Ekonomi RI Kuartal III/2019 Hanya 5,02%, Pengamat: Sinyal Resesi di Depan Mata
A
A
A
JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menunjukkan perlambatan pada kuartal III tahun 2019 dimana hanya tumbuh 5,02% atau lebih rendah bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di 5,17%. Ekonom Institute for Reform on Economics (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, indikator ekonomi mulai kehabisan energi apabila melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru.
"Angka ini menunjukkan adanya perlambatan ekonomi dibandingkan kuartal III 2018 yakni 5,17%. Artinya indikator ekonomi mulai kehabisan energi. PR nya ada di konsumsi rumah tangga khususnya kelas menengah dan atas yang menahan diri untuk belanja. Sementara kelas bawah hanya bergantung dari bansos," ujar Bhima kepada SINDOnews di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Menurutnya kinerja pertanian dan industri manufaktur yang melambat harus segera diatasi dengan berbagai stimulus. "Motor utama investasi kuncinya di reformasi struktural birokrasi, perizinan dan kenaikan indeks daya saing," tambahnya.
Mengenai ekspor, Bhima menilai peluangnya masih besar di tengah perang dagang antara dua ekonomi besar dunia yakni Amerika Serikat (AS) versus China. Akan tetapi terkendala informasi pasar (market intelijen), ketergantungan komoditas, dan hambatan-hambatan birokrasi untuk ekspor.
"Jadi waktu tidak banyak karena sinyal resesi ekonomi global sudah di depan mata. Pertumbuhan ekonomi kalau sampai di bawah 5%, maka dampak ke penurunan angka kemiskinan dan pengangguran sangat signifikan. Jadi PR utamanya adalah menjaga momentum pertumbuhan tetap di atas 5%," tutur Bhima.
"Angka ini menunjukkan adanya perlambatan ekonomi dibandingkan kuartal III 2018 yakni 5,17%. Artinya indikator ekonomi mulai kehabisan energi. PR nya ada di konsumsi rumah tangga khususnya kelas menengah dan atas yang menahan diri untuk belanja. Sementara kelas bawah hanya bergantung dari bansos," ujar Bhima kepada SINDOnews di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Menurutnya kinerja pertanian dan industri manufaktur yang melambat harus segera diatasi dengan berbagai stimulus. "Motor utama investasi kuncinya di reformasi struktural birokrasi, perizinan dan kenaikan indeks daya saing," tambahnya.
Mengenai ekspor, Bhima menilai peluangnya masih besar di tengah perang dagang antara dua ekonomi besar dunia yakni Amerika Serikat (AS) versus China. Akan tetapi terkendala informasi pasar (market intelijen), ketergantungan komoditas, dan hambatan-hambatan birokrasi untuk ekspor.
"Jadi waktu tidak banyak karena sinyal resesi ekonomi global sudah di depan mata. Pertumbuhan ekonomi kalau sampai di bawah 5%, maka dampak ke penurunan angka kemiskinan dan pengangguran sangat signifikan. Jadi PR utamanya adalah menjaga momentum pertumbuhan tetap di atas 5%," tutur Bhima.
(akr)