Menangkap Emisi Karbon, Penerapan CCUS Dinilai Mahal

Senin, 03 Juli 2023 - 17:47 WIB
loading...
Menangkap Emisi Karbon,...
Teknologi penangkap dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dinilai terlalu mahal. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memasukkan teknologi penangkap dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).



Sebelum ini pun, ESDM mendorong memasukkan proyek pembangkit gas fosil sebagai upaya menggantikan pembangkit diesel (PLTD) yang diklaim efektif untuk menurunkan emisi .

Rencana pemerintah menggunakan CCUS dalam upaya menurunkan emisi, dinilai tidaklah tepat dan malah menghambat Indonesia mencapai target dekarbonisasi . Pasalnya, teknologi ini terlalu mahal dan tidak terbukti efektif untuk menjadi solusi dekarbonisasi.

Ia bisa menjadi praktik “greenwashing” perusahaan energi dan rawan mengalihkan dana transisi energi, seperti JETP dari solusi yang lebih terbukti. Laporan IEEFA menyatakan, bahwa penggunaan CCUS untuk sektor kelistrikan tidak murah, untuk biaya “tangkapnya” saja mencapai 50-100 dollar/ton.



Karena itu adopsinya di dunia internasional lamban, dan penerapannya di beberapa tempat dinilai gagal akibat ongkos yang terlalu besar dan efisiensi yang rendah (lihat catatan).

“Ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak mendorong proyek CCUS, apalagi jika menggunakan pendanaan JETP, hal ini hanya akan menghasilkan kerugian ekonomi dan kegagalan dalam menangkap emisi karbon," ujar Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri.

Dana JETP diperoleh dari negara anggota International Partners Group (IPG) yang berkomitmen memberikan USD20 miliar dolar untuk membantu usaha dekarbonisasi Indonesia.

Sayangnya dalam perhelatan KTT G7 beberapa waktu lalu, Jepang selaku anggota IPG dan tuan rumah KTT malah mendorong Green Transformation (GX) Policy yang memuat perluasan penggunaan LNG, PLTU batubara dengan co-firing ammonia, hydrogen, hingga CCS.

“Kita patut mempertanyakan komitmen negara anggota IPG dalam keseriusan mengatasi krisis iklim karena komitmen tersebut masih belum tercermin dalam tindakan nyata malah sebaliknya sibuk mendorong penggunaan teknologi solusi palsu”, ujar Novita.

Teknologi CCUS yang mahal dan riskan, dinilai tidak seharusnya masuk dalam skema JETP. Diyakini hal itu berpotensi menghambat Indonesia dari target dekarbonisasi dan mencapai target Perjanjian Paris.

Novita menambahkan, begitu pula dalam ekstraksi gas dan minyak, yang notabene masih menyokong ekstraksi fosil, teknologi ini tidak seharusnya digunakan. Para ilmuwan IPCC telah memperingatkan, bahwa laju angka pemanasan global telah mencapai 1,1°C akibat penggunaan energi fosil, dan aksi iklim yang dilakukan masih belum cukup dalam mengatasi dampak krisis iklim.

Seketaris jenderal PBB Antònio Guterres⁶ menyatakan bahwa saat ini kita berjalan menuju bencana, begitu banyak industri energi kotor yang bersedia mempertaruhkan semuanya pada angan-angan, teknologi yang belum terbukti, dan solusi muluk daripada bertindak mengurangi produksi energi fosil itu sendiri.

“Aksi iklim seharusnya dilakukan secara serius, ambisius, tanpa memasukkan solusi palsu, dan dengan segera mengakhiri ketergantungan terhadap energi fosil untuk dapat memastikan masa depan berkelanjutan bumi yang layak ditinggali untuk semua," tegas Novita.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1252 seconds (0.1#10.140)