Pemerintah Blunder Terapkan Biaya Isi Ulang E-Money

Selasa, 19 September 2017 - 04:15 WIB
Pemerintah Blunder Terapkan Biaya Isi Ulang E-Money
Pemerintah Blunder Terapkan Biaya Isi Ulang E-Money
A A A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai kebijakan pemerintah menerapkan biaya isi ulang (top up) e-money oleh Bank Indonesia (BI) sebagai blunder, karena merugikan masyarakat pengguna. Penerapan ini terkait dengan rencana penggunaan uang non tunai dalam mengakses ruas tol di seluruh Indonesia.

Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan meilai kebijakan tersebut bertentangan dengan semangat dan visi cashless society yang gencar disosialisasikan BI, tentunya memberatkan rakyat. Dia juga menilai kontra produktif dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran yang transparan, efisien, minim risiko, aman, dan terhidar dari aksi penipuan.

"Kalau ada biaya top up justru bisa jadi blunder yang berujung pada distrust. Sebab, masyarakat yang mestinya mendapat insentif dari kelebihan-kelebihan e-money, justru mendapat disinsentif. Jelas, itu tidak elok," ucapnya melalui keterangan tertulis di Jakarta.

Menurutnya, jika kebijakan tersebut tidak ditarik, maka semangat GNNT dipandang sebagai alat perbankan untuk menarik dana masyarakat. Padahal, sambungnya, perbankan merupakan institusi dengan aset yang besar. "Image itu harus tetap dijaga. Jangan sampai rusak hanya gara-gara uang receh. Sekali lagi, kebijakan ini menguntungkan perbankan dan merugikan masyarakat," jelasnya.

Dia juga mengatakan pungutan sebesar Rp1.500-Rp2.000 yang diterapkan Bank Indonesia (BI) harus ditinjau ulang. Etos masyarakat yang menggunakan e-money harusnya dikuatkan dengan perlindungan hak-haknya.

"BI harus melihat masalah ini secara objektif. Kebijakan BI. Jangan bertindak seolah-olah menjadi bank komersil yang mencari untung. Sebab itu, BI mesti meninjau ulang kebijakan top up (isi ulang) tersebut," ujarnya.

Seperti diketahui, pengunaan uang elektronik tidak hanya untuk mengakses jalan tol, tapi juga untuk semua jenis transaksi. Bank-bank yang menerbitkan uang elektronik mendapatkan dana murah dan bahkan gratis, karena uang elektronik tak berbunga.

Hitungan kasar dari jumlah kartu elektronik yang beredar sebanyak 64 juta kartu dan setiap kartu diasumsikan terisi Rp50 ribu sudah terkumpul Rp3,2 triliun. Bukan masalah besar kecilnya, tapi esensinya uang yang mengendap di bank bisa diputar dan pemilik kartu elektronik tidak mendapat bunga.

"Jika uang elektronik hilang menjadi tanggung jawab pemilik. Tidak seperti kartu debit yang jika hilang, uangnya masih ada. Uang elektronik juga tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)," jelasnya.

Heri mengungkapkan, empat bank tercatat pengguna kartu e-money sebanyak 27,6 juta (Bank Mandiri 9,61 juta, BNI 1,5 juta, BRI 6,6 juta, dan BCA 10 juta). Ia lalu mencontohkan, bila rata-rata transaksi per bulan ada 1 kali transaksi, maka biaya isi ulang yang berhasil diraup bank sebesar 27,6 juta x Rp1.500 = Rp41,4 miliar per bulan.

Dalam setahun bisa Rp41,4 x 12 bulan = Rp496,8 miliar. Kalau ditambah dengan harga beli kartu Rp25.000, maka total dana masyarakat yang disimpan di bank Rp496,8 + (Rp25.000 x 27,6 juta) = Rp1,2 triliun per tahun.

"Itu bukan uang yang sedikit. Bagaimana pertanggungjawabannya di bank-bank, terutama BUMN? Kan, tidak jelas. Padahal semangat e-money itu adalah transparansi sistem pembayaran," tegasnya.

Begitupun dengan Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Muharram yang meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan penerapan biaya top up. Menurutnya, kemajuan teknologi seperti uang elektronik perlu didukung namun tidak harus membebani masyarkat.

"Fintech termasuk uang elektronik memang perlu didorong. Tetapi jangan dengan membebani masyarakat dan hanya menguntungkan penyedia jasa. Kemajuan Fintech seharusnya menghadirkan efisiensi keuangan dan kemudahan. Bukan menjadi masalah, karena uang elektronik hanya bersifat pengganti uang tunai yang nilainya setara," ucapnya dalam pesan tertulis.

Menurutnya, uang elektronik itu yang dibebani biaya bukan lagi menjadi alat tukar yang setara, tetapi sudah terjadi monopoli jasa. "Sebetulnya bank sudah dapat keuntungan dari uang deposit yang mengendap tersebut. "Padahal dari deposit sendiri margin-nya sudah tinggi karena bagi bank ini uang murah. Sekarang mau ditambah lagi biaya top up,'' ungkapnya.

Ecky mengungkapkan, alasan untuk pengembangan penyediaan mesin pembayaran pun tidak bisa diterima. "Kebijakan ini akan merugikan masyarakat kecil yang sekali top-up hanya Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu. "Oleh karena itu, saya meminta BI dan OJK meninjau ulang rencana penerapan biaya ini,'' ujarnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6865 seconds (0.1#10.140)