Pemerintah Butuh Strategi Nyata Atasi Krisis Ekonomi Akibat Covid-19

Selasa, 14 April 2020 - 22:57 WIB
loading...
Pemerintah Butuh Strategi Nyata Atasi Krisis Ekonomi Akibat Covid-19
Ketua Dewan Penasihat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sharif Cicip Sutardjo. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Ketua Dewan Penasihat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sharif Cicip Sutardjo, memandang upaya pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi yang disebabkan virus corona (Covid-19) masih lamban. Untuk itu, diperlukan strategi nyata dalam penyelamatan ekonomi.

"Saya apresiasi upaya Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani dengan mengajukan proposal penyelamatan ekonomi yang persentasenya minimal sama dengan negara-negara lainnya, yaitu 10% dari PDB. Itupun belum tentu cukup," ujar Sharif Cicip Sutardjo dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/4/2020).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan di kabinet Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini menyebutkan, pemerintah perlu menyampaikan dengan jelas apa strategi yang diterapkan untuk menangani wabah sekaligus dampak krisis ekonomi dari virus Covid-19 ini. Strategi tidak sama dengan langkah-langkah taktis.

Misalnya, strategi pemerintah adalah melindungi setiap rakyat agar tetap sehat, berdaya dan sejahtera dalam melawan wabah dan dampak Covid-19. Hal tersebut penting supaya rakyat dan dunia usaha yang sebenarnya ingin berkontribusi tahu harus melakukan apa dalam kondisinya masing-masing.

Menurutnya, ada tiga hal yang menjadi hal yang paling penting untuk diperhatikan oleh pemerintah yang menjadi penilaian stakeholders khususnya internasional.

Pertama, kemampuan pemerintah mengatasi penyebaran virus Covid-19 sampai berhenti dan cepatnya normalisasi kehidupan masyarakat.

Kedua, kesiapan pemerintah mengantisipasi dampak ekonomi dari penanganan penyebaran Covid-19, khususnya terhadap sektor riil.

Ketiga, kemampuan pemerintah menjaga stabilitas di sektor keuangan dan perbankan sebagai akibat dari penanganan krisis yang diterapkan pemerintah. Ini menjadi penilaian karena risiko instabilitas di sektor keuangan di satu negara bisa merembet ke negara lainnya seperti krisis moneter Asia tahun 1998.

"Saat ini total pemasukan sektor perbankan mencapai Rp250 triliun per bulan, terdiri atas Rp200 triliun merupakan pengembalian pokok dan Rp50 triliun adalah pembayaran bunga. Perbankan harus dilindungi jangan sampai jadi kambing hitam yang harus menanggung beban paling berat. Apalagi 65% dana investor di pasar modal kita adalah dana asing. Di mana saham sektor perbankan memiliki bobot di atas 45%," kata Cicip, mengingatkan

Bila sekarang pemerintah akan menerapkan kebijakan relaksasi pembayaran kredit dan KUR untuk dunia usaha khususnya UMKM, maka perlu dipastikan anggaran yang lebih dari cukup untuk menutup kebutuhan likuiditas di perbankan dan juga kebutuhan modal kerja perbankan. Jangan sampai kemudian perbankan terpaksa melakukan PHK massal juga sebagai akibat dari kebijakan relaksasi pembayaran kredit selama 6-12 bulan ini.

Untuk itu, Cicip berharap setidaknya lima stakeholders utama di lingkungan pemerintah yaitu Kementerian Koordinator Perekonomian, BI, OJK, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN bisa menyamakan pemahaman. Setelah itu barulah menyamakan visi dan tujuan dengan DPR yang memiliki otoritas politik anggaran.

Satu tujuan yaitu Indonesia yang berhasil bebas dari Covid-19 dengan tetap menjaga kemandirian dan stabilitas ekonomi. Jangan sampai lagi kita kembali ke tahun 1998, dimana kita terpaksa minta bantuan asing yaitu IMF untuk mengatasi krisis ekonomi di dalam negeri.

"Kami mengapresiasi ketegasan pemerintah untuk memperbesar kapasitas anggaran negara dalam mengantisipasi dampak krisis ekonomi dari Covid-19. Walaupun rasio defisit anggaran terhadap PDB harus melebihi batas acuan 3% seperti yang diwajibkan UU. Apalagi Pemerintah tetap prudent menyatakan bahwa kondisi tersebut hanya sementara, dimana dalam waktu tiga tahun sudah harus kembali ke level 3%," ujar Cicip.

Anggaran Rp405 triliun dalam bentuk dana tanggap darurat yang sudah diumumkan pemerintah adalah awalan yang baik menurut Cicip. Selanjutnya, Cicip menyarankan agar pemerintah mengkomunikasikan hal ini dengan jelas kepada setiap stakeholders.

"Bahwa Rp405 triliun adalah langkah awal yang baik dan prudent, dan cukup untuk tahap pertama. Dengan demikian pesan yang disampaikan ke masyarakat dan ke pasar internasional jelas dan tegas. Yaitu Indonesia memiliki kapasitas finansial yang lebih dari cukup untuk keluar dari wabah Covid-19 dengan dampak serta solusi perekonomian yang terukur dan terkendali dengan baik. Karena kepercayaan dunia khususnya pasar terhadap penanganan pemerintah atas situasi sekarang ini sangat penting untuk menjaga stabilitas makro," terangnya.

Cicip memuji Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang telah mengumumkan langkah-langkah taktis di tataran mikro seperti kebijakan relaksasi kredit khususnya bagi penerima KUR sampai enam bulan, peningkatan bantuan pemerintah non tunai, dan kartu pra kerja.

Krisis yang disebabkan oleh Covid-19 berbeda dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya. Sebelumnya setiap krisis pasti berdampak kepada orang yang mampu dulu. Sedangkan sekarang masyarakat tidak mampu, pengusaha UMKM yang biasanya jadi benteng pertahanan ekonomi justru yang menjadi korban pertama.

Demikian juga krisis yang lainnya seperti bencana, terorisme, atau bahkan perang sekalipun. Semua krisis tersebut, menurut Cicip, ada polanya, ada parameternya, dan kelihatan bentuknya, sehingga solusinya lebih bisa diformulasikan dan dikendalikan. Masyarakat lebih mudah untuk diatur dan diarahkan oleh Pemerintah dalam krisis-krisis lain yang sebelumnya.

Karena ketika Pemerintah terpaksa meminta masyarakat mengurung diri di rumah, langsung saat itu juga krisis yang dihadapi masyarakat berlipat ganda menjadi krisis ekonomi dan sangat mudah bergeser menjadi krisis sosial. Baik di kalangan pengusaha maupun di kalangan masyarakat ekonomi bawah.

Bagi pengusaha karena tidak ada pemasukan, tidak kuat membayar gaji karyawan terpaksa melakukan PHK massal. Belum lagi beban THR mendekati hari raya. Akhirnya bisa terjadi bentrokan sosial antar kelompok masyarakat. Semua ini, menurut Cicip, butuh Pemerintah yang menyatukan dan memimpin seluruh elemen bangsa dalam satu konsep dan kerangka kerja yang berdasarkan satu pemahaman, dan yang terpenting satu tujuan bersama.

"Intinya, pemerintah harus perlakukan krisis Covid-19 ini lebih sulit dibandingkan melawan ancaman perang," tegas Cicip.
(bon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2059 seconds (0.1#10.140)