RUU Energi Baru Dianggap Kena 'Radiasi', Banyak Pasal Soal Nuklir Tumpang Tindih

Sabtu, 19 September 2020 - 21:00 WIB
loading...
RUU Energi Baru Dianggap Kena Radiasi, Banyak Pasal Soal Nuklir Tumpang Tindih
Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sedang dalam pembahasan di DPR telah menunjukkan bahwa opsi terakhir terhadap nuklir dalam PP No. 79 Tahun 2014 sudah tidak lagi relevan.

Kepala Perwakilan Thorcon International Pte Ltd. Bob S. Effendi mengatakan, dalam pertimbangan RUU EBT tersebut, dinyatakan bahwa nuklir menjadi bagian di dalamnya dan telah diakui bukan hanya sebagai energi yang bersih tetapi juga sebagai energi yang ramah lingkungan.

Namun dalam draft tersebut terdapat beberapa permasalahan yang cukup mengkhawatirkan yang dapat membuat mundur sektor ketenaganukliran yang baru akan muncul ke permukaan dengan adanya pihak swasta yang ingin berinvestasi di bidang ketenaganukliran. Salah satunya ThorCon International, Pte. Ltd. yang dapat menjual listrik dengan tarif di bawah BPP Nasional yang dapat menjadi komponen transisi energi. ( Baca juga:Industri Mamin Sudah Melewati Periode 'Puasa' di Mei Lalu )

Bob Efendi menilai terdapat beberapa permasalahan dalam draft RUU EBT tersebut. Antara lain memunculkan kekhawatiran bagi badan usaha swasta yang berminat melakukan investasi pada PLTN. Dia menyoroti ketentuan Pasal 7 Ayat 3 RUU EBT yang mana Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara Khusus.

"Hal ini menunjukkan adanya monopoli dalam hal pembangunan PLTN oleh BUMN Khusus tersebut. Jelas ini merupakan pasal yang diselundupkan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (19/9/2020).

Selain itu, ketentuan tersebut juga melanggar UU No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran yang membuka peluang untuk BUMN, swasta dan koperasi dapat membangun PLTN.

Dengan adanya ketentuan Pasal 7 Ayat 3 diasumsikan bahwa pembangunan PLTN akan dibiayai oleh APBN melalui BUMN Khusus tersebut, yang sampai saat ini rasanya tidak realistis karena tidak adanya kejelasan anggaran untuk pembangunan PLTN dalam APBN.

"Serta akan menutup investasi yang akan masuk untuk bidang ketenaganukliran yang mana pada banyak sektor lainnya perihal investasi sedang digencarkan untuk dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah. Hal ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah sendiri," jelas Bob.

Bob juga menyoroti Pasal 7 ayat (5) RUU EBT yang mengatur bahwa pembangunan PLTN ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah mendapatkan persetujuan DPR. Hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam UU Ketenaganukliran Pasal 13 ayat (4) yang mengatur bahwa pembangunan reaktor nuklir komersial yang berupa PLTN ditetapkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR.

"Diksi persetujuan dalam RUU EBT tersebut bertentangan dengan diksi berkonsultasi dalam UU Ketenaganukliran yang telah berlaku. Apabila nantinya dalam hal pembangunan PLTN pemerintah harus mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana yang dituliskan dalam RUU EBT, dikhawatirkan akan mudah dipolitisasinya pembangunan PLTN ini, yang akan berujung kepada voting di DPR," tuturnya.

Selanjutnya, Pasal 9 RUU EBT bicara tentang galian nuklir yang rasanya tidak relevan masuk dalam UU EBT yang tidak hubungan dengan energi tetapi pertambangan. Perihal galian nuklir sudah dibahas dalam Pasal 9 UU Ketenaganukliran.

Kemudian Pasal 12 ayat (1) RUU EBT juga memunculkan permasalahan karena untuk menjamin terselenggaranya keselamatan ketenaganukliran nasional, pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Daya Nuklir yang mana kewenangan tersebut merupakan kewenangan dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang sudah terbentuk berdasarkan UU No. 10 /1997 yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta kompetensi dalam memastikan keselamatan di bidang ketenaganukliran. Seharusnya majelis tersebut lebih mendorong kebijakan nuklir bukan bicara keselamatan. ( Baca juga:Pilkada Tetap Dilanjutkan, Protokol Kesehatan dan Sanksi Harus Diperkuat )

"RUU EBT ini menunjukkan banyaknya ketentuan yang tumpang tindih dengan ketentuan dalam UU Induk Nuklir, yaitu UU No. 10 Tahun 1997. Semua hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan merugikan pihak investor yang berminat untuk melakukan investasi di bidang ketenaganukliran, tetapi juga untuk negara dan badan-badan yang telah ditugaskan oleh UU 10/1997," kata Bob.

Dapat dikonklusikan dalam RUU EBT ini terdapat pasal-pasal yang diselundupkan yang telah menciderai ketentuan dalam UU 10 Tahun 1997 sebagai UU induk nuklir dan yang pasti akan membuat mundur sektor nuklir nasional.

"Kami berharap Batan dan Bapeten bisa lebih mengawal dan mendukung terbukanya investasi di bidang ketenaganukliran," tandasnya.
(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3144 seconds (0.1#10.140)