Lepas dari Middle Income Trap, Indonesia Bisa Pakai Strategi Ini
loading...

Indonesia menghadapi tantangan besar untuk keluar dari middle income trap. Ekonom Senior Indef dan Analis Kebijakan Ekonomi Apindo memberikan pandangan mereka mengenai strategi yang perlu ditempuh. Foto/Dok
A
A
A
JAKARTA - Indonesia menghadapi tantangan besar untuk keluar dari middle income trap . Ekonom Senior Indef, Prof Didin S. Damanhuri dan Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani memberikan pandangan mereka mengenai strategi yang perlu ditempuh.
Prof Didin S. Damanhuri menyoroti stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata hanya 5% setelah pandemi. Menurutnya, masalah ini kompleks dan melibatkan faktor mikro ekonomi, makro ekonomi, dan politik.
"Selepas kita pandemi, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan drastis 2,03 persen, terakhir 2024 kemungkinan sekitar 5 persen sedikit. Jadi memang ini stagnasi ya, sebelum pandemi pun kita rata-rata hanya 5 persen," ujar Prof Didin dalam Market Review IDX Channel, Senin (17/3/2025).
Ia menekankan pentingnya perbaikan ekosistem politik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Ini kompleks ya, mempelajari negara-negara yang terkena middle income trap, negara Amerika Latin, kemudian Indonesia ada masalah mikro ekonomi, makro ekonomi dan politik, jadi ini sambung menyambung tidak bisa hanya ingin jadi negara maju lalu kemudian hanya berkutat di masalah mikro ekonomi, makro ekonomi. Tapi ekosistem politiknya tidak dibenahi, maka pajak dari negara lain biasanya lalu trap itu akan berkelanjutan," jelasnya.
Prof Didin juga menyoroti perlambatan pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. "Indonesia ini kan reformasi ya, katakanlah 2000-2025 ini pendapatan per kapita kita hanya naik 4,5 persen, padahal jaman pemerintah pak Harto naik dari 80-1.000 ya itu kira-kira 15 kali lipat," katanya.
Sementara itu, Ajib Hamdani menekankan, pentingnya pengembangan sektor manufaktur dan peningkatan investasi. "Jadi harapan kita, kalau kita ingin membuat lompatan ke arah negara maju, maka tentunya diharapkan adanya nilai tambah dari komoditas-komoditas unggulan yang dipunya oleh Indonesia, salah satunya dari peningkatan kualitas sektor manufaktur ," ujar Ajib.
Ajib menyoroti target investasi pemerintah yang ambisius dan perlunya dukungan untuk mencapai target tersebut. Tentunya sektor manufaktur akan berbanding lurus dengan investasi.
"Nah dan kalau kita lihat investasi di Indonesia itu Kementerian Investasi dan Hilirisasi mempunyai target lebih dari Rp13 ribu triliun untuk lima tahun ke depan. Kalau kita lihat di tahun 2025 ini targetnya itu mencapai Rp1.900 triliun, nah akankah angka investasi ini saat bisa tercapai, maka ini bisa mendongkrak sektor manufaktur? dan mendongkrak hilirisasi? saya pikir ini juga akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi secara agregat," jelasnya.
Prof Didin S. Damanhuri menyoroti stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata hanya 5% setelah pandemi. Menurutnya, masalah ini kompleks dan melibatkan faktor mikro ekonomi, makro ekonomi, dan politik.
"Selepas kita pandemi, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan drastis 2,03 persen, terakhir 2024 kemungkinan sekitar 5 persen sedikit. Jadi memang ini stagnasi ya, sebelum pandemi pun kita rata-rata hanya 5 persen," ujar Prof Didin dalam Market Review IDX Channel, Senin (17/3/2025).
Ia menekankan pentingnya perbaikan ekosistem politik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Ini kompleks ya, mempelajari negara-negara yang terkena middle income trap, negara Amerika Latin, kemudian Indonesia ada masalah mikro ekonomi, makro ekonomi dan politik, jadi ini sambung menyambung tidak bisa hanya ingin jadi negara maju lalu kemudian hanya berkutat di masalah mikro ekonomi, makro ekonomi. Tapi ekosistem politiknya tidak dibenahi, maka pajak dari negara lain biasanya lalu trap itu akan berkelanjutan," jelasnya.
Prof Didin juga menyoroti perlambatan pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. "Indonesia ini kan reformasi ya, katakanlah 2000-2025 ini pendapatan per kapita kita hanya naik 4,5 persen, padahal jaman pemerintah pak Harto naik dari 80-1.000 ya itu kira-kira 15 kali lipat," katanya.
Sementara itu, Ajib Hamdani menekankan, pentingnya pengembangan sektor manufaktur dan peningkatan investasi. "Jadi harapan kita, kalau kita ingin membuat lompatan ke arah negara maju, maka tentunya diharapkan adanya nilai tambah dari komoditas-komoditas unggulan yang dipunya oleh Indonesia, salah satunya dari peningkatan kualitas sektor manufaktur ," ujar Ajib.
Ajib menyoroti target investasi pemerintah yang ambisius dan perlunya dukungan untuk mencapai target tersebut. Tentunya sektor manufaktur akan berbanding lurus dengan investasi.
"Nah dan kalau kita lihat investasi di Indonesia itu Kementerian Investasi dan Hilirisasi mempunyai target lebih dari Rp13 ribu triliun untuk lima tahun ke depan. Kalau kita lihat di tahun 2025 ini targetnya itu mencapai Rp1.900 triliun, nah akankah angka investasi ini saat bisa tercapai, maka ini bisa mendongkrak sektor manufaktur? dan mendongkrak hilirisasi? saya pikir ini juga akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi secara agregat," jelasnya.
Lihat Juga :