Realisasi Investasi Melambat

Rabu, 15 Agustus 2018 - 11:29 WIB
Realisasi Investasi Melambat
Realisasi Investasi Melambat
A A A
JAKARTA - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) pada kuartal II/2018 (April–Juni) mencapai angka sebesar Rp176,3 triliun.

Angka ini turun 4,9% dibandingkan kuartal I/2018 yang sebesar Rp185,3 triliun. Sementara apabila dibandingkan secara year on year(yoy) kuartal II/2018 mengalami peningkatan sebesar 3,1% dari kuartal II/2017 (Rp170,9 triliun).

Terlihat kecenderungan terjadinya perlambatan pertumbuhan realisasi investasi menjadi 3,1% (kuartal II/2018 dibanding kuartal II/ 2017), dari sebelumnya 11,8% (kuartal I/ 2018 dibanding kuartal I/2017) dan 12,7% (kuartal II/2017 dibanding kuartal II/2016).

Adapun realisasi investasi pada Januari-Juni 2018 sebesar Rp361,6 triliun, meningkat 7,4% dari tahun sebelumnya yaitu Januari-Juni 2017 (Rp336,7 triliun). Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan, ada beberapa faktor yang cukup berpengaruh terhadap perlambatan pertumbuhan realisasi investasi kuartal II/2018 ini dibandingkan dengan kuartal I/2018.

”Harus diakui bahwa gejolak kurs rupiah dan perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China telah berdampak pada perlambatan laju investasi. Selain itu, kita juga telah memasuki tahun politik yang akan berlanjut sampai tahun depan.

Di tengah kondisi yang penuh dengan ketidakpastian, investasi kelihatannya cenderung melambat dan para investor bersifat wait and see,” ujarnya di Jakarta kemarin. Menurut Thomas, perlambatan dari kuartal I/2018 ke kuartal II/2018 disebabkan karena adanya realisasi raksasa di bidang e-commerce dan digital economy yang mengangkat realisasi investasi pada kuartal I/2018.

”Kuartal I/2018 dibantu oleh investasi raksasa sehingga kuartal II/2018 sulit untuk menandingi kuartal I/2018,” ungkapnya. Selama kuartal II/2018, realisasi PMDN sebesar Rp80,6 triliun, naik 32,1% dari Rp61 triliun pada periode yang sama 2017, dan PMA sebesar Rp95,7 triliun, turun 12,9% dari Rp109,9 triliun pada periode yang sama 2017.

BKPM juga mencatat realisasi investasi PMDN dan PMA berdasarkan lokasi proyek (5 besar) adalah DKI Jakarta (Rp29,9 triliun, 16,9 %); Jawa Barat (Rp22,2 triliun, 12,6%); Jawa Timur (Rp16 triliun, 9,1%); Banten (Rp14,4 triliun, 8,2%); dan Kalimantan Timur (Rp13,8 triliun, 7,8%).

Sementara realisasi investasi PMDN dan PMA berdasarkan sektor usaha (5 besar) adalah pertambangan (Rp28,2 triliun, 16%); transportasi, gudang, dan telekomunikasi (Rp25,6 triliun, 14,6%); listrik, gas, dan air (Rp20,8 triliun, 11,8%); industri makanan (Rp17,2 triliun, 9,8%); dan perumahan, kawasan industri, dan perkantoran (Rp15,8 triliun, 8,9%).

Lima besar negara asal PMA adalah Singapura (USD2,4 miliar, 33,5%); Jepang (USD1 miliar, 14,4%); China (USD0,7 miliar, 9,4%); Hong Kong, RRC (USD0,6 miliar, 8,2%); dan Malaysia (USD0,4 miliar, 5,3 %).

Thomas menuturkan, realisasi PMDN tumbuh tinggi karena efek pembanding pada kuartal II tahun lalu yang angkanya relatif rendah. ”Pada kuartal II/2018, investasi domestik atau PMDN ada rebound di sektor properti dan real estate.

Kemudian di sektor infrastruktur seperti jalan tol yang digenjot dalam 12 tahun terakhir realisasinya tercapai pada kuartal II tahun ini,” tuturnya. Thomas menegaskan, gejolak kurs rupiah dan sikap wait and seepada tahun politik diperkirakan akan membuat para investor melakukan penundaan.

Meski begitu, Thomas meyakini tidak ada investor yang membatalkan investasi. ”Saya yakin ini adalah penundaan. Dalam semua dialog, tidak ada yang membatalkan investasi, hanya menunda. Itulah mengapa stabilitas rupiah begitu penting, selama investor yakin bahwa rupiah stabil,” jelasnya.

BKPM, lanjut dia, mendukung langkah-langkah Bank Indonesia (BI) guna menstabilkan rupiah karena sangat penting untuk investasi dan kepercayaan pasar. Selain kestabilan kurs rupiah, stabilitas politik juga diperlukan untuk mendukung sentimen pasar.

”Bukan politik yang mengganggu, tetapi gejolak kurs, gejolak pasar modal negara berkembang, dan policy blunder yang masih kurang kondusif terhadap investasi,” kata Thomas. Thomas mengakui, untuk mencapai target realisasi investasi tahun 2018 yang sebesar Rp765 triliun menjadi lebih sulit pada kuartal berikutnya.

Namun demikian, pemerintah akan proaktif mengambil langkah guna menghadapi berbagai persoalan seperti gejolak kurs, gejolak dunia, dan tantangan lainnya. ”Masih ada waktu untuk berjuang gunapencapaiantarget2018dan realisasi pada 2019,” tuturnya.

Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM Azhar Lubis menjelaskan, realisasi penyerapan tenaga kerja Indonesia pada kuartal II/2018 mencapai 289.843 orang dengan rincian sebanyak 133.602 pada proyek PMDN dan sebanyak 156.241 orang pada proyek PMA.

Adapun sebaran investasi di luar Pulau Jawa tercatat sebesar Rp81,9 triliun atau setara dengan 46,5% dari total investasi kuar-tal II/2018. ”Meskipun pertumbuhan investasi melambat, investasi tetap masih dapat menyerap tenaga kerja Indonesia langsung yang cukup besar,” ujarnya.

Di sisi lain, banyak terbuka peluang-peluang usaha yang dapat juga menyerap banyak TKI sebagai akibat dari adanya kegiatan investasi di suatu daerah (multiplier effect). ”Penyerapan TKI ini sesungguhnya dipahami bahwa peluang bagi tenaga kerja terampil di Indonesia juga semakin terbuka lebar dengan masuknya kegiatan investasi yang juga cenderung menggunakan teknologi terkini,” kata Azhar Lubis.

Untuk periode Januari– Juni 2018 dari total realisasi investasi sebesar Rp361,6 triliun, realisasi investasi (PMDN & PMA) berdasarkan lokasi proyek (5 besar) adalah Jawa Barat (Rp59,2 triliun, 16,4 %); DKI Jakarta (Rp58,7 triliun, 16,2%); Banten (Rp30 triliun, 8,3%); Jawa Tengah (Rp27,6 triliun, 7,6%); dan Jawa Timur (Rp24,6 triliun, 6,8%).

Berdasarkan sektor usaha, (5 besar) realisasi investasi (PMDN & PMA) adalah perumahan, kawasan industri, dan perkantoran (Rp43,4 triliun, 12,0%); per tambang an (Rp42,4 t riliun , 11,7%); transportasi, gudang, dan telekomunikasi (Rp40,3 triliun, 11,1%); listrik, gas, dan air (Rp40,1 triliun, 11,1%); dan industri logam, mesin, dan elektronik (Rp35,8 triliun, 9,9%).

Pengamat ekonomi Institute For Develompent of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira mengatakan, selain gejolak kurs rupiah, faktor penghambat investasi lainnya kenaikan bunga acuan yang menyebabkan cost of borrowing modal investasi jadi lebih mahal.

Di sisi lain, tahun politik juga membuat investor wait and see khususnya di sektor yang sensitif terhadap perubahan regulasi seperti pertambangan dan perkebunan. ”Kondisi fundamental ekonomi juga belum stabil, khususnya berkaitan dengan melebarnya defisit transaksi berjalan hingga 3% terhadap PDB pada kuartal II/ 2018,” ujarnya.

Menurut Bhima, memang cukup berat mengejar target investasi sebesar Rp765 triliun pada 2018 kuartal III dan kuartal IV. ”Tapi ada beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh pemerintah, yakni mengoptimalkan perizinan usaha lewat online single submission (OSS), insentif fiskal yang lebih fokus, stabilisasi politik, dan hindari kegaduhan,” tandasnya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4667 seconds (0.1#10.140)