IESR Sesalkan Pernyataan Jokowi Soal Pengembangan EBT

Rabu, 04 Juli 2018 - 16:30 WIB
IESR Sesalkan Pernyataan...
IESR Sesalkan Pernyataan Jokowi Soal Pengembangan EBT
A A A
JAKARTA - Institute for Essential Service Reform (IESR)menyambut baik peresmian kebun angin pertama di Indonesia, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap 75 MW dan PLTB Jeneponto 70 MW di Provinsi Sulawesi Selatan yang baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal pekan ini.

IESR menilai beroperasinya dua pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) ini merupakan indikasi positif upaya pengembangan energi terbarukan di dalam negeri.

Namun, IESR menyesalkan pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dan mengatur harga jual listrik dari pembangkit energi terbarukan serta tidak perlunya insentif untuk sektor ini.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai, pernyataan tersebut kontra produktif dengan upaya menarik investasi untuk energi terbarukan. Fabby menilai presiden tidak mendapatkan informasi yang akurat mengenai situasi sebenarnya tentang investasi di sektor energi terbarukan.

"Walaupun ada sejumlah investor asing dan domestik yang tertarik berinvestasi di energi terbarukan, realisasi investasinya tidak optimal," kata Fabby dalam siaran pers, Rabu (4/7/2018).

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp21,25 triliun (2016), Rp13,96 triliun (2015). Fabby mengatakan, energi terbarukan merupakan sektor yang masih muda dan belum tumbuh mapan di Indonesia. "Pemerintah seharusnya justru menyiapkan kebijakan yang dapat mendorong iklim investasi yang sehat," tegasnya.

Fabby menambahkan, kedua PLTB yang baru diresmikan Presiden Jokowi tersebut adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih fleksibel dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik antara pengembang dan PT PLN (Persero).

"Hal itu memungkinkan terjadinya optimalisasi harga dan expected return of investment para investor dan pengembang dapat terpenuhi,"
jelas Fabby.

Dia juga mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 Megawatt (skala menengah).

Di akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan penjualan tenaga listrik dengan PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersial. Sementara, 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.Selain itu, kata dia, kendala yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi seperti Permen ESDM No. 12/ 2017 dan Permen No. 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif feed-in tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PLN di masing-masing wilayah.
Permen No. 50/2017 menurutnya juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).
"Banyak pengembang yang kesulitan mendapatkan pendanaan di dalam negeri karena bank beranggapan proyek energi terbarukan berisiko tinggi dan suku bunga pinjaman yang masih dua digit. Tidak semua pengembang memiliki akses atas pendanaan dengan bunga rendah di luar negeri," ujar Fabby.

Karena itu, tegas dia, jika pemerintah serius mengembangkan energi terbarukan secara massif dalam kurun waktu 3-5 tahun ke depan, maka pemerintah justru perlu memperbaiki kerangka regulasi, mencabut Permen ESDM No. 50/2017, memberikan insentif fiskal dan non-fiskal secara selektif, serta menyediakan mekanisme khusus yang inovatif untuk memenuhi kebutuhan pendanaan.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0927 seconds (0.1#10.140)