Kekuasaan, Politik, dan Hukum

Kamis, 14 September 2023 - 14:27 WIB
loading...
Kekuasaan, Politik, dan Hukum
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

TIGA pilar suatu negara hukum yang sangat berpengaruh adalah kekuasaan, politik dan hukum. Ketiganya saling berkelindan saling pengaruh satu sama lain antara tujuan yang menghalalkan sebagai cara atau menggunakan cara yang benar untuk mencapai tujuan, apapun tujuan tersebut direncanakan.

Di dalam memahami saling pengaruh ketiga pilar tersebut, diperlukan pemahaman mengenai makna ketiganya. Pada dasarnya, kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk memengaruhi orang lain.

Oleh sebab itu, bagi pemegang kuasa bisa dibilang memiliki tanggung jawab yang besar. Karena bukan hanya memberikan pengaruh terhadap seseorang, tetapi juga bisa memberikan pengaruh terhadap lingkungan.

Selain itu, pengaruh yang diberikan dari pemegang kuasa bisa berdasarkan keinginannya atau kepentingan untuk bersama (Wikipedia). Namun demikian kekuasaan itu harus dijalankan berdasarkan rambu-rambu hukum yang mengaturnya.

Sehingga kekuasaan berjalan secara teratur dan tertib. Tidak bersifat anarkhis. Sebaliknya, hukum tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya kekuasaan untuk mewujudkan hukum ke dalam kehidupan masyarakat karena jika itu yang diharapkan maka hukum itu hanya angan-angan.

Sedangkan, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Teori Klasik Aristoteles). Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik pemerintahan (Wikipedia).

Namun sering terjadi dalam praktik hukum, suatu kebijakan pemerintah dalam perdagangan misalnya tampak ada kecenderungan penegak hukum belum dapat membedakan antara kebijakan (politik) sebagai suatu tujuan bernegara (doelmatigheid) dan pelaksanaan dari kebijakan itu sendiri (rechtmatigheid).

Akibatnya, yang terjadi seorang menteri “terpaksa” didudukan sebagai tersangka/terdakwa perkara korupsi hanya karena pelaksanaan teknis dari kebijakan itu sendiri bermasalah mengandung unsur tindak pidana.

Dalam konteksi kasus sedemikian semakin jelas dalam kacamata penegak hukum, bahwa semakin tidak jelas lagi perbedaan status hukum seorang menteri dan seorang dirjen sebagai pelaksanaan teknis kebijakan menteri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masalah hukum mendesak dan di masa yang akan datang adalah bagaimana mendudukan peristiwa hukum terkait kebijakan negara dalam urusan tertentu akan tetapi di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut mengandung unsur-unsur pidana.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0906 seconds (0.1#10.140)