Survei: Gangguan Bisnis di Prancis Lebih Berisiko dari Afganistan

Minggu, 07 Agustus 2016 - 06:26 WIB
Survei: Gangguan Bisnis di Prancis Lebih Berisiko dari Afganistan
Survei: Gangguan Bisnis di Prancis Lebih Berisiko dari Afganistan
A A A
NEW YORK - Prancis bukan lagi seperti Prancis yang dulu. Demikian komentar Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump menaggapi serangan teroris yang kerap berulang di negerinya Napoleon Bonaparte. Aksi terorisme berisiko menganggu aktivitas bisnis, selain aksi kekerasan lainnya dan pergolakan sosial.

Melansir Bloomberg, Sabtu (6/8/2016), perusahaan analisis risiko Verisk Maplecroft yang berbasis di London, Inggris, melakukan penelitian atas risiko dari gangguan bisnis di 200 negara. Penelitian ini, selain aksi terorisme juga meliputi aksi protes, demonstrasi massa, kekerasan etnis dan kekerasan atas nama agama.

Indikasi dalam survei ini juga menyangkut seberapa sering sebuah negara terjadi kerusuhan; dampak dari kerusuhan; kerusakan fasilitas sosial; instrumen yang digunakan pemerintah setempat dalam mengatasi ketidakpuasan dan kondisi ekonomi yang mendasarinya. Yaitu faktor biaya hidup, gaji pegawai, inflasi, harga bahan bakar dan harga makanan. Faktor-faktor tadi dianggap sebagai pemicu terjadinya gangguan sipil.

Segendang sepenarian dengan komentar Trump, indeks Verisk menempatkan Prancis di urutan ke-16 negara yang rentan terhadap gangguan bisnis. Tepat di belakang Argentina dan lebih tinggi dari Afganistan dan Mali, bekas koloni mereka di Afrika. Prancis menjadi satu-satunya negara Eropa yang berada di daftar 20 negara teratas yang “berisiko tinggi” terhadap gangguan bisnis.

Bahkan Yunani, yang masih belum pulih dari krisis ekonomi berada di peringkat 25. Sedangkan Jerman dan Inggris merupakan negara Eropa yang “berisiko rendah.”

“Perlu dicatat bahwa kerusuhan sipil tidak hanya terjadi di negara dengan kekerasan politik, seperti Suriah, Yaman dan Libya, juga India, Meksiko, Afrika Selatan, Prancis dan Brazil, yang berisiko karena kerapnya aksi protes dalam setahun terakhir,” demikian tulis Verisk seperti dilansir Bloomberg.

Lanjut lembaga itu, bila Afganistan dan Somalia disebut negara yang berbahaya bagi investasi bisnis adalah wajar, namun tidak dengan Prancis. Dengan infrastruktur yang mumpuni dibanding keduanya dan ekonomi yang lebih maju, serangan teror dan demo buruh memojokkan Prancis sebagai negara yang berisiko terhadap bisnis.

Tahun lalu, mogok buruh Air France imbas dari pemangkasan pekerja berbuntut kekerasan, yang menganggu aktivitas bisnis di Prancis.

Laporan Verisk juga menggambarkan perbedaan utama antara Prancis dan Jerman, menyangkut para pekerja. Kultur dan sejarah masa lalu (Revolusi Prancis) membuat masyarakat sipil dan serikat pekerja di Prancis cenderung mendorong demonstrasi sebagai protes.

Sebaliknya, Jerman dalam budaya politiknya mendukung kerja sama yang erat antara serikat pekerja, industri dan pemerintah.

Kendati Inggris disebut masih berada di zona aman, namun negeri Ratu Elizabeth II itu harus lebih waspada. “Dampak Brexit bisa berpotensi menyebabkan kerusuhan di Inggris,” kata Verisk. Kenaikan harga barang impor dikombinasikan dengan perlambatan ekonomi, kemungkinan bisa menjadi sumber utama ketidakpuasan masyarakat.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3423 seconds (0.1#10.140)