Maskapai Tolak Rencana Iuran Pariwisata Lewat Tiket Pesawat, Ini Alasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) keberatan soal rencana iuran dana pariwisata melalui tiket pesawat. Wacana tersebut berpotensi menaikkan harga tiket pesawat karena dibebankan kepada penumpang.
"Dengan demikian pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan menjadi kontraproduktif, karena dapat menyebabkan harga tiket naik, jumlah penumpang turun dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun," ujar Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja melalui pernyataannya, Jumat (26/4/2024).
Menurutnya, kebijakan itu justru kontraproduktif ditengah cita-cita Pemerintah memperluas konektivitas transportasi udara. Sebab, jumlah pelanggan terancam menurun dampak dari meningkatnya biaya transportasi.
Belum lagi menurutnya, penumpang pesawat terdiri dari berbagai macam keperluan, di antaranya untuk keperluan bisnis, acara keluarga atau pribadi, keperluan dinas, keperluan pendidikan, keperluan liburan atau berwisata dan lainnya. "Jadi pariwisata dan wisatawan hanya salah satu dari berbagai jenis penumpang pesawat," sambungnya.
Sehingga menurut Denon, tidak seharusnya iuran pariwisata yang sedang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ditambahkan dalam komponen harga tiket pesawat, karena akan menjadi beban tambahan bagi penumpang dan maskapai penerbangan.
Dengan tambahan iuran pariwisata dalam komponen tiket akan membuat harga tiket menjadi lebih mahal bagi penumpang. Maskapai juga akan terkena dampak karena jumlah penumpang akan berkurang jika harga tiket dianggap mahal.
Menurut Denon, saat ini bisnis penerbangan sedang dalam kondisi rebound setelah terpuruk akibat pandemi Covid -19 pada tahun 2020 sampai dengan 2022 lalu. Namun demikian banyak kendala yang dihadapi maskapai penerbangan Indonesia sehingga proses rebound tidak bisa berlangsung lancar jika dibandingkan dengan maskapai penerbangan internasional. Permasalahan yang dihadapi maskapai Indonesia di antaranya adalah berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadang (spareparts) dan sumber daya manusia yang siap untuk dioperasikan.
Baca Juga: Bakal Makin Mahal, Pemerintah Mau Kenakan Iuran Pariwisata ke Tiket Pesawat
Selain itu juga meningkatnya biaya operasi yang disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar avtur dan nilai tukar mata uang Rupiah yang terus melemah terhadap mata uang Dollar AS. Padahal sekitar 70% biaya operasional penerbangan dipengaruhi oleh Dollar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan dan pengadaan spareparts dan lainnya.
Sementara itu, tarif penerbangan sejak tahun 2019 sampai saat ini belum disesuaikan oleh pemerintah padahal komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat. Misalnya untuk kurs dolar AS dari tahun 2019 sebesar Rp14.102 dan tahun 2024 menjadi Rp 16.182 atau meningkat 15%. Harga jual minyak juga terus naik, di mana tahun 2024 ini mencapai USD87,48 per barel atau meningkat 37% dibanding tahun 2019 yaitu USD64 per barel. "Sehingga program perluasan konektivitas transportasi udara dari pemerintah menjadi tidak tercapai," jelas Denon.
"Dengan demikian pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan menjadi kontraproduktif, karena dapat menyebabkan harga tiket naik, jumlah penumpang turun dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun," ujar Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja melalui pernyataannya, Jumat (26/4/2024).
Menurutnya, kebijakan itu justru kontraproduktif ditengah cita-cita Pemerintah memperluas konektivitas transportasi udara. Sebab, jumlah pelanggan terancam menurun dampak dari meningkatnya biaya transportasi.
Belum lagi menurutnya, penumpang pesawat terdiri dari berbagai macam keperluan, di antaranya untuk keperluan bisnis, acara keluarga atau pribadi, keperluan dinas, keperluan pendidikan, keperluan liburan atau berwisata dan lainnya. "Jadi pariwisata dan wisatawan hanya salah satu dari berbagai jenis penumpang pesawat," sambungnya.
Sehingga menurut Denon, tidak seharusnya iuran pariwisata yang sedang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ditambahkan dalam komponen harga tiket pesawat, karena akan menjadi beban tambahan bagi penumpang dan maskapai penerbangan.
Dengan tambahan iuran pariwisata dalam komponen tiket akan membuat harga tiket menjadi lebih mahal bagi penumpang. Maskapai juga akan terkena dampak karena jumlah penumpang akan berkurang jika harga tiket dianggap mahal.
Menurut Denon, saat ini bisnis penerbangan sedang dalam kondisi rebound setelah terpuruk akibat pandemi Covid -19 pada tahun 2020 sampai dengan 2022 lalu. Namun demikian banyak kendala yang dihadapi maskapai penerbangan Indonesia sehingga proses rebound tidak bisa berlangsung lancar jika dibandingkan dengan maskapai penerbangan internasional. Permasalahan yang dihadapi maskapai Indonesia di antaranya adalah berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadang (spareparts) dan sumber daya manusia yang siap untuk dioperasikan.
Baca Juga: Bakal Makin Mahal, Pemerintah Mau Kenakan Iuran Pariwisata ke Tiket Pesawat
Selain itu juga meningkatnya biaya operasi yang disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar avtur dan nilai tukar mata uang Rupiah yang terus melemah terhadap mata uang Dollar AS. Padahal sekitar 70% biaya operasional penerbangan dipengaruhi oleh Dollar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan dan pengadaan spareparts dan lainnya.
Sementara itu, tarif penerbangan sejak tahun 2019 sampai saat ini belum disesuaikan oleh pemerintah padahal komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat. Misalnya untuk kurs dolar AS dari tahun 2019 sebesar Rp14.102 dan tahun 2024 menjadi Rp 16.182 atau meningkat 15%. Harga jual minyak juga terus naik, di mana tahun 2024 ini mencapai USD87,48 per barel atau meningkat 37% dibanding tahun 2019 yaitu USD64 per barel. "Sehingga program perluasan konektivitas transportasi udara dari pemerintah menjadi tidak tercapai," jelas Denon.
(nng)