini sudah mulai merasuki sanubari tanpa kita bisa menghentikannya. Selama mudik, hedonisme Jakarta ini kita pamerkan ke kerabat dan tetangga di kampung dalam beragam bentuk. Saat kita mengajak keluarga atau kerabat berbelanja baju di toko atau pasar.

Saat kita membelikan berbagai perlengkapan elektronik untuk bapak-ibu di kampung mulai dari TV flat, lemari es, hingga rice cooker. Saat kita mentraktir mereka makan di warung terbaik di kampung. Hedonisme juga bisa dipamerkan melalui perhiasan yang kita pakai, gadget termutakhir yang kita beli, atau baju glamor yang kita kenakan selama di kampung.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7495 seconds (0.1#10.140)