Belajar Value Investing 5.0

Minggu, 19 Maret 2017 - 14:15 WIB
Belajar Value Investing 5.0
Belajar Value Investing 5.0
A A A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School,
Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)



ADA seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Dia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Pada 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank.

Tujuh tahun kemudian, dia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini, dia telah sukses dan dijuluki Warren Buffett of Indonesia. Mari kita belajar sejurus dua jurus dari “pendekar saham” yang rendah hati ini.

Ciaaaaat! Dua minggu lalu kita sudah belajar bagaimana LKH memperoleh keuntungan 10 kali lipat dalam waktu dua tahun dari membeli saham PT Timah Tbk (TINS).

Sebelumnya, LKH pernah untung besar dari saham penyewaan alat berat (PT United Tractor Tbk) dan pembibitan ayam (PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk). Artikel tersebut bisa dibaca melalui SINDOnews dengan judul “Belajar Value Investing”. Kali ini kita akan belajar bagaimana LKH berinvestasi pada saham perusahaan di sektor jasa keuangan, yakni PT Panin Financial Tbk (PNLF).

PNLF yang dahulu dikenal sebagai PT Panin Life Tbk berdiri pada 1974 sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang asuransi jiwa dan telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia sejak 1983. PNLF juga memiliki 46% saham PT Panin Bank Tbk (PNBN). Jadi, dengan membeli saham PNLF, investor memiliki bisnis asuransi jiwa dan bank sekaligus.

LKH membeli 850 juta saham PNLF pada kuartal III/2011 dengan harga sekitar Rp100 per saham. Laporan keuangan PNLF per akhir Juni 2011 menunjukkan PNLF memiliki aset Rp9 triliun, total utang Rp3,1 triliun, dan total ekuitas Rp5,9 triliun. Jumlah saham beredar adalah 24 miliar. Artinya, nilai buku per saham saat itu adalah Rp241.

Padahal, harga pasar saham hanya Rp100 (sekitar 41% dari nilai buku). Kinerja keuangan PNLF termasuk bagus. Penghasilan bersih PNLF pada semester I/2011 adalah Rp1,5 triliun, laba bersihnya Rp308 miliar, dan laba per sahamnya Rp12,8. LKH tertarik membeli PNLF karena memiliki dua bisnis bagus, asuransi jiwa dan bank.

Dengan harga Rp100 dan prediksi laba per saham selama 2011 adalah Rp40, maka price earnings ratio (PER - harga saham dibagi laba bersih per saham) PNLF hanya 2,5 kali! Padahal, PER saham yang wajar adalah sekitar 15 kali. Menurut LKH, PNLF juga memiliki tata kelola korporasi yang baik. Selama ini PNLF tidak pernah melakukan transaksi afiliasi yang bisa merugikan pemegang saham minoritas. Manajemennya juga memiliki rekam jejak dan reputasi yang baik.

LKH menyimpan saham PNLF selama dua tahun dan menjualnya pada 2013 pada harga Rp260 dan meraup keuntungan sekitar Rp135 miliar. Setelah LKH menjual sahamnya, saham PNLF sempat turun dan naik hingga mencapai Rp350 pada 2015. Namun setelah itu turun kembali. Harga saham PNLF saat ini berada di sekitar Rp210. Mengapa LKH melepas saham PNLF yang baru naik 2,6 kali? Padahal, biasanya ia memperoleh keuntungan minimal sepuluh kali lipat dari investasi saham.

“Saya menjualnya karena sudah mendapatkan keuntungan yang lumayan. Tidak banyak investor yang bisa mendapatkan keuntungan dari saham PNLF,” kata LKH.

“Sebenarnya perusahaan ini bagus dan murah, tapi entah kenapa harga sahamnya susah naik. Berinvestasi di saham ini butuh kesabaran dan daya tahan.” Ada kejadian menarik yang dialami LKH saat berinvestasi pada saham PNLF.

Ketika dia sibuk membeli saham PNLF dalam jumlah besar, direktur perusahaan sekuritas (broker) yang membantu LKH bertransaksi saham PNLF memberi nasihat untuk tidak membeli lagi. “Kata sang direktur, saya sedang dikerjain,” kata LKH.

Rupanya sang direktur yang juga teman baiknya itu merasa kasihan kepada LKH. Dia beranggapan membeli saham PNLF adalah sebuah kekeliruan. Namun, LKH tidak menghiraukan nasihat tersebut.

“Masa membeli saham perusahaan yang bagus dan murah malah dianggap sedang dikerjain orang? Bisa membeli saham perusahaan bagus dengan harga murah itu berkah,” tegasnya.

LKH terus melanjutkan pembelian saham PNLF dan ketika harga sahamnya naik, barulah LKH berhenti membeli. Seperti gurunya, Warren Buffett, dalam membuat keputusan tentang saham, LKH berpikir secara independen.

Ia tidak terpengaruh oleh opini orang lain, meskipun dia adalah teman baiknya dan orang yang punya jam terbang tinggi di bursa saham. LKH juga tidak “serakah” untuk menunggu saham PNLF naik sangat tinggi. Ia mengenal baik perilaku saham PNLF yang harganya sulit naik. Maka, ketika keuntungan sudah dirasa cukup, ia memutuskan untuk keluar dari saham PNLF dan mengalokasikan dananya ke saham lain yang lebih prospektif.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.1605 seconds (0.1#10.140)