Pemerintah Harus Atur Pola Kemitraan dalam Pengembangan Biodiesel Sawit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Program biodiesel yang dicanangkan pemerintah menjadi salah satu solusi strategis dalam mencapai ketahanan energi. Sekaligus menurunkan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Agar visi ini benar-benar terwujud, keterlibatan petani sawit swadaya perlu diprioritaskan. Sebagai pemain penting dalam rantai pasok kelapa sawit, para petani ini memegang peran yang tak bisa diabaikan.
Pemerintah harus segera mengatur pola kemitraan yang menguntungkan semua pihak, baik perusahaan maupun petani. Jika pola kemitraan ini dirancang dengan baik, program biodiesel dapat berjalan optimal. Mengapa penting melibatkan petani swadaya?
Terdapat beberapa alasan utama. Misalnya perkebunan sawit swadaya menguasai sekitar 40% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. ”Ini adalah angka yang signifikan, yang menunjukkan bahwa ketahanan rantai pasok tidak mungkin tercapai tanpa peran serta mereka,” kata Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit ( SPKS ) Sabarudin dalam Diskusi Keberlanjutan Biodiesel, dengan tema Mewujudkan Kemitraan Petani Dan Industry Biodiesel Dalam Pengembangan Biodiesel Sawit Untuk Kesejahteraan Petani Sawit di Jakarta, Kamis (24/10/2024).
Jika petani swadaya tidak dilibatkan, pemerintah kehilangan potensi besar dalam pemanfaatan lahan. Memasukkan petani swadaya dalam rantai pasok biodiesel adalah langkah konkret dalam membantu perekonomian rakyat kecil.
Mayoritas petani sawit swadaya adalah petani kecil yang menggantungkan hidupnya pada hasil perkebunan. Melalui program biodiesel, harapannya mereka bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih besar, sehingga kesejahteraan mereka meningkat.
Sayangnya program biodiesel yang diluncurkan pada 2015 oleh Presiden Joko Widodo belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi petani kelapa sawit. Meskipun tujuan awal program ini adalah untuk kesejahteraan petani melalui kemitraan dengan perusahaan pemilik biodiesel, hingga saat ini kemitraan tersebut belum terealisasi secara merata.
"Kami melakukan riset kecil di Riau, yang merupakan daerah dengan industri biodiesel di lima kabupaten, namun kenyataannya petani di sana belum menikmati hasil dari kemitraan tersebut. Petani masih menjual sawit mereka melalui tengkulak, bukan langsung ke perusahaan biodiesel," ujarnya.
Sabarudin mengatakan, SPKS terus mendorong agar pengembangan biodiesel memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan produktivitas. Saat ini, produktivitas petani sawit masih rendah, hanya sekitar 12 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hectare per tahun. Jauh di bawah produktivitas perusahaan yang mencapai 25 ton TBS per hectare per tahun.
Ketua Umum Perisai Prabowo Ahmad Kailani menegaskan, komitmennya untuk mengawasi dan memastikan kebijakan biodiesel, khususnya campuran biodiesel 50% (B50), berjalan sesuai dengan kepentingan petani. Ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif dalam pengawasan kebijakan pemerintah terkait biodiesel, terutama yang berdampak langsung pada petani sawit.
"Saya adalah penyidik di KPPU dan bersentuhan langsung dengan kondisi di lapangan, terutama dengan petani kecil. Saya melihat bagaimana buah sawit yang sudah matang harus segera dibeli, jika tidak akan membusuk. Kedepannya, pengusaha besar akan menjadi mitra pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, dan kami di Perisai serta SPKS akan mengawasi setiap kebijakan agar adil bagi petani," katanya.
Direktur Bioenergi di Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Edi Wibowo mengutarakan pentingnya pengembangan biodiesel yang berkelanjutan. Termasuk rencana menuju implementasi B100 di masa depan.
Program biodiesel 100 persen (B100) yang berbahan baku minyak sawit mentah (CPO) masih dalam tahap penelitian. Karakteristik bahan bakar ini diharapkan lebih baik dibandingkan alternatif yang ada saat ini.
"Kita sedang mempersiapkan B100, namun masih dalam tahap penelitian untuk memastikan kestabilan dan efisiensinya. Karakter biodiesel dari sawit bisa lebih unggul, namun ada beberapa tantangan teknis yang perlu diatasi sebelum bisa mencapai komersialisasi penuh," ujarnya.
Edi menjelaskan pengembangan biodiesel tidak hanya melibatkan Kementerian ESDM, tetapi juga kolaborasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perekonomian, dan pemangku kepentingan lainnya. Termasuk perusahaan sawit dan petani.
Pemerintah bersama pihak-pihak terkait sedang menyusun kebijakan keuangan dan insentif untuk mendukung komersialisasi biodiesel. Khususnya terkait kemitraan antara petani plasma, petani swadaya, dan perusahaan produsen biodiesel.
Agar visi ini benar-benar terwujud, keterlibatan petani sawit swadaya perlu diprioritaskan. Sebagai pemain penting dalam rantai pasok kelapa sawit, para petani ini memegang peran yang tak bisa diabaikan.
Pemerintah harus segera mengatur pola kemitraan yang menguntungkan semua pihak, baik perusahaan maupun petani. Jika pola kemitraan ini dirancang dengan baik, program biodiesel dapat berjalan optimal. Mengapa penting melibatkan petani swadaya?
Terdapat beberapa alasan utama. Misalnya perkebunan sawit swadaya menguasai sekitar 40% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. ”Ini adalah angka yang signifikan, yang menunjukkan bahwa ketahanan rantai pasok tidak mungkin tercapai tanpa peran serta mereka,” kata Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit ( SPKS ) Sabarudin dalam Diskusi Keberlanjutan Biodiesel, dengan tema Mewujudkan Kemitraan Petani Dan Industry Biodiesel Dalam Pengembangan Biodiesel Sawit Untuk Kesejahteraan Petani Sawit di Jakarta, Kamis (24/10/2024).
Jika petani swadaya tidak dilibatkan, pemerintah kehilangan potensi besar dalam pemanfaatan lahan. Memasukkan petani swadaya dalam rantai pasok biodiesel adalah langkah konkret dalam membantu perekonomian rakyat kecil.
Mayoritas petani sawit swadaya adalah petani kecil yang menggantungkan hidupnya pada hasil perkebunan. Melalui program biodiesel, harapannya mereka bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih besar, sehingga kesejahteraan mereka meningkat.
Sayangnya program biodiesel yang diluncurkan pada 2015 oleh Presiden Joko Widodo belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi petani kelapa sawit. Meskipun tujuan awal program ini adalah untuk kesejahteraan petani melalui kemitraan dengan perusahaan pemilik biodiesel, hingga saat ini kemitraan tersebut belum terealisasi secara merata.
"Kami melakukan riset kecil di Riau, yang merupakan daerah dengan industri biodiesel di lima kabupaten, namun kenyataannya petani di sana belum menikmati hasil dari kemitraan tersebut. Petani masih menjual sawit mereka melalui tengkulak, bukan langsung ke perusahaan biodiesel," ujarnya.
Sabarudin mengatakan, SPKS terus mendorong agar pengembangan biodiesel memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan produktivitas. Saat ini, produktivitas petani sawit masih rendah, hanya sekitar 12 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hectare per tahun. Jauh di bawah produktivitas perusahaan yang mencapai 25 ton TBS per hectare per tahun.
Ketua Umum Perisai Prabowo Ahmad Kailani menegaskan, komitmennya untuk mengawasi dan memastikan kebijakan biodiesel, khususnya campuran biodiesel 50% (B50), berjalan sesuai dengan kepentingan petani. Ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif dalam pengawasan kebijakan pemerintah terkait biodiesel, terutama yang berdampak langsung pada petani sawit.
"Saya adalah penyidik di KPPU dan bersentuhan langsung dengan kondisi di lapangan, terutama dengan petani kecil. Saya melihat bagaimana buah sawit yang sudah matang harus segera dibeli, jika tidak akan membusuk. Kedepannya, pengusaha besar akan menjadi mitra pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, dan kami di Perisai serta SPKS akan mengawasi setiap kebijakan agar adil bagi petani," katanya.
Direktur Bioenergi di Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Edi Wibowo mengutarakan pentingnya pengembangan biodiesel yang berkelanjutan. Termasuk rencana menuju implementasi B100 di masa depan.
Program biodiesel 100 persen (B100) yang berbahan baku minyak sawit mentah (CPO) masih dalam tahap penelitian. Karakteristik bahan bakar ini diharapkan lebih baik dibandingkan alternatif yang ada saat ini.
"Kita sedang mempersiapkan B100, namun masih dalam tahap penelitian untuk memastikan kestabilan dan efisiensinya. Karakter biodiesel dari sawit bisa lebih unggul, namun ada beberapa tantangan teknis yang perlu diatasi sebelum bisa mencapai komersialisasi penuh," ujarnya.
Edi menjelaskan pengembangan biodiesel tidak hanya melibatkan Kementerian ESDM, tetapi juga kolaborasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perekonomian, dan pemangku kepentingan lainnya. Termasuk perusahaan sawit dan petani.
Pemerintah bersama pihak-pihak terkait sedang menyusun kebijakan keuangan dan insentif untuk mendukung komersialisasi biodiesel. Khususnya terkait kemitraan antara petani plasma, petani swadaya, dan perusahaan produsen biodiesel.
(poe)