Industri Asuransi Butuh Kepastian Hukum

Kamis, 07 November 2019 - 03:43 WIB
Industri Asuransi Butuh Kepastian Hukum
Industri Asuransi Butuh Kepastian Hukum
A A A
JAKARTA - Berlarut-larutnya penanganan perkara pemalsuan klaim di pengadilan mengindikasikan tidak ada kepastian hukum dalam industri asuransi. Padahal, dunia bisnis sangat perlu kepastian hukum untuk investasi dan pengembangan usaha.

Pemerhati ekonomi politik dari Kaukus Muda Indonesia, Edi Humaidi, mengatakan apabila tidak ada kepastian hukum bagaimana bisnis asuransi bisa berkelanjutan. "Bisnis asuransi itu butuh kepastian hukum," katanya di Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Hal itu diungkapkan Edi dalam menanggapi perkara pemalsuan klaim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berlarut-larut karena terdakwa kerap tidak bisa hadir dengan alasan sakit.

Semenatara itu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kembali mengelar sidang kasus pemalsuan klaim asuransi dengan terdakwa AL, Rabu (6/11/2019). Namun, lagi-lagi sidang yang berlangsung sejak akhir 2018 tersebut, ditunda karena terdakwa tidak hadir. Jaksa mendakwa AL melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen untuk klaim asuransi, dengan nomor perkara 1036/Pid.B/2018/PN JKT.SEL

Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Toto Ridarto itu berlangsung singkat karena terdakwa kembali mengirimkan surat keterangan sakit. Majelis hakim memutuskan untuk memberikan waktu selama dua minggu kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk berusaha menghadirkan terdakwa AL. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada 20 November 2019 mendatang.

Kepada wartawan di PN Jaksel, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Boby M mengungkapkan, pihaknya berharap terobosan dari majelis hakim untuk mengatasi kebuntuan akibat celah hukum yang ada. Dimana seseorang sesuai hukum bisa tidak menghadiri persidangan karena sakit.

"Kejaksaan sangat berkomitmen suksesnya penuntutan perkara. Sukses bukan berarti orang itu bersalah, tetapi lebih kepada mendapat kepastian hukum. Misalnya hakim memutuskan bersalah atau tidak itu terserah majelis hakim," ujarnya.

Menurut Boby, dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan, hakim wajib memberikan solusi terhadap hambatan-hambatan yang dihadapi saat persidangan.

"Kami sudah berupaya menghadirkan terdakwa. Jika kami melakukan penangkapan terhadap tersangka sebelum atau sesudah persidangan maka kami melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," tuturnya.

Boby memaparkan, pihaknya berharap majelis hakim melakukan penafsiran-penafsiran. Dengan demikian, pemeriksaan perkara bisa dilanjutkan meskipun terdakwa tidak hadir di persidangan.

"Misalnya peraturan yang lain menyebutkan kalau pemeriksaan sudah dinyatakan selesai maka perkara dapat diputus tanpa kehadiran terdakwa itu yang kami minta ada argumentasi dari majelis hakim," paparnya.

Dia menambahkan, kasus tersebut telah menarik perhatian masyarakat karena melibatkan banyak stakeholder. ‘’Kasus ini merupakan puncak gunung es. Karena bukan sekadar masalah klaim asuransi saja tapi sudah perkara pemalsuan," paparnya.

Berdasarkan pemeriksaan di persidangan, kata dia, ternyata modus pemalsuan klaim tersebut banyak terjadi. Dimana ada pihak-pihak tertentu yang mengambil untung dari sistem asuransi.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5245 seconds (0.1#10.140)